');
GpGiGpY5GUClBSW9BUd8TUW9BY==
Breaking
NEWS REPORT

Ketika Rapat Paripurna Berubah Jadi Sinetron Siang Bolong

Ukuran huruf
Print 0



WEKACE, Pagi ini, saya duduk santai dengan secangkir kopi panas di tangan. Aroma robusta yang pekat bercampur asap rokok kretek menciptakan suasana sempurna untuk membaca berita. Sambil menyeruput kopi, saya membuka laman video rapat paripurna DPRD Jawa Barat.

"Ah, biasa," pikir saya. "Paling juga rapat basi soal KUA-PPAS yang membosankan."

Tapi tunggu dulu. Baru beberapa menit menonton, kopi di tangan saya hampir tumpah. Bukan karena terlalu panas, melainkan karena terkejut menyaksikan drama politik berkelas tinggi yang lebih seru dari sinetron "Ikatan Cinta".

Di tengah rapat yang mestinya membahas anggaran, tiba-tiba muncul seorang pahlawan—eh, maksud saya anggota DPRD—yang nekad mengangkat isu di luar agenda. Dan yang lebih mengejutkan: ia ditegur oleh rekan separtainya sendiri!

Kopi saya dingin. Tapi pertunjukan di layar? Panas membara.

Inilah kisah tentang bagaimana sebuah rapat paripurna berubah menjadi ajang debat kusir, tentang tambang yang ditutup, ribuan keluarga yang terdampak, dan pertanyaan klasik: "Pak Gubernur mau direspon atau tidak?"

Mari kita kupas satu per satu drama bertajuk "Tambang, Truk, dan Tiga Juta Rupiah" ini.

Cerita dimulai dari Kabupaten Bogor, tepatnya di kawasan Parung Panjang yang sudah berpuluh tahun jadi "langganan" tambang. Bayangkan: 26 perusahaan tambang beroperasi di sana. Bukan main!

Lalu datanglah sebuah surat edaran dari Pemprov Jabar yang (konon) menutup seluruh operasional tambang tersebut. Alasannya? Katanya sih demi keselamatan, lingkungan, dan kesejahteraan rakyat. Klise? Iya. Tapi memang begitu bunyinya.

Yang menarik, tidak ada yang tahu persis apa isi surat edaran itu. Apakah benar-benar menutup total? Atau cuma menutup sementara sambil menunggu audit? Atau mungkin cuma ancaman kosong supaya para pengusaha tambang "nurut"?

Yang jelas, efeknya nyata: 13.544 kepala keluarga terdampak. Atau mungkin 2.644 jiwa? Ah, statistik memang relatif, tergantung siapa yang menghitung dan untuk kepentingan apa.

Masuki Doni Kota Barat, anggota DPRD dari Fraksi PDI Perjuangan. Minggu lalu, sang pahlawan turun ke daerah pemilihannya. Di sana, ia bertemu dengan masyarakat yang menangis—secara harfiah atau metaforis, kita tidak tahu pasti—karena kehilangan mata pencaharian.

Pedagang kaki lima yang biasa jualan di sekitar tambang? Sepi pembeli. Supir truk yang biasa ngangkut material? Nganggur. Buruh tambang? Sudah tidak perlu dijelaskan lagi.

Dengan penuh semangat kerakyatan (dan mungkin sedikit bumbu politisasi), Pak Doni membawa aspirasi rakyat ke rapat paripurna. Padahal, agenda hari itu adalah membahas KUA-PPAS dan perubahan Perda. Bukan soal tambang.

Tapi Pak Doni tidak peduli. Dengan gagah berani, ia bertanya kepada Gubernur Dedi Mulyadi:

  1. Langkah selanjutnya setelah penutupan tambang seperti apa?
  2. Benar nggak sih bantuan Rp3 juta per kepala keluarga?
  3. Anggarannya dari mana?
  4. Kapan audit selesai?
  5. Kapan jalan tambang dibangun?

Pertanyaan yang sangat wajar dari seorang wakil rakyat, bukan?

Tapi tunggu dulu. Sebelum Gubernur sempat menjawab, datanglah plot twist yang tidak terduga.

"Tidak Perlu Ditanggapi di Paripurna Ini"

Hilal, anggota DPRD dari Fraksi Partai Golkar, tiba-tiba mengangkat tangan. Dengan nada diplomatis namun tegas, ia berkata:

"Saya pikir tadi apa yang ditanggapkan oleh Pak Doni tidak perlu ditanggapi di paripurna ini. Karena kita sudah sepakat dari awal rapat paripurna ini hanya membahas KUA-PPAS dan laporan Badan Permusyawaratan Daerah."

Waduh. Ini mah bukan debat kusir biasa. Ini debat antar sesama anggota dewan!

Bayangkan saja: Pak Doni yang sudah berapi-api membela rakyat, tiba-tiba dipotong oleh rekannya sendiri dengan argumen prosedural. Klasik sekali. Seperti mau ngegas di jalan tol tapi tiba-tiba ada palang pintu tol.

Respons Pak Doni? Santai tapi kena:

"Ini saya berharap terserah mau ditanggapin atau tidak. Tapi saya harus menyampaikan apa yang disampaikan masyarakat terhadap saya."

"Terserah mau ditanggapin atau tidak."

Kalimat yang begitu elegan, begitu demokratis, begitu... pasrah. Seperti mengatakan, "Ya sudahlah, saya sudah sampaikan. Mau dengerin atau nggak, urusan kalian."


Gubernur Dedi Mulyadi Turun Tangan

Gubernur Dedi Mulyadi—yang dikenal sebagai sosok populis dan cukup responsif—akhirnya membuka suara. Dan jawaban beliau cukup panjang lebar, mencakup berbagai aspek.

1. Masalah Parung Panjang Itu Sudah Puluhan Tahun

Menurut sang Gubernur, kawasan Parung Panjang sudah mengalami kehancuran luar biasa. Lebih dari 100 orang meninggal—entah karena kecelakaan truk tambang atau tertimpa batu, kita tidak tahu detailnya. Yang jelas, kecelakaan "hampir tiap hari".

Masyarakat juga kena ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) karena debu tambang. Bayangkan hidup puluhan tahun menghirup debu gratis setiap hari. Sehat? Mustahil.

2. Jalan Saja Tidak Cukup

Pemprov Jabar katanya sudah mulai membangun jalan khusus tambang. Tapi masalahnya, jalan tersebut tidak mungkin dilewati truk dengan tonase di atas 20 ton. Sementara truk tambang? Rata-rata 30-40 ton.

Jadi, jalan dibangun tapi tidak bisa dipakai. Solusi yang sangat... Indonesia.

3. Lima Variabel Penutupan Tambang

Gubernur Dedi menjelaskan bahwa penutupan sementara tambang didasarkan pada lima variabel:

  1. Kerusakan lingkungan – Jelas. Kawasan Parung Panjang sudah seperti kawah Candradimuka.
  2. Perlindungan tenaga kerja – Buruh tambang kebanyakan tidak punya BPJS. Gaji juga di bawah UMR. Kasihan.
  3. Reklamasi – Setelah galian selesai, ya ditimbun lagi dong. Jangan dibiarkan jadi kubangan.
  4. Transportasi – Truk besar lewat jalan kecil. Ya ancur lah jalannya.
  5. Pungutan liar – Ini yang paling menarik. Ada pungutan yang tidak berdasar hukum. Siapa yang narik? Nah, ini yang harus diaudit.

4. Tim Audit Pakar Sedang Bekerja

Kabar baiknya, ada tim audit yang terdiri dari akademisi yang sedang bekerja. Hasilnya akan segera diumumkan. Kapan tepatnya? "Tidak terlalu lama." Alias: entahlah, kita lihat saja nanti.

Sikap Pemprov? Akan mengikuti rekomendasi tim audit. Keputusan tidak akan diambil berdasarkan pertimbangan politik.

Wow. Pernyataan yang sangat... politis.

Nah, ini bagian yang paling menarik. Gubernur Dedi berjanji memberikan bantuan Rp3 juta per bulan kepada masyarakat terdampak. Durasinya? Mungkin 2-3 bulan.

Dari mana anggarannya? Dari Bantuan Sosial Pemprov Jabar dan Dana BTT (Bantuan Tanggap Darurat). Kabarnya sudah dapat persetujuan Kemendagri.

Oh, jadi ini masuk kategori "tanggap darurat"? Berarti situasinya sudah gawat ya. Tapi kok baru sekarang ditanggapi? Tambang kan sudah puluhan tahun beroperasi.

Yang lebih menarik lagi, data penerima bantuan juga simpang siur:

  • Pak Doni bilang ada 13.544 kepala keluarga terdampak.
  • Dinas DPMD mencatat ada 2.644 jiwa terdampak.
  • Gubernur Dedi dapat data dari kepala desa: 9.000 kepala keluarga.

Lho, kok beda-beda? Ternyata, ada kepala desa yang merangkap sebagai pemain tambang. Jadi datanya bias. Wajar saja kalau simpang siur.


Solusi Kreatif ala Pemprov Jabar

Gubernur Dedi tidak hanya memberi uang. Beliau juga menawarkan dua solusi jangka panjang:

Solusi 1: Jadi Outsourcing Pemprov

Buruh tambang yang nganggur ditawari jadi tenaga outsourcing untuk ngurus jalan. Gaji sesuai UMR, dapat BPJS pula.

Pertanyaannya: berapa banyak yang bisa diserap? Ribuan orang jadi tukang jalan? Apakah jalanan Jabar akan menjadi yang terbaik se-Indonesia?

Solusi 2: Kredit Mobil Tanpa Bunga

Supir truk ditawari kredit mobil dua sumbu tanpa bunga melalui kerja sama dengan Bank BJB.

Ini solusi yang cukup kreatif. Tapi lagi-lagi, pertanyaannya: berapa banyak yang mampu mengangsur? Kalau sudah nganggur berbulan-bulan, dapat mobil baru tapi tidak ada orderan, ya percuma juga.

Solusi 3: Tambang Dikelola Masyarakat Setempat

Pemprov ingin mendorong agar tambang dikelola oleh kelompok masyarakat setempat. Tujuannya? Agar pertumbuhan ekonomi lokal meningkat.

Tapi apakah masyarakat setempat punya modal dan teknologi untuk mengelola tambang? Atau ini cuma janji manis yang ujung-ujungnya tetap dikuasai cukong besar?

Kopi Sudah Dingin, Masalah Masih Panas

Secangkir kopi saya sudah dingin. Tapi masalah tambang Parung Panjang? Masih panas membara.

Apa yang bisa kita pelajari dari drama rapat paripurna ini?

Pertama, aspirasi rakyat memang harus diperjuangkan. Tapi kalau disampaikan di tempat dan waktu yang salah, ya jadi tidak efektif. Ini bukan salah Pak Doni. Ini salah sistemnya yang kaku.

Kedua, debat antar sesama anggota dewan justru menunjukkan bahwa demokrasi masih hidup. Tidak semua orang setuju. Tidak semua orang nurut. Dan itu bagus.

Ketiga, janji pemerintah itu seperti kopi sachet: terdengar enak di kemasan, tapi begitu diseduh, rasanya hambar. Bantuan Rp3 juta untuk 2-3 bulan? Setelah itu bagaimana? Kembali ke titik nol?

Keempat, masalah tambang tidak bisa diselesaikan dengan menutup tambang. Harus ada solusi komprehensif: reklamasi, perlindungan pekerja, pembangunan infrastruktur, dan yang terpenting—transparansi dan penegakan hukum.

Kelima, data itu penting. Tapi data yang berbeda-beda dari instansi berbeda justru menunjukkan lemahnya koordinasi dan akurasi. Kalau datanya saja ngaco, bagaimana mau buat kebijakan yang tepat?


EPILOG: "Terserah Mau Ditanggapin atau Tidak"

Kalimat pamungkas Pak Doni—"Terserah mau ditanggapin atau tidak"—adalah representasi sempurna dari sikap banyak wakil rakyat di negeri ini.

Sudah berjuang, sudah teriak-teriak, sudah bawa data, tapi ujung-ujungnya: ya sudahlah, terserah kalian mau dengerin atau nggak.

Ini bukan sikap apatis. Ini sikap realistis. Karena di negeri ini, kadang yang benar belum tentu menang. Yang bersuara belum tentu didengar. Dan yang memperjuangkan rakyat belum tentu didukung oleh sesama wakil rakyat.

Tapi setidaknya, Pak Doni sudah mencoba. Dan itu lebih baik daripada diam saja.

Saya menatap cangkir kopi yang sudah kosong. Rasa pahitnya masih tertinggal di lidah. Seperti rasa pahit kehidupan ribuan keluarga yang terdampak penutupan tambang.

Mereka tidak butuh janji. Mereka butuh solusi nyata.

Dan semoga, audit yang sedang berjalan benar-benar menghasilkan rekomendasi yang adil. Bukan hanya untuk kepentingan segelintir orang, tapi untuk kesejahteraan bersama.


Catatan Editor:

Artikel ini ditulis sambil ngopi pagi dan nonton video rapat paripurna DPRD Jabar. Jika ada pihak yang merasa tersinggung, ya sudahlah. Terserah mau ditanggapi atau tidak.

#TambangParungPanjang #TigaJutaRupiah #TerserahMauDitanggapiAtauTidak


Editor : Zumardi



Ketika Rapat Paripurna Berubah Jadi Sinetron Siang Bolong
Periksa Juga
Next Post

0Komentar

Tautan berhasil disalin