WEKACE, Pembelaan netizen pada Kepsek Dini Fitria semakin menggunung. Walau udah nonaktifkan, diperiksa polisi, #savekepsekdini semakin menggema. PGRI sudah bersikap. Kita kincah lagi soal ini sambil seruput kopi tanpa gula, wak!
Negeri ini memang punya selera drama yang unik. Seorang kepala sekolah bisa jadi headline bukan karena prestasi, tapi karena satu tamparan. Dini Fitria, Kepala Sekolah SMAN 1 Cimarga, tiba-tiba jadi bintang utama hanya karena menampar seorang siswa yang ketahuan merokok di lingkungan sekolah. Ya, menampar, bukan memukul pakai penggaris besi, bukan menendang seperti film laga. Tapi, di republik yang kini lebih sibuk menjaga citra dari akhlak, satu tamparan bisa dianggap tragedi nasional.
Bayangkan, wak! Seorang guru yang setiap hari mengatur ratusan remaja dengan tingkat ego dan emosi setinggi tower BTS, menemukan satu anak yang santai mengepulkan asap dosa di halaman sekolah. Dalam sepersekian detik, naluri pendidik berbicara. Tamparan pun melayang, bukan sebagai balas dendam, tapi panggilan kasih. Sayangnya, di zaman ini, kasih sayang tanpa surat izin bisa dikategorikan tindak pidana.
Tapi lihatlah, publik justru tidak bodoh. Dukungan untuk Dini Fitria meluap di media sosial. Ribuan komentar membela. Tagar #SaveKepsekDini menggema. Tokoh-tokoh publik ikut bersuara, menyebut tamparan itu sebagai simbol ketegasan yang mulai langka. Para siswa pun melakukan aksi mogok belajar, bukan karena malas, tapi karena cinta. Cinta kepada sosok yang mendidik mereka bukan hanya dengan kata-kata, tapi dengan keberanian menegakkan disiplin. Ironis sekali, di negeri di mana murid sering pura-pura sakit biar tak sekolah, kini mereka mogok karena ingin belajar bersama guru yang dinonaktifkan.
Sayangnya, para birokrat di gedung pemerintahan tak paham bahasa kasih seperti itu. Sekda Provinsi Banten dengan khusyuk melaporkan insiden tamparan ini ke Gubernur, seolah Dini baru saja melanggar traktat internasional. Dinas Pendidikan pun menonaktifkannya, demi “menunggu hasil penyelidikan”. Ah, betapa suci bahasa administrasi, betapa getir nasib guru di negeri birokrasi.
Untunglah, LKBH PGRI tampil sebagai oase logika. Mereka menyebut tindakan Dini sebagai “penamparan spontan demi disiplin, bukan kekerasan.” Kalimat itu terdengar sederhana, tapi sejatinya revolusioner. Karena memang begitulah guru bekerja, spontan, tulus, tanpa kalkulasi politik. Mereka bukan malaikat, tapi manusia yang sabarnya dilatih dari pagi hingga pulang sore menghadapi generasi yang lebih tunduk pada ponsel dari pada prinsip.
Orang tua yang melapor mungkin lupa, dulu mereka pun pernah ditampar guru, dan justru di situlah mereka belajar hormat. Tamparan dulu melahirkan akhlak, bukan trauma. Sekarang, anak disentuh sedikit langsung bikin laporan polisi, seolah wibawa guru itu barang dagangan yang bisa ditukar dengan trending topic.
Kini publik terbelah dua. Sebagian mencela, sebagian memuliakan. Tapi siapa pun yang pernah mengajar tahu, di balik setiap tamparan guru ada cinta yang terdesak. Cinta yang tak sempat menulis laporan, tapi ingin menyelamatkan masa depan.
Ketika 600 siswa mogok, sesungguhnya bangsa ini sedang ditampar oleh nuraninya sendiri. Bahwa pendidikan sejati tak lahir dari ruang sidang, tapi dari ruang kelas yang penuh kesabaran dan ketulusan.
Jika sejarah kelak menulis kisah ini, biarlah tertulis begini, pernah ada seorang kepala sekolah bernama Dini Fitria, yang berani menampar satu wajah, demi menyelamatkan seribu masa depan. Karena tamparan kasih, jauh lebih beradab dari rokok di sekolah. Karena, merokok di area sekolah dilarang.
Asap rokok menari di pagi,
Tamparan kasih jadi pengingat.
Guru tegas bukan pembenci,
Hanya ingin muridnya selamat.
Foto Ai, hanya ilustrasi
Editor : qq
Ketua Satupena Kalbar
Tags
VIRAL