WEKACE, Sebagai praktisi NGO di bidang konservasi hutan, saya jadi khawatir putusan MK yang baru saja ketuk palu. Saya tidak tahu putusan itu demi menyelamatkan hutan yang tersisa, atau sebaliknya. Mari kita lindas, eh salah, kupas putusan MK ini sambil seruput kopi tanpa gula, wak!
Mahkamah Konstitusi akhirnya menulis bab baru dalam epos “Siapa Sebenarnya Pemilik Hutan Indonesia.” Dalam putusan nomor 181/PUU-XXII/2024, tanggal 17 Oktober 2025, MK memutuskan, masyarakat adat boleh bercocok tanam di kawasan hutan tanpa izin pemerintah pusat. Asalkan, tidak untuk komersial. Singkatnya, menanam ubi boleh, menanam sawit jangan. Tapi di negeri yang segala sesuatu bisa diartikan ulang, “subsisten” bisa berubah jadi “subsidi sawit terselubung.”
Mari kita buka peta Kalbar, daerah gue ni, wak! Dulu, tahun 2000, hijau menutupi 13 juta hektare daratan. Sekarang tinggal 4,9 juta hektare. Artinya, lebih dari 61 persen hutan sudah berpindah rupa. Sebagian jadi kebun sawit, sebagian jadi papan reklame bertuliskan “Kawasan Hutan Lindung – Dilarang Membakar.” Pohon-pohon mungkin sekarang sedang rapat darurat, menulis surat terbuka kepada MK. “Yang Mulia, bolehkah kami juga meminta perlindungan konstitusional dari gergaji?”
Putusan ini, secara ide, memang romantis. Masyarakat adat akhirnya diakui haknya untuk menanam di tanah yang sudah mereka jaga turun-temurun. Sebuah penghormatan terhadap filosofi hidup yang selaras dengan hutan. Tapi, di luar sana, ada pihak-pihak yang juga sangat selaras dengan peluang hukum. Perusahaan bisa saja tiba-tiba mengaku punya “kakek adat,” lalu mendadak jadi komunitas adat dadakan. Di atas kertas mereka menanam pisang, tapi di lapangan, buldozer sedang menanam pipa solar.
Mekanismenya sederhana. Cukup buat perjanjian “kemitraan adat.” Nanti perusahaan dan masyarakat saling membantu, masyarakat memberikan nama, perusahaan menyediakan alat berat. Akhirnya, yang disebut “tanam subsisten” adalah proyek ribuan hektare. Pohon menangis, sungai ikut batuk, tapi laporan tetap berbunyi, “Kegiatan masyarakat adat berjalan lancar.”
Kalau hutan bisa bicara, mungkin ia akan bertanya, “Kapan kalian berhenti mengatasnamakan aku untuk menebang aku?” Tapi hutan tak bicara, hanya berubah, dari hijau jadi cokelat, dari tanah jadi debu, dari udara segar jadi kabut asap yang menembus masker.
Bayangkan, wak! Seekor burung enggang kini harus terbang lebih jauh mencari pohon. Sementara manusia di Jakarta membahas green economy dengan pendingin ruangan yang menyala 24 jam. Sungguh simbiosis mutualisme yang absurd. Satu pihak menebang, satu pihak berbicara tentang menanam, dan hutan berada di tengah, seperti korban cinta segitiga yang tak diundang.
Di sisi lain, masyarakat adat sebenarnya tak minta banyak. Mereka hanya ingin menanam untuk makan, bukan untuk mengekspor. Tapi di negeri ini, setiap lubang hukum selalu berpotensi jadi tambang emas. Itulah mengapa, putusan MK yang tampak mulia bisa berubah jadi alat kolonisasi gaya baru, korporasi berseragam adat, berlogat laba rugi.
Bumi Khatulistiwa kini tinggal 4,9 juta hektare hutan. Kalau trennya terus begini, mungkin dua dekade lagi kita akan mengenang hutan seperti mengenang kaset pita. Dulu ada, sekarang tinggal nostalgia.
Pada saat itu, mungkin MK akan mengeluarkan putusan lain, “Masyarakat boleh menanam di bekas hutan, asal tak mengganggu tambang.” Pohon-pohon tak lagi menulis puisi lewat angin, mereka sudah jadi furnitur di ruang rapat.
Hutan bukan sekadar ruang hijau di peta, tapi kesadaran kolektif yang sedang sekarat. Kita terlalu sibuk memperdebatkan siapa yang boleh menanam, sampai lupa bertanya, “Masih adakah tanah yang bisa ditanami?”
Foto Ai, hanya ilustrasi
Editor :
Tags
OASE