'); Lencana Palsu: Ketika Ambisi Mengalahkan Cinta Sejati
WEKACE UPDATE
Loading...

Lencana Palsu: Ketika Ambisi Mengalahkan Cinta Sejati



WEKACE, Namaku Nara. Aku dibesarkan dalam etalase kemewahan di Surabaya, di mana Ayah—seorang pengusaha properti—menjunjung tinggi nama baik di atas segalanya. Masa depanku terukir sempurna, namun kehancuran datang di pagi hari pernikahan kakakku, Dian.

Aku menemukan sebuah surat di meja rias Dian. Isinya adalah pengakuan pahit: Dian melarikan diri, mengejar kebebasan dari sangkar emas yang dipaksakan Ayah. Pernikahan agung dengan keluarga terpandang dari Gresik, yang merupakan kesepakatan bisnis bernilai puluhan proyek, kini hancur lebur.

Kemarahan Ayah meledak, namun bukan dalam teriakan, melainkan tatapan predator yang menakutkan. Demi menyelamatkan harga diri keluarga, Ayah menunjukku dengan tangan gemetar.

"Kau! Kau yang harus menggantikannya!" desisnya.

Mimpi beasiswa ke luar negeri dan startup-ku hancur seketika. Aku, gadis modern dan ambisius, dipaksa masuk ke gaun pengantin Dian, dinikahkan dengan pria asing yang sama sekali tak kukenal: Rifki, calon suami Dian yang hanyalah seorang guru ngaji sederhana dari Gresik.

"Dengar, guru ngaji," bisikku tajam saat prosesi cium kening, "Kamu hanya penanggung malu keluarga kami. Pernikahan ini akan berakhir secepat nama baik ayah pulih."

Reaksi Rifki membuatku terpaku. Mata coklat tuanya yang teduh menatapku tanpa amarah. "Saya tahu. Saya setuju, Nara. Saya akan menjagamu sebatas kemampuan saya dan saya akan bersabar atas semua kebencianmu."

Ujian Ketenangan di Kontrakan Kecil

Sesuai rencana kejam Ayah, aku ikut Rifki pindah ke Gresik untuk sandiwara rumah tangga harmonis. Aku tiba di depan kontrakan kecilnya: pagar kayu pudar, lampu teras remang-remang, dan aroma kayu gaharu yang menenangkan—kontras total dengan kemewahan Surabaya.

Rifki menunjuk sudut ruangan. "Maaf, hanya mampu bayar kontrakan satu kamar. Kamu boleh tidur di kasur. Saya akan tidur di sajadah."

Aku menghinanya, menuduhnya miskin, dan menyindir penghasilannya tak cukup membeli lipstik termurahku. Aku bertekad membuat guru ngaji ini menyerah dan menceraikanku secepatnya.

Pagi itu, aku menghina sarapan tempe oreknya. "Sarapanku minimal salmon atau croissant di kafe," ujarku sinis.

Rifki tidak marah, hanya menghela napas. "Kamu benar, saya miskin harta, tapi saya punya pekerjaan yang menunggu... Saya akan gunakan uang hari ini untuk membelikan makanan yang kamu suka. Besok."

Serangan pamungkasku kulakukan saat Rifki shalat Isya. Aku pura-pura menumpahkan segelas air ke atas kitab tebal dan usangnya. "Kitab Al-Hikam," bisiknya sedih. "Warisan dari guru saya. Aduh, maaf ya. Aku ganti deh. Berapa harganya? Aku transfer sekarang!"

"Kitab ini tidak ternilai harganya dengan uangmu, Nara," Rifki menggeleng, tatapannya penuh kecewa. "Ceraikan aku saja, Rifki! Aku tidak pantas jadi istrimu!" teriakku, berharap ia mengakhiri drama ini.

Namun, Rifki berdiri tegak. "Aku tahu niatmu. Tapi selama aku belum menceraikanmu, aku adalah suamimu yang sah. Aku akan bersabar dengan kebencianmu, tapi jangan pernah merusak ilmu dan ajaranku. Itu harga diriku."

Lalu, ia tersenyum penuh teka-teki, mencondongkan tubuhnya ke telingaku: "Aku tidak akan menceraikanmu. Karena aku punya satu janji lagi, janji pada diriku sendiri. Aku akan membuatmu melihat bahwa kemiskinan dan kesederhanaan tidak sama dengan kehinaan."

Rahasia di Balik Lencana Kesederhanaan

Suasana menjadi tegang, namun di tengah kesunyian itu, aku mulai mengamati Rifki. Setiap pukul 4 subuh, saat aku sibuk menunda alarm, ia sudah beranjak dari sajadahnya, larut dalam lantunan zikir. Aku mengintip dari tirai: gerakannya wudu, fokusnya—ia memiliki ketenangan yang tak pernah kudapati di rumah mewahku.

Rasa penasaran mengalahkan kebencian. Aku mengikutinya diam-diam ke musala kecil. Di sana, ia mengajar 10 anak kecil dengan mata bersinar dan suara merdu. "Di sana ada dua kali kata kemudahan, tapi hanya satu kali kata kesulitan. Kenapa? Karena kasih sayang Allah jauh lebih besar daripada masalah kita," jelasnya pada seorang anak. Kata-katanya menusuk jiwaku yang sedang merasa kesulitan.

Saat pulang, aku menantangnya lagi: "Omong kosong. Kamu hanya guru ngaji miskin yang mencoba terlihat mulia. Tunjukkan buktinya, Rifki! Tunjukkan padaku kontrak perjanjianmu dengan Ayah. Tunjukkan bahwa kamu bukan pria sepele yang kupikirkan."

Rifki mengangguk. Ia mengambil kotak kaleng tua dari balik lemari usangnya dan menyodorkannya padaku.

Di dalamnya, aku menemukan tiga bukti yang mengejutkan:

  1. Surat Perjanjian Kompensasi: Kontrak pernikahan sandiwara yang ditandatangani Ayah dan Rifki, dengan nominal kompensasi yang fantastis.

  2. Bukti Transfer Bank: Bukti transfer dari rekening Rifki ke rekening Ayah dengan nominal yang sama persis dengan utang proyek besar Ayah yang sempat menjadi rumor.

  3. Foto Usang: Foto Rifki dan Dian—mereka berdua di sebuah panggung Yayasan. Dian terlihat sangat akrab dengan Rifki.

"Kamu munafik! Kamu aktor bayaran! Kamu pakai uang Ayahku untuk melunasi utang besar itu hanya agar Ayah berutang budi padamu! Dan kamu kekasih Dian!" teriakku histeris.

Rifki maju, menatapku dengan tegas. "Aku tahu kamu akan berpikir begitu, tapi semua itu salah besar. Hubunganku dengan Dian adalah sahabat dekat dan rekan kerja. Kami tidak pernah saling mencintai sebagai pasangan."

Ia menjelaskan: "Aku adalah pendiri Yayasan Alhuda, Nara. Aku punya aset yang cukup besar. Aku menerima pernikahan ini karena aku ingin melunasi utang nama baik dan utang nyawa yang Ayahmu sembunyikan. Uang yang kuterima tidak sebanding dengan yang sudah Ayah ambil. Aku menghormati Ayahmu."

"Lalu kenapa Dian kabur?" tanyaku, suaraku melemah.

Rifki menunduk, lalu membisikkan kalimat yang membuat duniaku terbalik: "Dian kabur bukan karena mencintai pria lain. Dian kabur karena dia tahu persis aku adalah pria yang tulus mencintaimu, Nara. Dia menyusun rencana agar kamu terpaksa menikahiku, agar kamu terlepas dari kendali Ayahmu, dan bisa memulai hidup barumu di tempat sederhana ini."

Epilog: Mahkota Ketulusan

Aku menangis histeris. Aku telah memaki dan menghina pria yang mengorbankan kehormatan dan asetnya demi menjaga impianku dan menjalankan amanah kakakku. Aku telah diperjuangkan oleh dua orang yang tulus.

"Maafkan aku, Rifki. Aku tidak tahu," bisikku.

"Aku tahu kamu tidak tahu, Nara. Aku rela menanggung semuanya karena aku ingin menyelamatkanmu dari kepalsuan. Sekarang, aku rasa kamu sudah melihatnya," jawab Rifki, menatap sekeliling kontrakan kecil.

Aku meraih tangannya. "Aku ingin memulai kembali pernikahan yang sesungguhnya. Tanpa sandiwara."

Rifki tersenyum tulus. "Alhamdulillah." Ia kemudian mengeluarkan kunci sebuah SUV mewah. "Kita akan pindah dari kontrakan ini ke rumah kita yang sesungguhnya. Rumah yang juga dekat dengan Yayasan, tempat di mana kita akan mulai membangun hidup dan juga mimpimu yang sempat tertunda."

Pagi itu, aku meninggalkan kesombongan dan kemewahan palsu Surabaya. Aku, si pengantin pengganti, menemukan harta karun sesungguhnya bukan di tengah gemerlap kota, melainkan di balik kesederhanaan seorang guru ngaji di Gresik. Kami tidak lagi miskin—kami kaya akan cinta, pengorbanan, dan ketenangan yang tak bisa dibeli. Dan aku menyadari: kehormatan sejati tidak ditempelkan di seragam, melainkan dibangun dari ketulusan hati.

Editor : Zumardi



Redaksi

Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak