Bab 1: Topeng Sederhana
Ahmad bukanlah penjaga biasa. Di balik sikap sopan dan hormatnya, tersimpan kecerdasan tajam yang mampu membaca setiap gerak-gerik penghuni gedung. Ia mengamati para eksekutif muda yang berlalu-lalang dengan cangkir kopi premium, karyawan yang wajahnya dipenuhi beban kerja, serta tamu-tamu yang menatap kagum pada kemegahan lobi.
Sudah delapan bulan ia bekerja di sini, namun ada satu sosok yang selalu menarik perhatiannya: Laras Kartika, putri tunggal pemilik gedung ini. Wanita berusia dua puluh empat tahun itu adalah definisi kesempurnaan di mata banyak orang. Rambut panjangnya yang bergelombang, cara berjalannya yang anggun, dan pakaian yang selalu tampak sempurna membuatnya menjadi pusat perhatian.
Namun Ahmad melihat lebih dari itu. Di balik senyum terpaksanya, ia menangkap kerapuhan yang tersembunyi. Dalam beberapa pekan terakhir, Laras sering terlihat lelah. Matanya sembab, dan BMW putihnya kadang terparkir miring seolah pengemudinya kehilangan konsentrasi.
Malam itu, hujan mengguyur Jakarta dengan deras. Ahmad melihat mobil Laras berhenti di depan lobi, namun wanita itu tak kunjung turun. Ia hanya duduk terpaku, menatap kosong tetesan air di kaca depan. Lima belas menit berlalu sebelum akhirnya Laras keluar tanpa payung, membiarkan gaun sutranya basah kuyup.
Ahmad segera bergegas dengan payung berlogo perusahaan. "Selamat malam, Nona Laras. Hujannya sangat deras," sapanya dengan suara tenang.
Laras terkejut. Ia menatap wajah satpam itu - wajah yang bersih dengan mata yang teduh. Tidak ada tatapan ingin tahu atau menghakimi di sana. "Terima kasih," bisiknya dengan suara serak.
Saat pintu lift eksklusif terbuka, Laras berbalik sejenak. "Terima kasih," ucapnya lagi dengan nada yang lebih tulus sebelum pintu menutup.
Ahmad kembali ke posnya dengan pikiran yang bergejolak. Ponselnya bergetar - pesan dari ibunya di Jogja. "Nak, obat untuk ayahmu bulan ini hampir habis. Jangan sampai lupa ya." Pesan sederhana itu terasa berat di dadanya. Gajinya sebagai satpam memang cukup untuk hidup sehari-hari, namun untuk biaya pengobatan ayahnya yang menderita diabetes kronis, ia harus bekerja extra keras.
Bab 2: Rahasia Tersingkap
Di puncak menara, Laras disambut oleh ayahnya, Bambang Kartika. Pria itu berdiri di dekat jendela raksasa, menatap badai dengan punggung yang kaku. Aura dingin memenuhi ruangan.
"Dari mana saja?" tanya Bambang tanpa menoleh.
"Ada urusan," jawab Laras pelan.
Bambang berbalik. Matanya yang tajam menatap putrinya dari ujung rambut hingga kaki, berhenti di perut yang sedikit membuncit yang coba Laras sembunyikan dengan tas tangan.
"Fajar sudah menghilang. Pria pengecut itu memutus komunikasi dan keluarganya pindah entah ke mana," ucap Bambang dingin.
Tubuh Laras bergetar. Ayahnya sudah mengetahui kehamilannya.
"Jangan panggil aku ayah!" bentak Bambang. "Kamu tahu apa yang sudah kamu lakukan? Investor dari Malaysia akan datang minggu depan. Mereka sangat menjunjung tinggi nilai keluarga. Dan sekarang putri tunggalku hamil di luar nikah!"
Air mata Laras mengalir deras. "Aku minta maaf, Yah. Aku tidak bermaksud—"
"Maaf tidak bisa membayar utang perusahaan. Maaf tidak bisa mengembalikan kepercayaan para investor," potong Bambang. "Hanya ada satu cara untuk menutupi aib ini. Kamu harus menikah secepatnya."
"Dengan siapa? Fajar sudah pergi," tanya Laras lemah.
Bambang tersenyum sinis. "Itu urusanku. Aku akan mencari seseorang yang bisa dibayar untuk membersihkan kekacauan ini. Seseorang yang tidak akan banyak bertanya."
Matanya menyapu area lobi di bawah, melihat seorang satpam yang masih berjaga meski hari sudah larut. Sebuah ide kejam terbentuk di benaknya.
Bab 3: Perjanjian Iblis
Keesokan harinya, Ahmad dipanggil ke ruang direktur. Perjalanan dengan lift menuju lantai tertinggi terasa seperti menuju eksekusi. Ia tidak pernah membayangkan akan menginjak ruangan mewah yang selama ini hanya ia lihat dari kejauhan.
Bambang duduk di balik meja mahogani besar, dikelilingi oleh dokumen dan laptop. Laras duduk di sofa sudut dengan kepala tertunduk.
"Duduklah," perintah Bambang tanpa basa-basi. Ahmad duduk dengan gugup di kursi yang disediakan.
"Aku akan langsung pada intinya. Putrik hamil dan perlu suami. Aku menawarkan posisi itu padamu."
Ahmad merasa dunia berputar. "Ma... maaf, Pak?"
"Dua miliar rupiah. Itulah yang akan kamu terima jika bersedia menikahi Laras. Perjanjian kontrak lima tahun. Setelah itu, kalian bisa bercerai dan kamu akan mendapat bonus tambahan."
Ahmad terdiam. Jumlah itu fantastis - bisa mengobati ayahnya dan menjamin masa depan keluarga. Namun harga dirinya memberontak.
"Saya... saya perlu waktu untuk berpikir, Pak."
"Waktu?" Bambang tertawa hambar. "Kamu pikir ini permainan? Aku bisa memecatmu sekarang juga dan memasukkan namamu ke daftar hitam. Bagaimana kamu akan membiayai pengobatan ayahmu setelah itu?"
Ancaman itu adalah pukulan telak. Ahmad menundukkan kepala dengan berat. Ia teringat nasihat ayahnya: "Nak, miskin boleh, tapi jangan pernah jual kehormatan." Hari ini ia terpaksa melanggarnya.
"Baik, Pak. Saya... saya bersedia."
Bab 4: Pernikahan Palsu
Tiga hari kemudian, di sebuah kantor urusan agama yang sesak, lima orang hadir sebagai saksi pernikahan paling janggal dalam hidup mereka. Ahmad mengenakan kemeja batik pinjaman dari kepala keamanan, sementara Laras mengenakan gamis putih pucat yang senada dengan warna wajahnya.
Bambang berdiri di belakang mereka seperti dalang yang mengawasi pertunjukan terpentingnya. Prosesi ijab kabul berlangsung kaku dan dingin.
"Saya terima nikah dan kawinnya Laras Kartika binti Bambang Kartika dengan mahar tersebut, dibayar tunai," ucap Ahmad dengan suara mantap meski hatinya memberontak.
"Sah," jawab para saksi.
Sebuah kata yang terasa seperti palu yang menghantam hidup Ahmad. Kini ia adalah suami bayaran.
Bab 5: Kehidupan di Balik Topeng
Rumah tamu di kompleks keluarga Kartika menjadi tempat tinggal mereka. Meski mewah, suasananya dingin dan hampa. Laras menghabiskan waktu di kamar, hanya keluar untuk makan. Ahmad tidur di sofa ruang tamu, menjaga jarak untuk menghormati privasi istrinya.
Suatu pagi, Ahmad mendengar suara muntah dari kamar mandi. Tanpa pikir panjang, ia menyeduh teh jahe hangat dan meletakkannya di depan pintu kamar Laras.
"Nona, saya buatkan teh jahe. Mungkin bisa membantu," katanya lembut.
Tidak ada jawaban, namun beberapa menit kemudian cangkir itu sudah tak ada.
Perhatian-perhatian kecil Ahmad mulai melelehkan es di hati Laras. Pria yang ia anggap sebagai satpam mata duitan ternyata memiliki ketulusan yang langka.
Bab 6: Identitas Terbongkar
Suatu malam, Laras tidak bisa tidur dan pergi ke dapur. Ia mendengar Ahmad berbicara di telepon dengan bahasa Inggris yang sangat fasih dan aksen yang sempurna.
"No, I want you to liquidate 50% of the energy portfolio. The geopolitical climate is too volatile. Move them to renewable tech stocks," ucap Ahmad dengan otoritas penuh.
Laras membeku. Istilah-istilah bisnis tingkat tinggi itu bukan bahasa seorang satpam lulusan SMA dari desa.
"Siapa kamu sebenarnya?" tanya Laras ketika Ahmad menutup telepon.
Ahmad tersenyum tipis. "Teman lama. Kami sering berlatih bahasa Inggris bersama."
Kebohongan yang mulus, namun Laras tidak mudah dibodohi. Ia mulai mengamati Ahmad dengan lebih tajam - cara berjalannya yang terlatih, buku-buku tebal yang dibacanya, dan aura misterius yang mulai terkuak.
Bab 7: Badai Mengancam
Hari penandatanganan merger tiba. Grand Ballroom Hotel Mulia dipenuhi ratusan orang penting - bankir, investor, jurnalis, dan kolega bisnis Bambang. Semua mata tertuju pada kesepakatan yang akan menyelamatkan Grup Kartika.
Bambang berdiri di podium dengan senyum puas, merasa seperti jenderal yang memenangkan perang. Ahmad dan Laras duduk di meja depan, berperan sebagai keluarga muda yang bahagia.
"Mari kita sambut CEO Nusantara Capital yang akan menjadi partner strategis kita," ucap pembawa acara.
Pintu ballroom terbuka. Beberapa orang berbaju hitam masuk, diikuti oleh sosok yang membuat seluruh ruangan terdiam.
Ahmad berdiri dan berjalan menuju panggung dengan langkah mantap. Ia tidak lagi mengenakan setelan pinjaman yang kebesaran, melainkan jas bespoke yang sempurna di badannya. Jam mewah melingkar di pergelangan tangannya, dan auranya memancarkan kekuasaan mutlak.
Laras merasakan seluruh udara tersedot dari paru-parunya. Dunianya runtuh dalam sekejap mata.
Bab 8: Sang Dalang Sejati
Di atas panggung, Bambang membeku dengan mulut terbuka. "Kamu... apa yang kamu lakukan di sini?"
Ahmad - atau siapa pun identitas aslinya - tersenyum dingin. "Saya adalah Ahmad Widjaja, CEO Nusantara Capital. Atau haruskah saya memanggil Anda... ayah mertua?"
Kesadaran menghantam Bambang seperti kereta api. Satpam yang ia anggap bodoh adalah raja dari pihak lawan yang datang menghancurkannya. Kekuatan di kakinya lenyap dan ia ambruk di atas panggung.
Di tengah kekacauan, Ahmad berdiri tegak tak terpengaruh. Matanya mencari Laras di kerumunan. Dalam tatapan wanita itu, ia melihat badai emosi - kemarahan, pengkhianatan, ketakutan, dan kebingungan.
Bab 9: Kebenaran yang Pahit
Di ruang VIP yang sunyi, Ahmad duduk berhadapan dengan Bambang yang telah tersadar namun tampak seperti mayat hidup. Laras duduk di sudut dengan tatapan kosong.
"Siapa kamu sebenarnya?" desis Bambang.
"Nama saya memang Ahmad. Tapi mungkin Anda lebih kenal ayah saya - Susilo Widjaja."
Wajah Bambang berubah seputih kertas. Nama itu adalah hantu dari masa lalunya yang kelam.
"Tidak... tidak mungkin. Putra Susilo meninggal dalam kecelakaan..."
"Kecelakaan yang sangat menguntungkan bagi Anda, bukan?" mata Ahmad berkilat tajam. "Kecelakaan yang terjadi setelah Anda berhasil merebut perusahaan keluarga kami melalui dokumen palsu."
Ahmad berdiri dan berjalan mendekati Bambang. "Saya tidak meninggal. Saya diadopsi dan dibawa ke luar negeri. Saya tumbuh dengan satu tujuan - mengambil kembali apa yang menjadi hak keluarga saya."
Laras yang mendengar pengakuan itu merasa dunianya benar-benar hancur. Pria yang ia nikahi bukan hanya satpam palsu, melainkan dalang balas dendam yang telah mempermainkan seluruh hidupnya.
Bab 10: Reruntuhan dan Harapan
"Merger ini tidak pernah ada," lanjut Ahmad dingin. "Dokumen yang akan Anda tandatangani adalah dokumen akuisisi. Nusantara Capital telah membeli seluruh utang Grup Kartika. Anda kehilangan segalanya."
Bambang menunduk dalam. Suara isak tangis keluar dari mulut pria yang selama ini angkuh dan tak terkalahkan.
Setelah Bambang dibawa pergi dengan langkah gontai, hanya Ahmad dan Laras yang tersisa dalam keheningan mencekam.
"Jadi semua ini hanya permainanmu?" tanya Laras dengan suara bergetar.
"Awalnya, ya," jawab Ahmad jujur. "Tapi kamu dan bayi yang kamu kandung adalah komplikasi yang tidak pernah aku perhitungkan. Komplikasi yang mengacaukan rencanaku, terutama hatiku."
Ia melangkah mendekat. "Aku tidak tahu kapan tepatnya akting berhenti dan perasaan tulus dimulai. Yang aku tahu, melihatmu hampir celaka kemarin lebih menakutkan daripada mempertaruhkan seluruh asetku."
Bab 11: Ancaman Baru
Kebahagiaan mereka tidak berlangsung lama. Santoso, rival bisnis Bambang yang berbahaya, mulai bergerak. Ia menggunakan Fajar sebagai dalangnya untuk menekan Ahmad melalui Laras.
Suatu sore, saat Laras berbelanja di mal bersama Hani - asisten pribadi Ahmad yang ternyata adalah bodyguard terlatih - dua pria berbadan besar menyerang mereka. Hani berhasil melindungi Laras dengan gerakan bela diri yang profesional.
Malam itu, Ahmad pulang dengan wajah keras. Ia langsung memeluk Laras yang masih gemetar.
"Aku tidak akan membiarkan apapun terjadi padamu," bisiknya. "Aku bersumpah akan menyelesaikan ini."
Untuk pertama kalinya, Laras tidak menolak pelukan Ahmad. Dalam dekapan musuh keluarganya, ia justru merasa paling aman.
Bab 12: Jaring Perangkap
Ahmad dan Laras bekerja sama menyusun strategi melawan Santoso. Menggunakan kecerdasan dan jaringannya, Ahmad menyebarkan rumor bahwa ia akan melelang proyek properti strategis dengan harga murah.
Laras memainkan perannya dengan sempurna, berpura-pura mengeluh pada teman lama Fajar bahwa Ahmad tidak peduli padanya dan hanya mengejar aset. Umpan itu langsung disambar Santoso dan Fajar.
Di restoran pribadi yang telah disiapkan, Santoso dan Fajar datang membawa koper berisi uang. Yang menyambut mereka bukan tim legal Ahmad, melainkan Ahmad sendiri bersama petugas kepolisian dan otoritas jasa keuangan.
Seluruh percakapan mereka telah direkam. Santoso dan Fajar ditangkap atas tuduhan pemerasan dan konspirasi bisnis ilegal.
Bab 13: Rekonsiliasi
Setelah semua ancaman sirna, Laras memutuskan menemui ayahnya. Bambang tampak kurus dan kelelahan, duduk sendirian di taman belakang rumah yang dulu megah.
"Semuanya sudah selesai," kata Laras lembut. "Ahmad yang mengakhiri semua ini."
Bambang tersenyum getir. "Tentu saja... anak Susilo memang bukan tandinganku." Ia menatap putrinya. "Kamu tampak lebih bahagia sekarang."
"Aku sudah menemukan tempatku, Yah. Di sisinya."
Keduanya terdiam. Kemudian Laras memberanikan diri. "Usia kandunganku sudah tujuh bulan. Dokter bilang bayinya laki-laki."
Untuk pertama kalinya, Bambang melihat perut putrinya bukan sebagai aib, melainkan calon cucu. Setitik kehangatan muncul di hatinya yang beku.
Epilog: Fajar Baru
Setahun kemudian, Laras melahirkan seorang bayi laki-laki sehat yang mereka namakan Arya Susilo Widjaja. Ahmad tidak pernah lepas dari sisi Laras selama persalinan, dan saat pertama menggendong putranya, semua sisa dendam di hatinya sirna.
Mereka kini tinggal di rumah utama yang telah direnovasi menjadi hunian hangat penuh tawa. Ahmad tidak lagi disambut keheningan, melainkan celoteh putranya yang mulai belajar bicara. Laras menyambutnya dengan senyum tulus, tidak lagi mengenakan pakaian mewah melainkan baju rumah yang nyaman.
Kini ia aktif membantu Ahmad mengelola yayasan sosial perusahaan mereka.
Mereka bertiga berdiri di jendela besar yang dulu menjadi tempat Bambang meratapi badai. Kini mereka melihat langit senja yang damai, memantulkan warna keemasan di wajah bahagia mereka.
Pernikahan yang dimulai untuk menutupi aib akhirnya menyelamatkan jiwa-jiwa yang tersesat. Ahmad menemukan pengampunan di tengah balas dendamnya, Laras menemukan cinta sejati setelah kehilangan kemewahan palsu.
Mereka adalah bukti bahwa kadang awal baru yang terindah lahir dari reruntuhan masa lalu yang terdalam.
Bayangan di Balik Menara Kaca - Sebuah kisah tentang penebusan, pengampunan, dan cinta yang tumbuh dari kebohongan menuju kebenaran yang membebaskan.
Editor : Zumardi
.jpg)