'); Levina Istiazah, Jemaah Haji Termuda
WEKACE UPDATE
Loading...

Levina Istiazah, Jemaah Haji Termuda



OPINI, Kadang sulit untuk dinalarkan. Belum saatnya pergi haji, eh malah berangkat benaran. Inilah yang dialami gadis cantik, Levina Istiazah. Ia dinobatkan sebagai jemaah haji termuda tahun 2025 ini. Mari kita kulik kisah Levina bisa menginjakkan kaki di tanah suci Mekah. Siapkan kopi tanpa gulanya, wak! Siapa tahu setelah membacara narasi ini, nuan bisa berangkat haji tahun tahun depan.

Di antara jutaan jemaah haji yang memenuhi langit dan tanah suci pada 1446 Hijriah atau 2025 Masehi, Allah memilih satu nama muda yang bikin netizen merinding, dan para emak-emak di pengajian berseru, “Masya Allah tabarakallah!” Namanya, Levina Istiazah, umur: 18 tahun, status: jemaah haji termuda Indonesia tahun ini, dan penyandang gelar tidak resmi sebagai “anak muda paling beruntung dan paling diinginkan semesta.”

Tapi cerita ini bukan dongeng viral yang muncul begitu saja dari kolom explore. Ini kisah nyata yang penuh air mata, hafalan Quran, dan rencana Tuhan yang sungguh tidak bisa ditebak walau ente sudah langganan tarot mingguan. Tahun 2012, orang tua Vina mendaftar haji. Waktu itu, Vina baru kelas 3 SD. Belum mikir apa-apa selain PR, jajan ciki, dan menghafal surat pendek biar cepat buka puasa. Tapi 13 tahun kemudian, ketika giliran berangkat tiba, ibu Vina justru telah kembali kepada-Nya. Tiket haji itu, yang dulu ditulis atas nama sang ibu, kini dititipkan kepada sang anak. Apakah ini takdir biasa? Tidak. Ini skrip langit yang ditulis langsung oleh Tuhan dengan pena takdir dan tinta air mata.

“Saya bisa berangkat karena mamah saya,” kata Vina, yang bahkan di usia semuda ini sudah belajar satu pelajaran berat, bahwa cinta sejati kadang diwujudkan lewat kehilangan. Sang ibu memang tak jadi berangkat, tapi ia telah mengantarkan seseorang ke tempat yang sangat ia rindukan, Mekkah, Ka’bah, dan tanah penuh rahmat itu.

Vina bukan gadis biasa. Ia adalah santri sekaligus mahasiswi semester dua di STIBA Ar-Rayah Sukabumi. Ia juga alumni pesantren tahfidz Daarul Atqiyaa, Tegal, dan telah menghafal 15 juz Alquran. Jumlah yang lebih banyak dari bab skripsi mahasiswa abadi. Ia ramah, aktif, senang mencoba hal baru, dan satu hal yang tidak ia duga, jadi viral karena berhaji. Video singkatnya di TikTok dan YouTube Kemenag Jateng disukai ribuan orang dan dibagikan ratusan akun. “Saya kaget dan nggak nyangka,” katanya, dengan wajah polos ala santri yang mendadak jadi selebgram spiritual.

Berangkat bersama kloter 15 Embarkasi Solo (SOC 15), Vina cuti kuliah satu semester. Bukan karena mau ngerjakan makalah, bukan karena galau, tapi karena ingin menjalani seluruh manasik haji. Ia tidak hanya belajar cara melempar jumrah atau memakai ihram. Ia belajar berjalan di atas jejak Ibrahim, menangis di bawah langit Arafah, dan mencium debu-doa yang dipijak jutaan hamba sejak ribuan tahun lalu. Ia bukan wisatawan religi. Ia penziarah spiritual yang diundang langsung oleh langit.

Ketika berdiri di depan Ka’bah, Vina tidak hanya melihat bangunan hitam itu. Ia melihat arah dari setiap salatnya, rumah yang selama ini hanya disebut dalam doa. Ia menangis bukan karena drama, tapi karena akhirnya tahu: inilah pusat rindu umat Islam seluruh dunia.

Sementara kita, yang masih menunda-nunda tobat karena “belum siap,” harus berkaca pada Vina. Umurnya baru 18, tapi jiwanya sudah masuk ke rumah Allah Swt. Sementara kita, umur segini masih debat di kolom komentar soal hukumnya ziarah pakai outfit OOTD.

Haji bukan tentang kaya. Haji adalah panggilan. Ketika Allah memanggil, jangan tanya kenapa. Karena bisa jadi, engkau dipilih untuk menyambung rencana yang tertunda, menggantikan seseorang yang sangat kau cintai, dan menyelesaikan doa yang belum selesai. Seperti Vina. Seperti ibunya. Seperti ente, suatu hari nanti.

Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar

Redaksi

Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak