WEKACE, Disclaimer, cerpen ini hanya fiksi sambil ngopi tanpa gula. Apa bila ada kemiripan, hanya kebetulan. Nikmati cerpennya dengan tahu dan tempe goreng, wak!
Rooftop hotel Ancol malam itu tak lagi romantis. Bukan lagi tempat pasangan memandang laut, melainkan panggung absurd dua ketua umum aklamasi Partai Sajadah, Sardiono dan Bagus.
Sardiono tampil gagah, jas hijau kilap bagai daun singkong habis hujan. Ia mengangkat tangan, berkoar, “Aku ini ketua sah! Kekayaanku Rp1,17 triliun. Ada 175 tanah-bangunan, 14 mobil, surat berharga Rp661 miliar, kas Rp789 juta, utang Rp153 miliar. Aku bos BCS Group, eks Ketua Kadin, anggota Wantimpres, utusan khusus Presiden bidang ketahanan pangan. Aku sah karena palu jatuh di tanganku!”
Pendukungnya bersorak sambil melempar fotokopi sertifikat tanah ke udara. Satu orang bahkan membentangkan spanduk, “Utang Itu Seni!”
Bagus tertawa sinis, lidahnya menjulur seperti biawak. “Sardiono, kekayaanmu palsu, setengahnya cicilan! Aku triliuner sejati, Rp1,65 triliun! Tanah Rp896 miliar, surat berharga Rp766 miliar, kas Rp51 miliar, plus Lexus RX 300. Aku Dirut PT Galangan MB, punya properti di Singapura, Ketua PB IKASI, bahkan pernah jadi Menteri Perdagangan. Aku ini raja sembako Nusantara. Harga cabai bisa kuatur, apalagi sekadar kursi partai!”
Pendukungnya menggila, melempar bawang merah dan minyak goreng ke udara. Teriakan bergema, “Hidup Bagus! Harga naik, rakyat teriak!”
Sardiono mendengus. “Harga cabai bisa kau naikkan, Bagus, tapi harga dirimu tetap diskon!”
Suasana makin panas. Kursi rooftop gelisah, takut dilempar lagi. Satu kursi bahkan nekat terjun ke kolam renang, pura-pura jadi rakit. Malam itu keduanya bertengkar habis. Pada, akhirnya pulang dengan dendam membara.
Beberapa hari kemudian, drama naik level. Sardiono membawa berkas ke Kementerian Hukum. “Sahkan aku, aku ketua sah!” teriaknya. Tapi Bagus lebih dulu menyodorkan map tebal. Kemenkum pun akhirnya mengesahkan Bagus.
Sardiono meledak. “Ini makar legalitas! Aku gugat ke PN!”
Sejak hari itu, sidang pun dimulai. Hakim membaca berkas, jaksa menguap, kuasa hukum saling teriak. Hari berganti minggu, minggu jadi bulan, bulan jadi tahun. Sampai Pemilu 2029, sidang masih berlanjut. Tiap kali mau putusan, muncul eksepsi baru, kursi terbang dianggap barang bukti, KTA dianggap dokumen mistik, palu aklamasi dituduh ada kecurangan suara.
Pendukung dua kubu makin merana. Awalnya mereka militan, rela tidur di pelataran PN. Tapi lama-lama, stamina habis. Ada yang pindah ke partai sebelah sambil ngedumel, “Mending gabung ke Partai Gorengan, jelas-jelas dapat jatah bakwan.” Ada pula yang banting KTA, terus nyalon lurah pakai partai lain.
Sardiono tetap ngotot, Bagus tetap jumawa. Tapi rakyat sudah bosan. Mereka menyebut sidang itu sebagai “Opera Sajadah Tak Berujung”, pertunjukan hukum yang lebih panjang dari sinetron 7 turunan.
Akhirnya, Partai Sajadah hanya menyisakan jejak, dua sultan triliuner yang ribut soal legalitas partai yang bahkan nol kursi DPR. Filosofinya jelas, di Indonesia, yang abadi bukanlah cinta, bukan pula partai, melainkan sidang gugatan yang tak kunjung selesai.
Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
Tags
FIKSI