GpGiGpY5GUClBSW9BUd8TUW9BY==
Breaking
NEWS REPORT

Secangkir Kopi dan Rekening Kosong : Modus Baru Maling Uang melalui QRIS

Ukuran huruf
Print 0


WEKACE, Bayangkan Anda sedang duduk santai di warung kopi pinggir jalan, memesan secangkir kopi susu gula aren seharga Rp15.000. Pelayan ramah menyodorkan secarik kertas berisi kode QR. Dengan percaya diri, Anda mengeluarkan ponsel pintar—yang harganya mungkin sepuluh kali lipat lebih mahal dari kopi yang Anda pesan—lalu scan dengan gaya ala James Bond yang sedang membuka brankas rahasia.

Beep! Transaksi berhasil. Anda tersenyum puas, merasa modern dan cashless. Tapi tunggu dulu. Lima menit kemudian, notifikasi perbankan berderet masuk. Bukan notifikasi "pembayaran berhasil Rp15.000", melainkan "transfer keluar Rp15.000.000".

Ya, lima belas juta, bukan lima belas ribu. Ternyata yang Anda scan bukanlah QRIS Warung Kopi Pak Budi, melainkan QRIS "Yayasan Amal Pengganjal Perut Kosong"—yang tidak ada hubungannya dengan kopi, apalagi dengan Pak Budi.

Selamat datang di era digital, di mana secangkir kopi bisa membuat rekening Anda menguap tanpa bekas. Welcome to the jungle of QR Code!


Zaman Makin Canggih, Penipu Makin Kreatif

Kalau dulu pencuri harus repot-repot menodongkan pisau atau memalak di gang gelap, kini cukup bermodal printer dan kertas glossy untuk mencetak kode QR palsu. Praktis, efisien, dan—yang paling penting—tidak perlu berotot kekar atau suara sangar. Cukup tempel di tempat strategis, tunggu korban datang, dan voila: uang masuk tanpa keringat.

Modus penipuan keuangan memang sudah berevolusi layaknya Pokemon. Dari yang manual jadi digital, dari yang kasar jadi halus, dari yang frontal jadi tersembunyi di balik kotak kecil hitam-putih bernama QR Code. Korbannya? Ya masyarakat yang dengan polosnya percaya bahwa teknologi selalu identik dengan keamanan.

Belakangan, makin marak kasus penipuan menggunakan QRIS palsu—alias Quick Response Code Indonesian Standard yang dipalsukan. Modusnya simpel: penipu membuat QR Code yang tampak identik dengan milik pedagang asli, lengkap dengan nama toko, jenis barang, bahkan nominal transaksi yang seolah-olah "benar".

Begitu korban memindai kode ajaib itu, uang langsung ludes. Habis tanpa sisa, seperti kue nastar saat Lebaran. Yang lebih tragis, korban bahkan tidak menyadari sedang berdonasi sukarela kepada sindikat penipuan digital. Mereka baru sadar setelah rekening tinggal Rp0,00 dan mimpi buruk pun dimulai.


Bank Indonesia: "Tenang, Kami Sudah Ingatkan Kok!"

Menanggapi fenomena miris ini, Bank Indonesia (BI)—sebagai ibu kandung QRIS—angkat bicara. Deputi Gubernur BI, Filianingsih Hendarta, dengan tenang menjelaskan bahwa QRIS telah dibangun dengan standar keamanan nasional dan mengacu pada praktik terbaik global.

Terdengar meyakinkan, bukan? Seperti iklan produk kecantikan yang menjanjikan kulit glowing dalam tiga hari.

"QRIS keamanannya itu tanggung jawab bersama. BI, ASPI, dan pelaku industri selalu melakukan sosialisasi dan edukasi terkait keamanan transaksi QRIS kepada para merchant," ujarnya dengan nada diplomatis.

Ah, tanggung jawab bersama. Frasa ajaib yang sering muncul ketika ada masalah tetapi tidak ada yang mau disalahkan. Seperti tugas kelompok di kampus: semua dapat nilai sama, padahal yang kerja cuma satu-dua orang.

Filianingsih melanjutkan, peredaran QRIS palsu perlu ditanggulangi secara kolektif. Pedagang, pembeli, penyelenggara jasa pembayaran, bahkan mungkin tukang parkir dan abang ojek online juga harus ikut andil—karena ini tanggung jawab bersama, ingat?


Pedagang: "Awasi QRIS Anda Seperti Mengawasi Mantan!"

Menurut Bu Deputi Gubernur, pedagang punya kewajiban moral, etis, dan praktis untuk memastikan gambar QRIS mereka aman. Jangan sampai ditempel kode QR palsu di atasnya oleh oknum jahil yang sedang mencari tambahan uang jajan.

"Pedagang harus memastikan gambar QRIS berada dalam pengawasan. Awasi proses transaksi. Periksa notifikasi setelah pembayaran. Jangan sampai ada yang nyelonong pasang QR palsu di atas QR asli," tegasnya.

Kedengarannya sederhana. Tapi coba bayangkan Pak Budi, pedagang nasi goreng yang buka dari sore sampai tengah malam, harus bolak-balik mengecek apakah QR Code-nya masih aman atau sudah ditumpuk penipu dengan stiker QR palsu. Sambil menggoreng nasi, melayani pembeli, dan mengusir kucing tetangga yang ingin mencuri ikan asin.

Multitasking level dewa, kalau kata netizen.


Pembeli: "Cek Dulu, Baru Scan. Atau Sebaliknya?"

Tapi tunggu, bukan hanya pedagang yang disuruh waspada. Pembeli juga punya PR. Menurut BI, sebelum scan QR Code, pembeli wajib memastikan identitas merchant cocok dengan nama yang muncul di layar ponsel.

"Namanya harus benar. Jangan misalnya namanya Yayasan Amal, tapi tokonya jual onderdil mobil. Enggak nyambung kan?" jelas Filianingsih.

Pertanyaannya: berapa banyak orang yang sempat—atau peduli—mengecek nama penerima saat membayar kopi Rp15.000? Kebanyakan kita scan, klik "bayar", dan langsung cus pergi. Yang penting aplikasi bilang "transaksi berhasil", sudah cukup.

Lagipula, siapa yang punya waktu membaca nama merchant sambil antre panjang di kasir? Belum lagi kalau Mas-Mas di belakang sudah gelisah karena kebelet pipis.


Solusi: Awasi, Edukasi, Koordinasi... dan Berdoa?

BI dan ASPI mengklaim selalu melakukan pengawasan terhadap penyelenggara QRIS dan memberikan perlindungan konsumen. Mereka juga rutin sosialisasi dan edukasi ke pedagang maupun masyarakat.

Tapi pertanyaannya: apakah edukasi tersebut sampai ke warung-warung pinggir jalan, lapak PKL, atau tukang cilok gerobak dorong? Atau hanya berhenti di seminar mewah hotel berbintang dengan peserta yang sudah paham teknologi sejak lahir?

Koordinasi memang penting. Tapi di lapangan, yang terjadi sering berbeda. Pedagang sibuk jualan, pembeli buru-buru, sementara penipu santai bikin QR palsu sambil ngopi. Ironi memang, tapi itulah realita.


Kesimpulan: Siapa yang Harus Disalahkan?

Jadi, kalau ada korban QRIS palsu, siapa yang salah?

  • Penipu? Jelas. Tapi mereka kan profesinya memang menipu. Masa disuruh tobat?
  • Pedagang? Mungkin. Tapi mereka juga sibuk cari nafkah, bukan jadi satpam QR Code.
  • Pembeli? Bisa jadi. Tapi ekspektasi apa yang bisa kita harapkan dari orang yang sedang lapar dan buru-buru?
  • BI dan regulator? Well, mereka sudah bikin sistem, sudah sosialisasi, sudah bilang "tanggung jawab bersama". Apalagi coba?

Atau mungkin kita semua salah karena terlalu percaya bahwa teknologi akan menyelesaikan semua masalah, tanpa sadar bahwa teknologi juga menciptakan masalah baru?

Epilog: Kopi Sudah Dingin, Rekening Sudah Kosong

Di akhir cerita, Anda tetap duduk di warung kopi. Kopi yang Anda pesan sudah dingin. Rekening sudah kosong. Dan Pak Budi—pemilik warung—kebingungan karena uang Anda tidak masuk ke rekeningnya.

"Mas, belum bayar ya?" tanya Pak Budi polos.

"Sudah Pak, tadi saya scan QR-nya," jawab Anda frustasi.

"Lho, kok saya nggak dapat notifikasi?"

Keduanya saling pandang. Lalu perlahan menoleh ke arah tempelan QR Code di meja. Di sana, tertempel rapi dua QR Code: satu asli, satu palsu—persis di atasnya.

Sementara di suatu tempat, seseorang tersenyum sambil menghitung uang digital yang baru saja masuk. Ia lalu memesan kopi juga. Tapi pakai cash.

#TanggungJawabBersama


Disclaimer: Tulisan ini adalah kritik sosial. Jika ada kesamaan nama, tokoh, atau kejadian, itu murni kebetulan... atau memang sengaja, siapa tahu.


Foto Ai hanya ilustrasi


Sumber Referensi 


Editor : Zumardi



Secangkir Kopi dan Rekening Kosong : Modus Baru Maling Uang melalui QRIS
Periksa Juga
Next Post

0Komentar

Tautan berhasil disalin