'); Presiden Prabowo di Podium Dunia
WEKACE UPDATE
Loading...

Presiden Prabowo di Podium Dunia

WEKACE, Orang kalau jago Bahasa Inggris, enak dengarnya. Itulah Presiden Prabowo, baru saja berpidato dalam Sidang Umum PBB. Simak narasinya sambil seruput kopi dengan sedikit gula aren, wak!

Akhirnya, mikrofon paling sakral di planet ini disentuh juga oleh Presiden Prabowo Subianto. Sidang Umum PBB ke-80, New York, panggungnya bukan warung kopi pinggir jalan, melainkan altar global tempat dunia pura-pura sopan selama lima menit lalu kembali ribut. Di sana, Indonesia mendapat giliran ke-3 setelah Brasil dan Amerika, bayangkan, kita buka acara setara band pembuka konser Ariana Grande, tapi dengan energi orkestra perang, pangan, dan Palestina.

Prabowo tidak sekadar membaca teks. Ia menyalakan petasan diplomasi. Tema utamanya, reformasi tata dunia. Kata-kata ini terdengar seperti brosur MLM politik global, tapi Prabowo mengucapkannya dengan nada jenderal, keras, mantap, dan bikin delegasi negara-negara kecil tepuk tangan sambil berkata dalam hati, “Akhirnya ada yang berani ngomong.” Ia bilang, tata kelola dunia hari ini pincang, penuh hipokrisi, dan sudah waktunya dirombak.

Isu kedua, ketahanan pangan dan energi. Di sini Prabowo berbicara seperti bapak kos yang khawatir anak-anaknya belum makan. Ia ingatkan bahwa dunia ini bisa runtuh bukan hanya karena bom nuklir, tapi juga karena beras hilang dari piring. Memang, apa artinya demokrasi kalau perut kosong? Apa gunanya pidato panjang kalau nasi goreng tidak bisa dibeli? Filosofis sekali, tapi juga sangat praktis.

Lalu ia masuk ke perubahan iklim. Kalau biasanya isu ini terdengar seperti seminar akademik yang bikin ngantuk, Prabowo justru membungkusnya dengan gaya darurat militer, ini bukan sekadar suhu naik, ini ancaman eksistensial. Ia menegaskan Indonesia siap menjadi garda terdepan solusi energi hijau, sekaligus mengingatkan negara-negara maju agar berhenti merampok hutan tropis sambil sok-sokan bicara ekologi.

Yang paling membakar ruangan, Palestina. Prabowo tegaskan, Indonesia berdiri tegak bersama Palestina. Tidak ada basa-basi, tidak ada kalimat manis diplomatis, ia bilang siap kirim pasukan perdamaian kalau gencatan senjata diberlakukan. Lho, ini bukan retorika kosong, ini jenderal yang sedang bicara, artinya janji itu bisa berubah jadi realitas. Dunia mendadak teringat, ada negeri bernama Indonesia, dengan 280 juta jiwa, yang masih menganggap kemerdekaan adalah hak segala bangsa.

Pidato Prabowo bukan hanya soal isi, tapi juga momentum. Setelah 10 tahun, akhirnya Presiden Indonesia kembali hadir langsung di podium PBB. Jokowi terakhir hanya virtual karena pandemi, dan SBY dulu memang rajin hadir, pidatonya panjang-panjang, penuh data, penuh slide yang seolah mau diprint jadi diktat kuliah. Dunia mengangguk sopan, tapi kadang terasa seperti kelas internasional. Kini Prabowo hadir dengan gaya gladiator politik, pendek, lugas, tapi memukul telak.

Tentu saja, panggung PBB ini bukan pertama kali milik Indonesia. Soeharto pernah tampil di tahun 1970. Pesannya sederhana, Indonesia mau membangun, mari damai-damai saja. Lalu ada Gus Dur di tahun 2000, membawa humor dan pluralisme. Kalau teks pidatonya dibacakan dengan gaya beliau, mungkin delegasi PBB bisa tertawa sambil merenung, dunia ini memang butuh warna-warni, bukan satu cat tembok. Megawati juga pernah berdiri di podium itu, 2002, dengan suara tenang, membicarakan terorisme pasca 9/11. Dunia waktu itu tegang, dan Megawati menegaskan Indonesia tak akan tunduk pada ekstremisme.

Mari kita renungkan, Bung Karno dulu 1960 bicara soal “Membangun Dunia Kembali”. Enam puluh lima tahun kemudian, Prabowo bicara soal “Mereformasi Tata Dunia”. Seperti dua bab dalam buku tebal yang sama. Dari orasi megafon seorang proklamator ke gebrakan jenderal di era multipolar. Sirkulasi sejarah terasa bulat, lengkap.

Bangsa Indonesia boleh bangga. Di ruang itu, kita bukan cuma undangan yang duduk di kursi belakang sambil main ponsel. Kita ada di panggung utama, membuka percakapan dunia. Apapun warna politik dalam negeri, saat Presiden berdiri di podium PBB, ia bukan lagi milik partai atau golongan, ia adalah suara Nusantara, dari Sabang sampai Merauke.

Dunia mendengar. Entah mereka setuju, pura-pura setuju, atau pura-pura mencatat sambil melirik arloji, yang jelas kata-kata Prabowo sudah masuk arsip sejarah. Di arsip itu, tertulis, Indonesia pernah bicara lantang, menantang ketidakadilan, menawarkan solusi, dan mengingatkan semua orang bahwa dunia ini bukan hanya milik adidaya. Dunia ini juga milik kita, rakyat yang masih percaya bahwa pidato bisa jadi senjata, dan mikrofon bisa lebih tajam daripada pedang.

Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar

Redaksi

Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak