'); Beginilah Pencuri Kelas Teri Saat Ditangkap
WEKACE UPDATE
Loading...

Beginilah Pencuri Kelas Teri Saat Ditangkap

WEKACE, Sebuah video dua menit beredar, mengguncang lebih dari ceramah panjang di masjid. Seorang ibu berjilbab, menggandeng anak kecil, digiring ke ruang belakang Alfamart. Tasnya disergap, dan dari sana lahir daftar dosa versi rakyat kecil, seperti sosis, sabun, dan cemilan murah. Tidak ada emas, tidak ada uang negara, hanya barang di bawah seratus ribu, tapi cukup untuk menelanjangi kemunafikan satu bangsa.

Sang ibu diam. Ia tidak marah, tidak pula menangis. Hanya menunduk. Anaknya berlari ke sana ke mari, belum mengerti bahwa yang sedang terjadi bukan permainan kejar-kejaran, melainkan drama eksistensial, ketika lapar bertarung melawan moral. Petugas Alfamart bicara dengan suara yang penuh hafalan.“Ibu sudah sering mencuri di sini.” Ibu itu hanya menjawab pelan, kadang tidak menjawab sama sekali, seperti seseorang yang sudah lama berdamai dengan kalah.

Ia bukan pencuri elite yang mencuri proyek fiktif lalu selfie di pesawat jet pribadi. Ia bukan pencuri politik yang membobol APBN sambil pidato tentang kemakmuran rakyat. Ia hanya pencuri kere, pencuri yang bahkan tidak punya modal untuk mencuri dengan gaya. Ia mencuri sosis untuk makan, bukan saham untuk berkuasa. Tapi anehnya, hanya pencuri sepertinya yang boleh dipermalukan di depan publik, bebas divideokan, diviralkan, dijadikan bahan ceramah moral, tanpa satu pun yang membela.

Menurut data Polri, sepanjang 2023 ada 155.361 kasus pencurian dengan pemberatan. Angka itu seperti cermin yang menampakkan wajah paling miskin dari sebuah bangsa. Statistik itu tidak menyebut nama, tapi di balik setiap angka ada satu perut kosong, satu anak lapar, satu ibu yang kehilangan harapan. Karena di negeri ini, mencuri kecil berarti kriminal, tapi mencuri besar berarti karier politik.

Petugas itu meminta ibu memanggil suaminya. Jika tidak, satpam dan polisi akan dipanggil. Dunia tampak begitu tegas terhadap yang lemah, tapi begitu lembut terhadap yang kuat. Kita menonton video itu, lalu menulis di kolom komentar, “Kasihan sih, tapi salah juga.” Lalu menutup aplikasi, dan lanjut belanja di checkout 10.10, membeli barang yang sama tanpa rasa bersalah.

Di ruang belakang Alfamart itu, dunia terasa sempit tapi sarat simbol. CCTV menjadi mata moral modern, merekam dosa kecil dengan resolusi tinggi. Sementara dosa besar, korupsi, kolusi, manipulasi, menghilang di balik tirai hukum dan konferensi pers. Kita hidup di zaman ketika kamera hanya tajam ke bawah, tapi buta ke atas.

Filsafat pun seakan menyerah. Sartre bilang manusia bebas memilih, tapi apa gunanya kebebasan bila perut keroncongan? Marx mungkin tersenyum pahit dari alam sana: “Beginilah kapitalisme, yang menjadikan lapar sebagai bentuk kejahatan.”

Malam itu, ibu itu mungkin dibebaskan atau dilaporkan. Kita tak tahu. Video berhenti tanpa akhir, seperti nasib kelas bawah yang tidak pernah punya epilog. Tapi satu hal pasti, dunia ini kejam bukan karena banyak pencuri, tapi karena kita hanya menghukum yang miskin, dan bernegosiasi dengan yang kaya.

Mungkin semesta pun diam, bukan karena setuju, tapi karena sudah terlalu sering melihat hal yang sama. Sosis menjadi simbol perlawanan, CCTV menjadi kitab suci baru, dan moralitas—seperti harga kebutuhan pokok, selalu naik tiap tahun.

Maaf kelupaan, nikmati narasinya sambil seruput kopi tanpa gula, wak. Hari minggu ini mau berburu gulai asam pedas kepala tenggiri

Foto Ai, hanya ilustrasi

Penulis :

Redaksi

Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak