'); Roda Takdir
WEKACE UPDATE
Loading...

Roda Takdir



WEKACE,  Aspal Jakarta yang panas menyengat wajah seperti bara api. Di tengah hiruk pikuk lalu lintas yang tak pernah reda, sebuah mikrolet tua berwarna hijauu dengan trayek 07 melaju dengan sabar. Pandu mengemudikan angkotnya dengan tenang, mata awas memperhatikan jalanan yang padat.

Bab 1: Di Balik Kemudi

Para sopir lain di terminal mengenalnya sebagai sosok yang berbeda—pendiam, tidak pernah ikut berjudi atau minum-minum, selalu sopan pada penumpang. Namun di balik kesederhanaan itu, ada misteri yang tak seorang pun duga.

Hari itu terasa lebih terik dari biasanya. Angkotnya penuh sesak dengan berbagai penumpang—ibu dengan dua anak, pegawai kantor yang terburu-buru, nenek dengan keranjang belanja besar. Pandu mengemudi dengan halus, menghindari lubang dan pengereman mendadak.

Tepat di depan sebuah restoran Prancis mewah, mesin angkotnya tiba-tiba batuk-batuk, lalu mati total. Asap putih tipis mengepul dari kap mesin. Dengan tenang, Pandu meminta maaf pada penumpang dan mengembalikan ongkos mereka.

Saat ia membuka kap mesin, tangannya mulai berlumuran oli hitam. Keringat membasahi pelipis, menciptakan alur kecil di antara debu jalanan. Tepat saat itu, pintu kaca restoran megah terbuka.

Sepasang manusia melangkah keluar—seorang wanita dalam gaun merah anggun dan pria bertubuh tegap berseragam loreng TNI dengan pangkat Letnan Satu di pundak. Pandu membeku. Ia mengenali wanita itu—Sinta, mantan istrinya.

Bab 2: Pertemuan yang Menyakitkan

"Lo itu kan?" suara Sinta terdengar, campuran kaget dan geli. Pandu menundukkan kepala, berharap mereka tidak melihat dan terus berjalan. Namun langkah kaki mendekat.

"Pandu, benar ini kamu?" tanya Sinta dengan nada merendahkan yang tajam.

Pandu mengangkat kepala dengan berat hati. "Sinta," sapanya singkat.

Pria berseragam bernama Guntur memandang Pandu dari ujung kepala sampai kaki dengan tatapan menghina. "Oh, jadi ini pria yang kamu ceritakan itu, sayang. Sopir angkot. Luar biasa."

Sinta tertawa—tawa yang terdengar seperti pecahan kaca. "Aku sudah bilang kan, Mas, jangan kaget. Beginilah hidupnya sekarang."

Guntur mengeraskan suara, "Lihat sayang, kamu sudah membuat pilihan yang tepat. Coba bayangkan, mau jadi apa hidupmu kalau masih terjebak dengan sopir angkot ini? Setiap hari bergelut dengan asap dan debu, menghitung uang receh."

Setiap kata terasa seperti tamparan. Pandu mengepalkan tangan di saku, menahan gejolak dalam dada. Bukan karena hinaan mereka, tapi karena melihat betapa dalamnya perubahan Sinta—wanita yang dulu dicintainya karena tawa hangat dan kesederhanaan kini menjadi orang asing yang dingin.

Mereka berjalan menuju Pajero Sport hitam berplat dinas militer. Sebelum masuk, Sinta menoleh sekali lagi. Di matanya, Pandu tidak melihat apa-apa selain kekosongan dan kepuasan semu.

Bab 3: Kenangan Pahit

Di kamar kontrakannya yang sempit, Pandu merebahkan tubuh di kasur tipis. Kamar 3x4 meter itu sederhana—kasur, lemari plastik, dan meja kayu kecil dengan tumpukan buku. Bukan buku biasa yang dibaca sopir angkot, melainkan buku strategi bisnis, biografi pemikir besar, dan sastra klasik.

Pandangannya beralih ke kotak kardus tua berisi kenangan. Ia mengambil foto pernikahan lima tahun lalu—dirinya dan Sinta tersenyum bahagia. Betapa naifnya ia dulu.

Pikirannya melayang ke dua tahun lalu, malam yang menjadi titik balik pernikahan mereka. Mereka sedang makan malam di apartemen mewah lantai 30.

"Aku punya rencana, Shin," kata Pandu meletakkan garpu.

"Rencana apa? Liburan ke Eropa lagi?"

"Bukan, ini lebih besar. Aku akan meninggalkan semuanya untuk sementara—perusahaan, apartemen, mobil mewah, semuanya."

Tawa Sinta meledak, penuh kebingungan. "Kamu bercanda kan, Pan?"

"Aku serius. Aku akan hidup seperti orang biasa, bekerja dari bawah, merasakan bagaimana rasanya mencari uang dengan keringat sendiri. Aku ingin tahu bagaimana rasanya menjadi bagian dari roda paling bawah yang selama ini menopang kemegahan ini."

Raut wajah Sinta berubah drastis. "Kamu sudah gila? Mau membuang semua yang dibangun kakek dan ayahmu hanya untuk pengalaman konyol?"

"Bukan untuk selamanya, Shin. Aku perlu melakukan ini. Aku merasa hampa, seperti hidup dalam gelembung emas terpisah dari dunia nyata."

"Omong kosong!" suara Sinta meninggi. "Aku tidak menikah denganmu untuk hidup prihatin. Aku menikah dengan Pandu Wiratama, pewaris Wiratama Grup!"

Malam itu menjadi awal dari akhir. Perdebatan berlanjut selama berminggu-minggu. Sinta memberinya pilihan—lupakan ide gila itu atau ia akan pergi. Dengan berat hati, Pandu menyadari cinta Sinta memiliki syarat dan ketentuan.

Akhirnya mereka berpisah. Pandu menyerahkan sebagian besar harta kepada Sinta dan menghilang dari dunia kelas atas, memulai hidup baru sebagai sopir angkot.

Bab 4: Dunia Ganda

Setelah menghabiskan mie instan, Pandu duduk di meja dan membuka laci terkunci. Di dalamnya ada ponsel satelit hitam, sangat berbeda dari ponsel jadul yang biasa digunakan. Sebuah pesan masuk—laporan mingguan tentang pergerakan saham, akuisisi perusahaan tambang, dan kinerja anak perusahaan Wiratama Grup.

Jari-jarinya menari di layar, membaca dengan teliti. Wajahnya berubah serius dan fokus—ini bukan sopir angkot yang sabar, melainkan pemimpin tajam penuh perhitungan.

Ponsel berdering. Panggilan dari Pak Hariman, tangan kanannya.

"Selamat malam, Tuan Muda," sapa suara berat penuh hormat. "Mengenai tender pengadaan logistik pertahanan—kita berhasil memenangkannya. Konsorsium Nusantara Korp telah ditunjuk sebagai mitra Kementerian Pertahanan."

Nusantara Korp—nama yang Pandu ciptakan untuk menjadi wajah baru gurita bisnisnya, tidak bisa dilacak kembali ke Wiratama Grup.

"Bagus. Pastikan semua sesuai prosedur. Proyek ini menyangkut keamanan negara."

"Ada satu hal lagi, Tuan Muda. Penandatanganan kontrak memerlukan kehadiran langsung pemilik utama Nusantara Korp untuk menunjukkan komitmen."

Pandu memijat pelipis. Kembali ke dunia yang sengaja ditinggalkan. "Atur saja jadwalnya."

Dua dunia, dua identitas. Mungkin sudah saatnya topeng dibuka.

Bab 5: Video yang Menggemparkan

Beberapa hari kemudian, Pandu menghadapi situasi berbahaya di angkotnya. Dua pemuda bertato naik dengan aura mengancam. Salah satunya mengeluarkan pisau lipat, merampas barang penumpang.

Ketika pemuda itu hendak merebut tas seorang nenek tua yang berisi uang berobat cucunya, Pandu bertindak.

"Hentikan," katanya dengan suara tenang namun berwibawa.

"Diam kau sopir atau pisau ini menancap di lehermu!"

Pandu mematikan mesin. "Kalian salah memilih mobil. Turun sekarang dan aku akan lupakan ini."

Pemuda itu maju mengarahkan pisau. Gerakan Pandu terjadi begitu cepat—ia menepis pergelangan tangan dengan teknik presisi, membuat genggaman pisau melemah. Bersamaan itu, tangan lainnya mendorong bahu pemuda hingga terjatuh menimpa temannya.

Seluruh kejadian berlangsung tiga detik tanpa pukulan atau tendangan, hanya gerakan efisien dan melumpuhkan. Seorang mahasiswa merekam kejadian itu dan mengunggah ke media sosial dengan judul "Sopir Angkot Gagah Lumpuhkan Perampok Tanpa Kekerasan."

Video itu menyebar tanpa sepengetahuan Pandu, siap menjadi benang kusut berikutnya dalam takdirnya.

Bab 6: Ancaman Penggusuran

Di pangkalan angkot trayek 07, suasana muram. Para sopir berkumpul di warung Bu Sarti dengan wajah tegang. Mang Odet, sopir paling senior, menggenggam surat dari perusahaan properti.

"Tanah ini sudah dibeli PT Jaya Sentosa. Mereka akan membangun ruko. Kita diberi waktu sebulan untuk mengosongkan tempat ini."

Kabar itu seperti petir di siang bolong. Para sopir panik—ini bukan hanya kehilangan tempat parkir, tapi tercerabutnya komunitas dari akar.

Pandu mendengarkan dalam diam, melihat kepanikan di mata Ujang yang harus menghidupi istri dan tiga anak, keputusasaan Bu Sarti, kesedihan Mang Odet. Dalam hati, ia sudah membuat keputusan.

Dua minggu kemudian, sedan hitam mewah berhenti di pangkalan. Seorang pengacara bernama Firman keluar membawa map kulit.

"Saya kuasa hukum Yayasan Lentera Bangsa. Klien kami telah mendengar masalah pangkalan ini. Yayasan telah membeli seluruh tanah dari PT Jaya Sentosa tadi pagi."

Hening. Firman melanjutkan, "Tanah ini akan dihibahkan kepada Koperasi Sopir Angkot Trayek 07. Klien kami berpesan: 'Teruslah bekerja dengan jujur, karena setiap tetes keringat adalah doa.'"

Kegembiraan meledak di pangkalan. Mereka bertanya-tanya siapa malaikat penolong misterius itu. Pandu berdiri di belakang, tersenyum tipis—senyum tulus dan penuh kelegaan.

Bab 7: Keraguan Mulai Muncul

Sinta sedang bersantai di apartemen mewahnya ketika melihat video Pandu melumpuhkan perampok. Meskipun gambar tidak terlalu jelas, ia mengenali postur dan profil wajah mantan suaminya.

Cara Pandu melucuti pisau dan menjatuhkan perampok bukan perkelahian brutal sopir nekad—itu efisiensi dingin, gerakan terlatih, ketenangan luar biasa. Ingatan samar muncul—dulu Pandu berlatih Aikido.

Bagaimana mungkin seorang yang hidupnya "gagal" memiliki ketenangan dan keahlian seperti itu? Citra Pandu sebagai pria lemah yang selama ini dibangun Sinta untuk membenarkan keputusannya mulai retak.

Untuk pertama kali setelah lama, ia merasa tidak yakin. Ada rahasia besar tersembunyi di balik kemeja pudar dan tangan penuh oli milik sang sopir angkot.

Bab 8: Penyelidikan Berbahaya

Guntur tidak bisa tidur setelah melihat Pak Hariman, Direktur Utama Nusantara Korp, berbicara dengan hormat kepada Pandu di wartek. Firasat buruk menggerogotinya.

Ia menemui teman lama di Badan Intelijen Strategis, meminta diperiksa latar belakang Pandu. Beberapa hari kemudian, Rudi menelepon dengan suara serius.

"Guntur, aku tidak tahu siapa orang yang kau suruh selidiki. Saranku—lupakan dia, jauhi dia."

"Apa maksudmu?"

"Aku tidak menemukan apa-apa. Justru itu masalahnya. Datanya ada tapi seluruhnya diklasifikasikan tingkat keamanan alfa—rahasia negara. Untuk membuka data itu butuh otorisasi langsung panglima atau kepala BIN."

Guntur merasa lemas. Alfa rahasia negara hanya digunakan untuk aset intelijen vital atau identitas keluarga pejabat paling puncak.

"Siapapun dia, dilindungi kekuatan sangat besar. Jangan usik sarang lebah."

Kecurigaan Guntur berubah menjadi horor. Siapa sebenarnya Pandu?

Bab 9: Pengakuan Tante Ratih

Sinta mengunjungi Tante Ratih dengan dalih mengantarkan kue, lalu bertanya tentang keluarga Pandu.

"Kamu benar-benar tidak pernah tahu siapa Pandu dan keluarganya selama menikah," kata Tante Ratih dengan senyum kasihan. "Keluarga Wiratama bukan pengusaha biasa. Mereka salah satu pilar ekonomi negeri, hanya tidak suka sorotan media."

Dunia Sinta seolah berhenti. Tante Ratih melanjutkan, "Kakeknya Pandu sahabat seperjuangan presiden pertama. Wiratama Grup menggurita dari pertambangan hingga teknologi digital. Dan Pandu—anak itu jenius. Lulus Stanford summa cum laude usia 21 tahun."

"Jadi saat ia ingin hidup sederhana..."

"Dia bukan gagal, Sinta. Dia sedang belajar. Kamu tidak punya kesabaran menemaninya saat sekolah kehidupan. Kamu memilih jalan pintas."

Sinta tidak bisa berkata-kata. Semua harga diri yang dibangun di atas "kegagalan" Pandu hancur berkeping-keping. Di dalam mobil, ia akhirnya menangis—tangis penyesalan pahit dan menyesakkan.

Bab 10: Malam Pembuktian

Undangan penandatanganan kerja sama Nusantara Korp-TNI tiba dalam kotak bludru elegan. Bagi Sinta dan Guntur, undangan ini terasa seperti ancaman.

Malam acara di Ballroom Hotel Indonesia, mereka hadir dengan topeng senyum menutupi kegelisahan. Pak Hariman memberikan pidato tentang visi Nusantara Korp, lalu mengumumkan kehadiran pemilik utama perusahaan untuk pertama kali di publik.

"Mari sambut Chairman Nusantara Korp, Bapak Baskara Setiadarma Wiratama!"

Nama itu menghantam Sinta seperti gelombang pasang. Baskara—nama formal yang jarang digunakan. Wiratama—nama keluarga legendaris. Guntur membeku, inisial BS yang pernah disebutPak Hariman kini jelas: Baskara Setiadarma.

Dari sisi panggung, Pandu melangkah ke sorotan cahaya. Tapi ini bukan lagi sopir angkot—ia mengenakan setelan jas custom biru malam, kemeja putih, dasi sutra perak. Rambutnya tertata rapi, wajah segar menampakkan garis rahang tegas.

Yang paling berbeda adalah auranya—tidak lagi kesabaran rakyat kecil, melainkan kekuasaan tenang tak terbantahkan. Ballroom senyap sesaat, lalu riuh bisikan. Para jenderal, menteri, konglomerat—semua bertanya siapa anak muda ini.

Baskara berdiri di podium, menyampaikan pidato singkat tentang sinergi, komitmen Nusantara Korp sebagai mitra pertahanan. Lalu ia mengucapkan kalimat menusuk:

"Filosofi kami sederhana—kekuatan sejati bangsa tidak hanya terletak pada kecanggihan alat perang, tapi kesejahteraan setiap individu yang membangunnya. Mulai dari prajurit gagah berani hingga pengemudi angkutan umum yang menjadi urat nadi perekonomian. Semua adalah pahlawan. Semua pantas dihormati."

Bagi 99% tamu, itu retorika indah. Bagi Sinta dan Guntur, itu gema hinaan mereka yang dikembalikan dengan cara paling elegan dan mematikan.

Bab 11: Kehancuran

Keesokan paginya, Guntur dipanggil Kolonel Prabowo. "Proyek ini membutuhkan pemimpin dengan kecerdasan strategis dan emosional matang. Kamu dibebastugaskan dari jabatan kepala proyek, dipindah ke staf administrasi Papua."

Karir Guntur berakhir. Sinta mengalami isolasi sosial—teman-temannya menjauhi, menjadi bahan gosip sebagai "wanita paling bodoh tahun ini yang menukar berlian dengan kerikil."

Pertengkaran mereka hebat malam itu, saling menyalahkan. Pernikahan yang dibangun atas citra pasangan sukses hancur ketika citra itu runtuh.

Sinta nekad menelepon kantor Wiratama Grup, berharap berbicara dengan Baskara. Asisten menyampaikan pesan: "Bapak Baskara berpesan masa lalu beliau sudah selesai dan menjadi pelajaran berharga. Beliau mendoakan yang terbaik untuk masa depan Ibu."

Pintu baja ditutup dan dikunci di depan wajahnya. Tidak ada jalan kembali.

Bab 12: Jalan Baru

Enam bulan berlalu. Pangkalan angkot telah berubah menjadi Koperasi Angkutan Harapan Jaya dengan fasilitas baru. Baskara sesekali mampir, duduk di bangku panjang bersama Mang Odet dan Ujang seperti dulu—persahabatan tulus yang tidak luntur meski semua tahu siapa dia sebenarnya.

Di tempat lain, Baskara meluncurkan Transling Nusantara—platform mengintegrasikan transportasi konvensional ke ekosistem digital. "Teknologi seharusnya tidak mematikan yang tradisional, tapi memberdayakannya."

Setelah acara peluncuran, ia berbincang dengan jurnalis muda bernama Citra. Percakapan mereka mengalir ke visi sosial dan filosofi—koneksi berdasarkan ide, bukan status. Sebuah awal baru yang lebih sehat.

Guntur kini hanyalah perwira staf tanpa nama di Papua, kehilangan segalanya bukan karena kekuatan lawan tapi kelemahan karakter sendiri. Pernikahannya dengan Sinta kandas.

Sinta tinggal di apartemen kecil hasil penjualan perhiasan. Suatu malam, melihat berita peluncuran Transling Nusantara di TV, ia sadar akan penyesalan terdalam—bukan kehilangan kekayaan dan status, tapi kehilangan pria baik hati dengan mimpi besar yang dulu ia anggap aneh.

Epilog: Roda yang Berputar

Malam itu, Baskara mengemudikan sedan biasa menyusuri Jakarta. Di lampu merah, ia berhenti di samping angkot trayek 07. Sopir muda di dalamnya menatap jalanan dengan tatapan lelah namun penuh harapan.

Mata mereka bertemu melalui kaca spion. Baskara tersenyum dan mengangguk pelan—gestur solidaritas tanpa kata. Sopir muda itu membalas dengan bingung.

Lampu berubah hijau. Baskara melaju, membaur dengan lautan cahaya kota. Ia tidak lagi hidup di dua dunia terpisah—telah berhasil menyatukannya. Ia adalah pewaris yang memahami denyut nadi jalanan dan sopir yang memegang kemudi masa depan.

Rodanya telah menemukan jalan baru. Sebuah perjalanan yang baru saja dimulai.


Editor : Zumardi



Redaksi

Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak