WEKACE, Sore ini, sambil menyeruput secangkir kopi pahit tanpa gula—karena gula sudah terlalu manis untuk menelan realitas—saya membaca sebuah berita di CNBC yang membuat saya hampir tersedak. Arab Saudi, negeri yang menjadi rumah bagi Ka'bah, pusat spiritual 2 miliar umat Islam di dunia, kini tengah merancang sesuatu yang mereka sebut "Makkah Baru."
Bukan, ini bukan tentang pencerahan spiritual baru. Ini tentang pencakar langit berlapis emas, apartemen bermerek, dan hotel bintang lima yang mengintip langsung ke jantung kesucian umat Islam. Saya pun bertanya-tanya: apakah ini evolusi spiritualitas modern, ataukah kapitalisasi kesucian yang dibungkus rapi dengan retorika religius?
Kopi saya masih panas, tapi kepala saya sudah mendidih lebih dulu.
Putra Mahkota Arab Saudi, Mohammed bin Salman—atau yang akrab disapa MBS oleh para penggemar reformasi ekonomi radikal—telah meluncurkan proyek "Gerbang Raja Salman" yang katanya akan mengubah wajah Makkah selamanya. Proyek megah ini membentang seluas 12 juta meter persegi, penuh dengan gedung-gedung tinggi yang—sepertinya—ingin bersaing tinggi dengan langit, sambil menatap Ka'bah dengan penuh... eh, ambisi.
"Akan ada penambahan ruang shalat hingga kapasitas sekitar 900.000 jamaah," ujar Saudi Gazette dengan nada bangga, seperti mengumumkan diskon besar-besaran di mal pada hari raya.
Tapi tunggu dulu. Jangan terburu-buru berpikir ini semua tentang kemudahan beribadah. Karena selain ruang shalat, proyek ini juga akan dipenuhi oleh hotel-hotel mewah, pusat perbelanjaan, dan area komersial lainnya. Ya, Anda tidak salah baca: komersial. Karena tidak ada yang lebih spiritual daripada berbelanja setelah thawaf, bukan?
Dalam sebuah video promosi yang diunggah oleh Dana Investasi Publik Arab Saudi—yang terdengar seperti nama perusahaan investasi, bukan lembaga keagamaan—kita disuguhi gambaran futuristik: deretan menara-menara tinggi berwarna emas berkilauan, menjulang gagah menghadap Masjidil Haram.
"Di tempat ini, hati bersatu dan berbagi momen-momen hidup yang penuh kebahagiaan," kata narator dengan suara merdu yang terdengar seperti iklan parfum premium. "Karena di setiap momen, sebuah kisah terungkap, terikat oleh rasa hormat dan ritual bersama yang harus dijunjung tinggi."
Ah, betapa puitis! Tapi izinkan saya menerjemahkannya ke dalam bahasa yang lebih jujur: "Di tempat ini, dompet Anda bersatu dengan ATM kami, dan berbagi momen-momen kehilangan saldo yang penuh... eh, kebahagiaan?"
Narator melanjutkan dengan gemilang: "Berakar pada warisan, esensinya tetap bertahan, dibalut dengan bisikan kedamaian, mengundang Anda untuk bernapas lega. Sebuah perayaan budaya, lama dan baru."
Bisikan kedamaian? Atau bisikan "beli apartemen sekarang, harga promosi!"?
Proyek ini, kata mereka, adalah bagian dari "Visi 2030," program diversifikasi ekonomi Arab Saudi yang ambisius. Tujuannya mulia: mengurangi ketergantungan pada minyak, menciptakan lapangan kerja—konon 300.000 pekerjaan baru—dan mengubah ekonomi kerajaan menjadi lebih modern dan berkelanjutan.
Tapi mari kita jujur sejenak: apakah benar-benar perlu mengubah Makkah—kota yang selama 1.400 tahun menjadi simbol kesederhanaan, kerendahan hati, dan kesetaraan di hadapan Allah—menjadi Manhattan versi Timur Tengah?
Nabi Ibrahim membangun Ka'bah dengan batu sederhana. Nabi Muhammad SAW berjalan di tanah Makkah dengan sandal jepit (atau tanpa alas kaki sama sekali). Kini, jamaah haji dan umrah akan disambut oleh pencakar langit berlapis emas dengan view premium menghadap Ka'bah.
Ironi memang selalu datang dengan kemasan mewah.
Yang lebih mengejutkan—sekaligus menggelikan—adalah fakta bahwa proyek ini akan menawarkan 50.000 unit hunian bermerek dan sekitar 16.000 kamar hotel bintang 4 dan 5. Lebih dari 200.000 meter persegi dialokasikan untuk fasilitas ritel dan komersial.
Dan puncak dari semua ini? Proyek ini memungkinkan kepemilikan properti bagi umat Muslim di seluruh dunia, berkat undang-undang baru yang mengizinkan warga non-Saudi untuk berinvestasi di real estat di kota-kota suci.
Ya, Anda dengar dengan benar: kini Anda bisa membeli apartemen di Makkah. Bayangkan brosur iklannya:
"Apartemen Mewah Menghadap Ka'bah! View 360 Derajat! Dekat dengan Masjidil Haram! Investasi Dunia Akhirat dalam Satu Paket! Cicilan Syariah Tersedia!"
Times of India bahkan dengan antusias menulis: "Hal ini membuka pintu bagi partisipasi global, yang berpotensi meningkatkan investasi internasional di sektor real estat dan perhotelan Kerajaan."
Ah, tentu saja. Karena yang paling dibutuhkan oleh kota suci adalah investor global. Bukan lebih banyak sumur Zam-Zam, bukan lebih banyak ruang terbuka untuk beribadah, tapi lebih banyak apartemen untuk disewakan.
Mari kita renungkan sejenak. Makkah adalah tempat di mana semua Muslim, kaya atau miskin, raja atau rakyat jelata, berdiri setara mengenakan kain ihram yang sama. Tidak ada perbedaan. Tidak ada VIP. Tidak ada penthouse.
Tapi dengan "Gerbang Raja Salman," tampaknya konsep kesetaraan itu akan sedikit... disesuaikan.
Bayangkan: seorang jamaah haji yang tidur beralas tikar di tenda, menatap ke atas dan melihat menara emas berkilauan tempat orang-orang kaya dunia menikmati AC sentral, sarapan prasmanan, dan view eksklusif ke Ka'bah dari balkon mereka.
Apa yang akan dirasakan oleh jamaah miskin itu? Kerendahan hati? Atau ketimpangan yang menusuk hati?
Saya menatap cangkir kopi saya yang kini sudah dingin. Tidak ada gula di dalamnya, tapi entah kenapa rasanya semakin pahit.
Proyek "Gerbang Raja Salman" mungkin akan menciptakan lapangan kerja. Mungkin akan mendatangkan investasi triliunan. Mungkin akan membuat Makkah terlihat lebih modern dan megah di mata dunia.
Tapi pertanyaannya bukan apakah kita bisa melakukannya. Pertanyaannya adalah: apakah kita harus melakukannya?
Apakah spiritualitas perlu dibungkus dengan kemewahan? Apakah kesucian perlu dijual dengan harga premium? Apakah Ka'bah—simbol kerendahan hati dan penyerahan diri—perlu dikelilingi oleh menara-menara kapitalisme yang menjulang tinggi?
Mungkin MBS dan para perencana proyek ini memiliki jawaban yang baik. Mungkin mereka punya visi yang tidak kita pahami. Atau mungkin—hanya mungkin—kita semua sedang menyaksikan bagaimana kesucian perlahan-lahan disulap menjadi komoditas.
Kopi sudah dingin. Tapi debat tentang ini? Masih mendidih.
Catatan Redaksi:
Namun ironi yang terkandung di dalamnya, sayangnya, 100% nyata. Selamat menikmati kopi Anda. Semoga tidak sepahit realitas.
Disclaimer: Tulisan ini untuk keperluan kritik sosial dan tidak bermaksud menghina agama atau negara manapun. Semua fakta yang disebutkan bersumber dari berita resmi yang telah dipublikasikan.
Editor : Zumardi

0Komentar