GpGiGpY5GUClBSW9BUd8TUW9BY==
Breaking
NEWS REPORT

Tragedi Pati, Suara Rakyat Dikhianati di Ujung Paripurna

Tragedi Pati, Suara Rakyat Dikhianati di Ujung Paripurna
Ukuran huruf
Print 0
WEKACE, Saat kasus ini mencuat, ramai berteriak, rakyat tak bisa dikalahkan. Bahkan ada slogan "Revolusi dimulai dari Pati." Kekuatan apapun bisa dilindas bila rakyat bersatu. Semua seperti bersatu, termasuk wakil rakyat sendiri. Ternyata, suara rakyat malah dikhianati. Menumbangkan rezim tak bisa semata-mata dengan jurus demo. Mari kita ungkap kekalahan rakyat Pati sambil seruput kopi tanpa gula, wak!

Awalnya, Pati bukan sekadar kabupaten kecil di Jawa Tengah. Ia menjelma jadi simbol perlawanan, mercusuar bagi daerah-daerah lain yang muak dengan kekuasaan yang pongah. Rakyatnya bersatu, mengguncang bumi, melawan penguasa yang dianggap menindas. Dari sawah hingga alun-alun, dari emak-emak penjual sayur sampai mahasiswa yang berteriak di depan kantor dewan, semua bersuara. Pati menjadi nyala api bagi republik yang mulai padam moralnya. Tapi siapa sangka, nyala itu padam bukan karena hujan, melainkan karena ditiup dari dalam.

Bupati Pati, Sudewo, yang sempat di ujung jurang pemakzulan, kini berdiri gagah lagi di atas panggung kekuasaan. Tak jadi dimakzulkan. Sebab, enam dari tujuh fraksi DPRD Pati sepakat menolak pemakzulan dan hanya merekomendasikan “perbaikan kinerja.” Hanya PDIP yang teguh berdiri di barisan terakhir, menolak tunduk, menolak berbalik arah. Sisanya? Seperti daun-daun kering yang terbawa angin malam, hilang arah dan suara.

Rapat Paripurna pada Jumat, 31 Oktober, menjadi momen paling getir dalam sejarah politik Pati. Gedung dewan berubah menjadi panggung tragedi. Kata-kata yang dulu lantang menuntut keadilan kini berubah lembut menjadi dalih diplomasi. PDIP bersuara lantang, Sudewo layak dimakzulkan atas temuan pelanggaran selama Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket. Tapi PKS, PPP, PKB, Golkar, Gerindra, dan Demokrat menyatakan, Sudewo hanya perlu “memperbaiki diri.” Kata “memperbaiki diri” itu bagai tamparan halus yang terasa lebih menyakitkan dari penghianatan terang-terangan.

Ketua DPC PDIP, Ali Badrudin, berdiri dengan suara serak menahan kecewa. Ia meminta maaf sebesar-besarnya kepada rakyat Pati, kepada mereka yang menunggu hasil perjuangan panjang. Katanya, PDIP hanya punya 14 dari 50 kursi. Katanya, tak bisa berbuat banyak. Rakyat pun tahu, itu bukan sekadar permintaan maaf, tapi nyanyian duka dari pejuang yang ditinggalkan pasukannya di medan laga. “Kami meminta maaf yang sebesar-besarnya kepada masyarakat. Apapun hasilnya ini harus kita terima dengan legowo,” katanya dengan nada getir yang seolah memaksa diri untuk tetap berjiwa besar di tengah luka.

Padahal, pada awalnya hampir semua fraksi sepakat memakzulkan Sudewo. Mereka menandatangani kesepakatan setelah demonstrasi besar 13 Agustus, saat rakyat memenuhi jalanan, menuntut keadilan, menolak kesewenang-wenangan. Tapi menjelang akhir, tiba-tiba peta berubah. Arah angin berbalik. Yang dulu sepakat kini pura-pura lupa. Yang dulu lantang kini bisu. Partai NasDem, yang semula mendukung PDIP, juga menyeberang ke kubu “perbaikan kinerja.” Entah karena tekanan, entah karena bisikan, atau mungkin karena skenario yang sudah disusun jauh sebelum rakyat turun ke jalan.

Ali menutup dengan kata “legowo.” Kata yang suci tapi ironis. Karena di telinga rakyat, “legowo” kini terdengar seperti penyerahan diri. Sebuah pengakuan kalah tanpa darah, tapi penuh air mata.

Malam itu, gedung DPRD Pati menjadi saksi lahirnya tragedi baru. Tragedi tentang rakyat yang dibela, lalu ditinggalkan. Tentang kebenaran yang disepakati, lalu dinegosiasi. Tentang suara rakyat yang bergema keras, tapi akhirnya dikubur dalam rapat paripurna. Semua perjuangan yang dimulai dengan semangat, kini berakhir dengan kata “perbaikan kinerja.” Sebuah frasa yang terdengar indah di kertas, tapi busuk dalam hati rakyat.

Ketika tirai paripurna ditutup, rakyat Pati hanya bisa memandang langit malam yang kosong, menunggu keadilan yang mungkin tak akan datang. Karena di negeri ini, bahkan tragedi pun bisa disetujui lewat voting.

Foto Ai hanya ilustrasi


Tragedi Pati, Suara Rakyat Dikhianati di Ujung Paripurna
Periksa Juga
Next Post

0Komentar

Tautan berhasil disalin