WEKACE, Kalau ada lomba perjalanan paling absurd tapi penuh makna, saya mungkin sudah pegang pialanya. Ente bayangkan, wak! Dari Pontianak ke Sorong, dari barat ke timur Indonesia, dengan durasi yang cukup buat nonton tiga season Naruto plus bonus Boruto. Inilah kisah pertama saya di Provinsi Papua Barat Daya (PBD). Simak narasinya sambil serupug kopi sedikit gula aren.
Begini kisahnya. Pesawat mestinya berangkat pukul 14.44. Tapi, ya begitulah cinta dan maskapai, sama-sama susah ditebak. Delay empat jam. Saya berangkat pukul enam sore, transit di Balikpapan, lanjut ke Makassar, nongkrong dua jam di bandara sambil menatap jam yang seolah mengejek, lalu baru terbang lagi ke Sorong pukul 02.40 dini hari.
Setelah dua jam melayang di langit hitam yang tenang, tibalah saya di kota yang namanya seperti bisikan ombak, Sorong. Kota yang di peta terlihat jauh, tapi ketika diinjak, terasa hangat dan penuh energi hidup.
Panitia menjemput. Panitia yang menjadikan saya jadi narsum dalam pelatihan jurnalistik untuk remaja masjid. Penyelenggara pelatihan ini, MUI PBD.
Karena masih pagi, hotel masih bersih-bersih kamar, lalu diajak mutar-mutar kota. Dari balik jendela mobil, saya lihat Sorong itu bersih, hidup, tapi tetap punya aura damai yang jarang dimiliki kota besar. Ketika diajak sarapan Coto H Be’eng, saya langsung sadar, ini bukan sekadar sarapan, ini ritual penyambutan tamu ala surga timur.
Setelah itu, saya check-in di Hotel Vega Prime, hotel paling megah di kota itu. Tapi kemegahan hotel belum seberapa dibanding kejutan yang datang menjelang Jumatan.
Saya dijemput lagi, katanya mau ketemu Wakil Gubernur Papua Barat Daya, H. Ahmad Nausrau. Dalam pikiran saya, ya pasti seperti pejabat-pejabat lain, jas rapi, bicara diplomatis, dan tangan selalu sibuk mencari sudut kamera terbaik. Tapi begitu bertemu, semua ekspektasi saya ambruk.
Wagub Ahmad Nasrau menyambut hangat, ramah, dan rendah hati. Tidak ada jarak, tidak ada protokol berlebihan. Kami berbincang sebentar, lalu beliau berkata, “Mari kita salat Jumat di Masjid Raya Al Akbar.”
Saya pikir beliau hanya ikut jamaah. Ternyata, plot twist-nya luar biasa, beliau sendiri yang jadi khatib!
Bukan sembarang khatib. Tanpa teks, tanpa catatan, beliau bicara dari hati. Suaranya tenang, tapi penuh wibawa. Ayat-ayat Qur’an dilafazkannya dengan fasih, dan isi khutbahnya seperti tamparan lembut bagi dunia yang makin gila hormat. Ia bercerita tentang Bilal bin Rabah, seorang budak yang diangkat derajatnya oleh Islam menjadi muazin Rasulullah.
“Derajat manusia tidak ditentukan oleh jabatan, tapi oleh ketakwaan,” katanya.
Saya menatap beliau di mimbar, masih memakai seragam dinas lengkap, tanda jabatan terpampang, tapi sikapnya tunduk di hadapan Tuhan. Di situlah saya merasa, inilah pejabat yang benar-benar paham arti melayani.
Usai salat, beliau juga memimpin doa. Bukan doa hafalan kaku, tapi doa yang terasa jujur. Suaranya bergetar, tulus. Orang-orang mengamini, dan saya yakin, kalau malaikat ikut hadir, mereka pun mungkin ikut “amin” pelan.
Setelah itu, kami makan siang di rumah makan Maca Daeng, khas Bugis. Ikan bakarnya luar biasa, sambalnya pedasnya sopan, tak seperti kehidupan. Di meja itu, Wagub bercerita tentang Papua Barat Daya yang kini makin maju, ekonomi menggeliat, hotel tumbuh, dan Raja Ampat jadi magnet dunia. Tapi yang paling menarik adalah caranya bercerita, bukan dengan nada pejabat yang ingin dipuji, tapi dengan semangat orang kampung yang cinta tanahnya.
“Provinsi ini masih muda,” katanya, “tapi kami ingin dia tumbuh dengan karakter. Bukan sekadar kaya, tapi juga beradab.”
Kalimat itu seperti nyetrum. Saya jadi sadar, negeri ini sebenarnya tidak kekurangan pejabat cerdas, hanya kekurangan pejabat yang sadar arah kiblat.
Usai makan itu, saya kembali ke hotel, tapi hati saya tidak tenang, bukan karena lelah, tapi karena masih takjub. Masih ada pejabat yang khutbah sendiri, berdoa sendiri, memimpin rakyatnya bukan dari podium mewah, tapi dari mimbar masjid.
Saya tahu, perjalanan jauh ke timur ini bukan kampanye literasi, tapi peringatan halus dari langit, bahwa kekuasaan sejati bukan di kursi empuk berpendingin ruangan, tapi di kepala yang tetap menunduk dan hati yang tetap sujud.
Sorong bukan cuma kota di ujung timur. Ia adalah cermin, tempat di mana seorang wakil gubernur mengajarkan kita arti pangkat yang tak pernah lebih tinggi dari sajadah.
Nantikan kisah saya berikutnya selama berada di Kota Sorong PBD.
Foto, Wagub Ahmad Nausrau saat menjadi khatib Jumat
Penulis :
Ketua Satupena Kalbar
Tags
SOSOK