WEKACE, Kita tinggalkan sebentar TMJ bos DJT yang masih diburu netizen Indonesia. Sekarang kita beralih pada kesedihan dan kekecewaan Facundo Garcés, pemain naturalisasi Malaysia. Ia seperti kena getah dari sanksi FIFA untuk FAM. Saking kecewanya, bendera Malaysia ia hapus di bio Instragram-nya. Mari kita lindas, eh salah, kupas sang naturalisasi negeri jiran ini sambil seruput kopi sedikit gula aren, wak!
Seperti sebuah lakon tragedi klasik Yunani yang dipentaskan di stadion sepak bola, Malaysia kembali meneteskan air mata di panggung internasional. Facundo Garcés, bek Deportivo Alavés yang dulu dielu-elukan sebagai anak harapan Jalur Gemilang, tiba-tiba mencopot bendera Malaysia dari bio Instagram-nya. Satu sentuhan jempol, satu ikon kecil yang lenyap, dan seketika seluruh mimpi sepak bola Malaysia runtuh bagai stadion reyot ditelan badai.
Padahal, hanya beberapa bulan lalu, Garcés berbicara penuh kebanggaan. Katanya, darah Malaysia mengalir dari neneknya. Katanya, ia bangga membela negeri Harimau Malaya. Katanya, ia adalah “orang Malaysia sejati”. Kini, semua kata itu terdengar seperti puisi murahan yang dilempar di warung kopi. Sementara FIFA dengan garangnya menuliskan satu vonis, larangan bermain setahun. Hukuman yang tak hanya mencopot karier, tetapi juga mencabut ilusi nasionalisme palsu yang dijual FAM ke publik.
Inilah ironi sepak bola negeri jiran. Fans diajak percaya pada dongeng naturalisasi. Ada darah Malaysia yang tiba-tiba muncul di paspor pemain asing. Dari Buenos Aires sampai Madrid, ternyata ada nenek moyang yang konon berketurunan Melaka. FAM menjual mimpi seperti pedagang obat kuat di pasar malam, dengan janji akan ada keperkasaan di lapangan hijau. Tapi hasilnya? Bukan harimau yang lahir, melainkan kucing pincang yang ditertawakan tetangga.
Media Vietnam, Thethao247, dengan enteng menyorot kisah ini. Mereka mencatat dengan nada sinis. Garcés sudah dihapus benderanya, sudah dicatat FIFA, sudah membingungkan antara status Argentina di klub dan status Malaysia di La Liga. Dua versi identitas, dua realitas absurd. Bahkan database resmi pun bingung. Apakah Garcés ini lebih condong ke tango atau ke joget zapin? Sepak bola negeri Upin Ipin kini lebih mirip drama sinetron ketimbang olahraga, dan dunia menonton sambil terkekeh.
Fans Malaysia? Mereka patah hati. Ada yang murka, ada yang menuduh Garcés pengkhianat, ada yang menyalahkan FIFA, ada pula yang sekadar diam, karena sudah terlalu sering dibuat kecewa. Dari kegagalan demi kegagalan, kini mereka disuguhi tontonan paling tragis, sang “pilar masa depan” yang bahkan tak sempat membangun fondasi, sudah dirobohkan oleh sanksi internasional.
Di balik semua ironi ini, filsafat sepak bola berbisik lirih. Bangsa yang mencari jalan pintas dengan paspor kilat tak akan pernah menemukan kejayaan abadi. Sepak bola adalah identitas, bukan sekadar dokumen, darah dan keringat di lapangan, bukan tinta birokrasi di kantor imigrasi. Negeri Anwar Ibrahim ini ingin cepat besar, tapi lupa bahwa pohon yang dipaksa tumbuh instan akan tumbang diterpa angin.
Kini Garcés melangkah pergi. Bendera Malaysia menghilang dari bio Instagram seperti jejak cinta lama yang diputus lewat pesan singkat. Yang tersisa hanyalah luka, tawa sarkastik tetangga, dan sebuah pelajaran pahit. Sepak bola tak bisa dibangun di atas kebohongan. Fans Malaysia boleh menangis, boleh marah, boleh kecewa pada FAM, tapi sejarah sudah menulis bab satir ini dengan tinta permanen. Dunia, dengan wajah setengah iba setengah tertawa, berbisik, inilah komedi tragis sepak bola Malaysia.
Foto Ai, hanya ilustrasi.
Penulis :
Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
Tags
SEPAKBOLA