WEKACE, Pagi ini, sambil menyeruput kopi di teras rumah yang masih tergenang air setinggi mata kaki, saya merenungkan sebuah pertanyaan filosofis yang mendalam: Apakah sebuah tanggul dapat disebut tanggul jika fungsi utamanya adalah jebol?
Seperti kopi pahit yang belum ditambah gula—alias kebijakan pemerintah yang belum ditambah solusi konkret—rasa getir pagi ini semakin kuat ketika mendengar kabar yang sudah terlalu familiar: Tanggul Baswedan kembali jebol. Lagi. Yes, lagi.
Seolah jebol sudah menjadi tradisi tahunan, bahkan mungkin sudah layak didaftarkan sebagai warisan budaya tak benda UNESCO kategori "Infrastruktur Paling Setia pada Kegagalan". Tanggul ini seperti langganan Netflix—rutin, konsisten, dan selalu hadir setiap musim hujan tiba.
Kopi saya sudah habis, tapi banjir di RW 06 Jati Padang, Jakarta Selatan, belum. Mari kita telusuri kronik kegagalan infrastruktur yang satu ini dengan sedikit humor—karena jika tidak tertawa, yang ada kita menangis sambil berenang.
Dalam sebuah plot twist yang sangat tidak mengejutkan sama sekali, Tanggul Baswedan yang terletak di RW 06, Kelurahan Jati Padang, Jakarta Selatan, kembali menunjukkan bakatnya sebagai tanggul yang paling jago jebol se-Indonesia Raya.
Kamis pekan lalu, cuaca ekstrem dan hujan deras menjadi "kambing hitam" kesekian kalinya atas ambruknya tanggul sepanjang 20 meter ini. Hingga hari ini, lima RT di wilayah tersebut masih setia bergelut dengan genangan air, seolah sedang menggelar festival perahu karet dadakan tanpa izin dari dinas pariwisata.
Jurnalis Metro TV, Fadila Syafarina, yang melaporkan langsung dari lokasi, menggambarkan kondisi tanggul dengan detail yang membuat kita bertanya-tanya: Apakah ini tanggul atau reruntuhan candi yang belum ditemukan arkeolog?
"Tanggul yang belum jebol pun kondisinya sudah memprihatinkan. Posisi temboknya miring seperti menara Pisa versi Jakarta. Retak-retak di sana-sini seperti peta harta karun yang menunjukkan jalur air gratis menuju rumah warga," ungkap Fadila dengan nada yang mungkin campur antara profesional dan frustrasi.
Bayangkan: tembok yang seharusnya melindungi warga dari banjir, malah berdiri dengan gaya seperti sedang bermain limbo. "Berapa rendah kau bisa turun?" tampaknya menjadi moto resmi tanggul ini.
Solusi cepat yang ditawarkan Suku Dinas Air ternyata adalah... karung pemberat! Ya, Anda tidak salah baca. Di era teknologi AI dan kendaraan listrik, Jakarta masih mengandalkan karung untuk menahan laju air seperti tentara Sparta menahan pasukan Persia dengan perisai.
"Karung-karung pemberat sudah dipasang untuk menahan air," kata petugas dengan bangga, seolah baru saja menemukan rumus E=mc².
Sayangnya, air tidak terlalu terkesan dengan inovasi abad pertengahan ini. Seperti tamu tak diundang yang tetap masuk rumah meski ada tulisan "Dilarang Masuk", air tetap mengalir dengan riang ke perumahan warga. Ketinggian memang sudah berkurang—dari "sebahu orang dewasa" menjadi "hanya" 30-40 cm. Sebuah kemajuan yang luar biasa! Sekarang warga bisa berjalan di dalam rumah tanpa harus berenang gaya bebas.
Dampak dari jebolnya Tanggul Baswedan ini bukan main-main. Selain kerugian materiil seperti furniture yang rusak, elektronik yang konslet, dan stok mie instan yang melayang, ada juga kerugian immateriil yang tak kalah serius:
- Penyebaran Penyakit: Air banjir membawa berbagai bonus bakteri gratis yang tidak ada di menu siapa pun.
- Kesulitan Mobilitas: Berangkat kerja bukan lagi pakai sepeda motor atau mobil, tapi pakai pelampung renang.
- Stres Mental: Setiap musim hujan datang, warga harus bersiap mental layaknya jelang ujian nasional—cemas, was-was, dan berharap ada keajaiban.
Seorang warga yang diwawancara mengatakan, "Kami sudah hafal polanya. Kalau hujan deras, siapkan ember. Kalau hujan lebih deras lagi, siapkan perahu karet. Kalau perlu, siapkan juga mental untuk mengungsi."
Janji Gubernur: The Sequel yang Tak Kunjung Tamat
Kabar baiknya, Gubernur Jakarta Pramono Anung sudah memerintahkan perbaikan tanggul-tanggul yang rusak akibat cuaca ekstrem. Kabar buruknya, ini bukan pertama kalinya janji serupa dilontarkan.
Seperti film franchise yang terus diproduksi meski ceritanya begitu-begitu saja, "Janji Perbaikan Tanggul" sudah masuk sekuel ke-entah-berapa. Bedanya, film masih ada resolusinya di akhir cerita. Tanggul? Belum jelas kapan happy ending-nya tiba.
"Kami menunggu solusi konkret," kata warga dengan harapan yang sudah menipis seperti dompet di akhir bulan.
Pertanyaannya: Solusi konkret itu seperti apa?
Apakah beton bertulang baja yang kokoh? Apakah sistem drainase modern seperti di negara maju? Ataukah... karung pemberat versi premium dengan warna lebih menarik?
Filosofi Tanggul: Antara Ada dan Tiada
Mari kita renungkan sejenak. Tanggul Baswedan adalah metafora sempurna dari banyak hal di negeri ini:
- Namanya keren, eksekusinya... yah, gitu deh.
- Dibangun dengan dana publik, tapi melayani air lebih baik daripada melayani warga.
- Jebol adalah ritual tahunan yang lebih rutin daripada upacara bendera.
Jika tanggul ini adalah manusia, dia sudah layak mendapat penghargaan "Karyawan Paling Tidak Produktif Sedunia". Jika tanggul ini adalah aplikasi, rating-nya di Play Store sudah pasti 1 bintang dengan komentar: "Tidak berfungsi. Selalu crash saat dibutuhkan. Developer tidak responsif."
Cuaca Ekstrem: Kambing Hitam Favorit
Setiap kali tanggul jebol, selalu ada alasan yang sama: cuaca ekstrem.
Tunggu dulu. Kita tinggal di Indonesia. Negara tropis dengan dua musim: hujan dan kemarau. Hujan deras bukan fenomena langka seperti gerhana matahari. Ini sudah kejadian sejak zaman nenek moyang kita berburu mammoth (atau setidaknya, berburu ikan di sungai).
Kalau setiap kali hujan deras disebut "cuaca ekstrem" dan dijadikan alasan tanggul jebol, pertanyaannya sederhana: Untuk cuaca seperti apa tanggul ini didesain? Cuaca di planet Mars?
Tanggul yang tidak kuat menahan hujan deras di negara tropis itu seperti payung yang bocor saat kehujanan. Buat apa?
Karena kita sudah terlalu lelah menunggu solusi nyata, izinkan saya mengajukan beberapa solusi satire:
1. Rebrand Tanggul Menjadi "Kolam Renang Umum"
Daripada malu-maluin disebut tanggul yang sering jebol, lebih baik ganti fungsi jadi kolam renang gratis. Warga bisa berenang sambil menunggu air surut. Sekalian bikin papan pengumuman: "Kolam Renang Baswedan - Buka Setiap Musim Hujan".
2. Jual Merchandise "I Survived Tanggul Baswedan"
Kaos, topi, dan stiker untuk warga yang berhasil bertahan hidup setiap musim banjir. Lumayan buat kenang-kenangan dan sumber pendapatan daerah.
3. Bikin Reality Show "Tanggul Idol"
Kompetisi mencari tanggul terkuat se-Jakarta. Yang menang dapat hadiah perbaikan permanen. Yang kalah... ya sudah, pasang karung lagi.
4. Ubah Nama RW 06 Jadi "Venesia Versi Jakarta"
Destinasi wisata baru! Datang ke RW 06 Jati Padang, rasakan sensasi jalan-jalan di atas air tanpa harus ke Italia. Gondola diganti perahu karet. Romantis!
5. Doa Bersama Agar Hujan Berhenti
Kalau teknologi dan infrastruktur tidak bisa diandalkan, kita masih punya kekuatan doa. Siapa tahu langit lebih mendengar daripada pemerintah daerah.
Penutup: Kopi Sudah Dingin, Banjir Masih Hangat
Kopi saya sudah dingin. Tapi semangat warga RW 06 untuk terus bertahan masih hangat—meskipun harus direndam air setiap musim hujan.
Tanggul Baswedan bukan sekadar tembok penahan air. Ia adalah simbol harapan yang terus jebol, janji yang belum terwujud, dan kesabaran warga yang diuji berkali-kali.
Sampai kapan? Entahlah.
Yang pasti, tahun depan ketika hujan deras turun lagi, kita sudah bisa menebak headline beritanya:
"BREAKING NEWS: Tanggul Baswedan Jebol Lagi. Warga: Kami Sudah Tidak Terkejut."
Mungkin yang kita butuhkan bukan hanya perbaikan tanggul, tapi juga perbaikan sistem, komitmen, dan tanggung jawab. Karena tanggul bisa dibangun ulang, tapi kepercayaan warga yang sudah runtuh? Butuh lebih dari sekadar karung pemberat.
Selamat menikmati musim hujan, Jakarta.
Jangan lupa siapkan perahu karet Anda.
Disclaimer: Artikel ini bertujuan mengkritik dengan humor. Tidak ada warga yang dirugikan dalam pembuatan tulisan ini—kecuali mereka yang masih kebanjiran, tentu saja.
Editor : Muammar

0Komentar