'); Air Hujan Lebih Jujur dari Botol Bermerek
WEKACE UPDATE
Loading...

Air Hujan Lebih Jujur dari Botol Bermerek

WEKACE, Masih cerita sumber mata air. Tapi, bukan air yang itu ya, ups. Para ahli air, izin ya, saya mau menjelaskan soal cairan putih itu. Sambil menunggu penerbangan dari Makassar ke Sorong Papua Barat Daya, nikmati narasinya sambil seruput air mineral hangat, wak!

Belakangan dunia perairan nasional mendidih. Bukan karena El NiƱo, tapi karena KDM menemukan fakta bahwa PT. Aqua ternyata mengambil air bukan dari mata air pegunungan yang katanya “alami”, melainkan dari sumur bor. Masyarakat pun riuh, seolah menemukan, dewa air ternyata bekerja dengan pompa. Label “dari pegunungan” tiba-tiba terasa seperti puisi palsu di botol plastik. Tapi secara geologi, wak, jangan buru-buru marah, bisa jadi air sumur bor itu memang berasal dari lapisan akuifer dalam yang sama dengan mata air pegunungan. Bedanya, kalau mata air keluar dengan ikhlas karena gravitasi, air sumur bor harus disedot dengan mesin, antara alam yang memberi dan manusia yang menagih.


Dalam ilmu geologi, sumber air itu ada banyak jenis. Pertama, mata air pegunungan (spring water), hasil dari air hujan yang meresap lewat batuan vulkanik berpori dan keluar di lereng gunung. Air ini steril secara alami, kaya mineral seperti kalsium, magnesium, dan natrium, serta punya pH netral hingga sedikit basa. Kedua, air sumur bor dalam (deep well water), diambil dari akuifer tertutup di kedalaman ratusan meter. Jika lapisan itu benar, airnya bisa sama murni dengan spring water. Tapi kalau salah bor, yang keluar malah air tanah dangkal penuh nitrat dan sabun. Ketiga, air gletser atau salju mencair, super murni tapi miskin mineral, bagus untuk eksperimen kimia, bukan untuk kesehatan. Keempat, air tanah dangkal, mudah diambil tapi gampang tercemar limbah rumah tangga. Kelima, mata air panas (thermal spring), kaya belerang dan magnesium, hebat untuk terapi kulit tapi bisa bikin lidah gosong kalau diminum. Dari semua itu, yang terbaik untuk air mineral tetaplah dua jenis, spring water dan deep well water dari akuifer dalam. Yang satu alami mengalir, yang satu ilmiah dipompa, keduanya sah menurut geologi, asalkan jujur di label.

Secara fisika, air adalah makhluk cair paling sabar di planet ini. Ia bisa menyimpan panas tanpa marah, mengalir ke tempat rendah tanpa dendam, dan tetap netral di tengah dunia yang suka ekstrem. Secara kimia, air adalah pelarut universal, mampu melarutkan garam, gula, bahkan kebohongan. Tapi ketika udara terlalu kotor, air hujan menjadi asam, ketika manusia terlalu serakah, air tanah jadi kering. Di sinilah filsafatnya, air adalah guru moral yang paling lembut, karena ia mengajarkan keseimbangan antara memberi dan menampung.

Sementara di pesisir, masyarakat sudah lebih dulu memahami sains tanpa kuliah geologi. Ketika hujan turun, mereka menampung airnya ke tempayan tanah liat. Secara ilmiah, itu rainwater harvesting alami. Tanah liat menyerap logam berat, pori-porinya menyaring debu, dan dindingnya mendinginkan air lewat proses evaporative cooling. Secara geologi, tempayan itu akuifer mini di halaman rumah. Secara budaya, itu doa yang bisa diminum. Di daerah pesisir yang tanahnya asin akibat intrusi air laut, air hujan adalah satu-satunya air tawar yang benar-benar murni, hasil distilasi matahari tanpa mesin.

So, ketika orang bertanya, “Mana air terbaik di bumi ini?” jawabannya tergantung siapa yang menampungnya. Air pegunungan memang mulia, air sumur bor mungkin efisien, tapi air hujan di tempayan, itulah yang paling jujur. Ia turun tanpa pamrih, ditampung tanpa korporasi, dan diminum tanpa promosi. Karena sesungguhnya, bukan dari mana air itu datang yang penting, tapi seberapa murni hati manusia yang meminumnya.

Penulis :

Redaksi

Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak