WEKACE, Malam ini, sambil menyeruput secangkir kopi pahit tanpa gula—karena harga gula naik lagi—saya membuka media sosial. Tak sampai tiga scroll, timeline saya dipenuhi video seorang wanita yang memamerkan tumpukan uang pecahan lima puluhan dan seratusan dengan wajah sumringah bak menang lotre. Di belakangnya, terdengar suara seorang pria yang dengan santainya mengancam akan "membeli" wartawan dan polisi sekaligus.
"Ah, pasti hoax," pikir saya sambil meneguk kopi yang tiba-tiba terasa lebih pahit.
Ternyata bukan hoax. Malah lebih dramatis dari sinetron.
Selamat datang di cerita tentang Pak Rusli, Kepala Desa dengan Sembilan Mahkota Tambang, yang membuat kita semua bertanya-tanya: apakah ini Indonesia, atau episode baru Game of Thrones versi kampung?
Dalam sejarah kepemimpinan desa di negeri ini, mungkin belum pernah ada kepala desa yang berhasil mengumpulkan sembilan tambang sekaligus selama tiga periode kepemimpinan. Tapi Pak Rusli, Kepala Desa Rengas Jajar, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, bukan sembarang kepala desa.
Beliau adalah Raja Tambang yang kebetulan juga memerintah sebuah desa.
Atau sebaliknya?
Sulit membedakan mana yang utama: jabatan kades atau bisnis tambangnya. Yang jelas, kombinasi keduanya menghasilkan formula ajaib yang membuat Pak Rusli menjadi viral—bukan karena prestasi membangun desa, melainkan karena istrinya pamer tumpukan uang di media sosial dengan gaya ala barongsai.
"Saya Punya Sembilan Tambang, Pak Gubernur!"
Dalam sebuah pertemuan dengan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, Pak Rusli dengan bangga mengakui kepemilikan sembilan tambang yang sudah dikelola sejak 1985.
"Semua ada izinnya, Pak. IUP semua!" katanya dengan nada penuh percaya diri, seolah-olah koleksi IUP (Izin Usaha Pertambangan) adalah kartu Pokemon yang harus dilengkapi.
Dari sembilan tambang tersebut, delapan masih berizin, satu sudah kedaluwarsa. Tapi tenang saja, masih ada delapan lagi kok. Seperti kucing, punya cadangan nyawa.
Yang menarik, tambang-tambang ini menggunakan bahan peledak. Bukan sekop dan cangkul seperti di film-film perjuangan, tapi peledak sungguhan. Mungkin karena lebih efisien—atau karena suka suara gemuruh yang terdengar seperti lagu kebangsaan kapitalisme.
Mari kita bermain matematika sederhana yang akan membuat guru SD kita menangis haru—atau menangis karena alasan lain.
Fakta #1: Setiap truk tambang yang melintas membayar pungutan Rp100.000 ke pemerintah desa.
Fakta #2: Ada 500 truk per hari dari delapan perusahaan tambang.
Kesimpulan: Rp50 juta per hari masuk ke kas pemerintahan Desa Rengas Jajar.
Dalam sebulan, itu artinya Rp1,5 miliar dari truk saja. Belum lagi iuran bulanan dari perusahaan tambang yang berkisar antara Rp5 juta hingga Rp7,5 juta per perusahaan.
Total? Sekitar Rp25 miliar mengalir ke pemerintahan Pak Rusli.
Dua puluh lima miliar rupiah.
Untuk sebuah desa.
Sebagai perbandingan, banyak desa di Indonesia masih berjuang mendapatkan sinyal internet dan air bersih. Sementara di Rengas Jajar, uang mengalir deras seperti air terjun Niagara—tapi sayangnya tidak untuk kesejahteraan warganya.
Kemana Uangnya? "Ya ke Pengurus Lah!"
Pak Rusli menjelaskan dengan rinci pembagian uang pungutan tersebut:
- Rp20.000 untuk masyarakat yang "meratakan" (apapun artinya)
- Rp20.000 untuk pengurus (siapa saja itu pengurus, tidak dijelaskan)
- Rp60.000 sisanya dibagi ke desa, RT, RW, Linmas, majelis taklim, hingga musala
Kedengarannya sangat demokratis dan religius, bukan? Tapi Gubernur Dedi Mulyadi punya pertanyaan sederhana yang membuat Pak Rusli terdiam: "Kenapa masyarakatnya masih miskin?"
Jawaban Pak Rusli singkat dan jujur: "Yang kaya mah yang punya tambang."
Terlalu jujur malah.
Climax: Istri Pamer Uang, Suami Ancam Beli Polisi
Kalau cerita ini adalah film, maka adegan puncaknya adalah saat istri Pak Rusli—dengan penuh kebanggaan—memamerkan tumpukan uang pecahan Rp50.000 dan Rp100.000 di hadapan kamera.
"Duit tuh loba!" (Uang ini banyak!) katanya sambil menunjuk-nunjuk tumpukan uang dengan gaya seperti sedang memamerkan hasil menang arisan.
Tapi tunggu, masih ada lagi. Sang istri dengan santai menambahkan: "Duit loba di koper keneh!" (Uang masih banyak di koper lagi!)
Oh, ternyata yang dipamerkan itu baru sebagian. Masih ada stok di koper. Mungkin kopernya merek Samsonite, atau mungkin koper ajaib seperti di film Harry Potter yang bisa muat banyak barang.
Tapi plot twist yang paling mengejutkan datang dari seorang pria—diduga suami atau kerabat—yang duduk di belakang kemudi. Dengan nada mengancam, dia berkata:
"Video keun! Ulah siun! Ieurek diborong kabeh material jeung polisi-polisina!"
Terjemahan bebasnya: "Videoin aja! Jangan takut! Ini mau diborong semua, wartawan sama polisinya juga!"
Membeli polisi? Serius?
Ini seperti dialog dari film gangster Hollywood, tapi versi lokal dengan aksen Sunda yang kental. Yang membedakan: ini bukan film. Ini nyata. Dan terjadi di negara kita tercinta yang katanya negara hukum.
Epilog: Pertanyaan untuk Secangkir Kopi Kedua
Setelah membaca semua ini, saya menyeduh kopi kedua. Kali ini saya tambahkan gula—meskipun harganya naik—karena saya butuh sesuatu yang manis untuk melawan pahitnya realitas.
Beberapa pertanyaan menggantung di udara seperti asap kopi:
-
Bagaimana seorang kepala desa bisa memiliki sembilan tambang? Apakah ini bonus tiga periode menjabat? Beli satu gratis delapan?
-
Kemana Rp25 miliar itu? Jika benar-benar digunakan untuk pembangunan, seharusnya Rengas Jajar sudah seperti Singapura versi pedesaan. Tapi faktanya, masyarakatnya masih miskin.
-
Siapa yang memberikan izin tambang? Dan lebih penting lagi, kenapa satu orang bisa mengumpulkan sembilan izin sekaligus?
-
Apakah ancaman "membeli" wartawan dan polisi hanya gertakan? Atau ada yang sudah benar-benar "dibeli"? Kalau ada, berapa harganya? Apakah ada diskon untuk pembelian grosir?
-
Bagaimana nasib lingkungan di sana? Sembilan tambang dengan bahan peledak pasti meninggalkan jejak. Tapi sepertinya lingkungan bukan prioritas ketika uang segitu banyak mengalir.
Ironi di Balik Tumpukan Uang
Yang paling ironis dari semua ini adalah: di tengah hiruk pikuk tentang pemberantasan korupsi, reformasi birokrasi, dan pembangunan desa, ada sosok yang dengan santai memamerkan tumpukan uang hasil sistem yang jelas-jelas tidak adil.
Lebih ironis lagi: mereka tidak merasa perlu bersembunyi. Malah pamer di media sosial. Seolah-olah kebal hukum. Atau mungkin memang kebal?
Penutup: Kopi Sudah Dingin, Pertanyaan Masih Panas
Kopi saya sudah dingin. Tapi pertanyaan tentang Pak Rusli, sembilan tambangnya, Rp25 miliarnya, dan ancaman membeli polisi masih mengepul seperti uap dari cangkir kopi yang baru diseduh.
Mungkin ada baiknya kita semua—pemerintah, aparat penegak hukum, media, dan masyarakat—menyeduh secangkir kopi dan duduk sejenak untuk memikirkan:
Negara macam apa yang kita ingin wariskan kepada anak cucu kita?
Negara di mana kepala desa bisa punya sembilan tambang dan Rp25 miliar sementara rakyatnya miskin?
Atau negara di mana hukum benar-benar ditegakkan, tidak peduli sebanyak apa uang di koper?
Pilihan ada di tangan kita.
Sementara itu, saya akan menyeduh kopi ketiga. Karena sepertinya kita masih butuh banyak kopi untuk tetap terjaga mengawasi negeri ini.
Foto Ilustrasi Hanya Gambar AI
Editor : Zumardi

0Komentar