'); Lahir Sungsang, Purbaya Ubah Orang Yang Menolak Jadi Berharap
WEKACE UPDATE
Loading...

Lahir Sungsang, Purbaya Ubah Orang Yang Menolak Jadi Berharap

WEKACE, Akhirnya kita punya tokoh populer dan pintar. Bukan gubernur, bupati, atau wali kota, melainkan seorang menteri. Menteri bukan sembarangan menteri pula, melainkan Menteri Keuangan. Yakni Purbaya Yudhi Sadewa.

Menteri yang berkutat dengan uang masuk dan uang keluar. Hampir 4 ribu triliun APBN 2026 ada di kantongnya; bagaimana caranya membelanjakan agar sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Sekitar 20 tahun sosok Menkeu kita kalem, tiba-tiba saja berubah menjadi ceplas-ceplos dan bicara apa adanya. Fokus pada angka-angka bukan perasaan, dan disampaikan dengan gaya bercanda pula.

Angka-angka memang tak bisa bohong. Yang sering bohong adalah kata-kata. Kalau kata-kata bisa melukai hati, maka angka-angka bisa saja melukai semuanya.

Menkeu Purbaya enteng saja membela Jokowi di hadapan Rocky Gerung, orang yang paling kritis terhadap Jokowi di masanya. Bahwa Jokowi bukan tak ada kerja. Ada kerjanya dan itu dibuktikannya dengan angka-angka.

Tapi pada saat yang bersamaan, angka-angka pula yang membuat Menkeu Purbaya enteng saja mengatakan bahwa era SBY jauh lebih baik daripada era Jokowi. SBY tidur saja ekonomi tumbuh 6%, Jokowi sudah bikin tagline kerja kerja kerja, ekonomi tumbuh cuma 5%. Ia diprotes keras para pendukung Jokowi. 

Seumur-umur, baru kali ini pula Menteri Keuangan diprotes pada saat baru dilantik dan diprotes pula pada saat sedang bekerja.

Tak hanya diprotes para demonstran di jalanan agar segera dicopot, tapi juga diprotes kepala-kepala daerah di kantornya. Diprotes para demonstran kali ini karena kata-kata, bukan angka-angka.

Dengan wajah datar Menkeu Purbaya enteng saja mengatakan bahwa penuntut 17+8 yang heroik itu hanya bagian kecil saja dari masyarakat kita. Nanti, kalau ekonomi sudah tumbuh, orang tak ada lagi yang protes. Mereka sibuk bekerja dan makan enak. Kata-kata itu makin membuat demonstran terbakar.

Diprotes kepala-kepala daerah Menkeu Purbaya juga santai. Karpet merah dibentangkan. Semua dijawab dengan enteng. Bila nanti ekonomi membaik, maka otomatis uang akan mengalir juga ke daerah. Tak ada maksud mempersulit, apalagi mempersulit orang daerah. Masuk ke pemerintahan dengan niat baik. Mempermudah bukan mempersulit.

Uang Pemda yang mengendap di Bank Central juga diungkapnya. Jumlahnya ratusan triliun rupiah pula. Daerah ingin maju, tapi uangnya diendapkan, tak dibelanjakan, hanya berharap bunga berbunga saja. Berarti, ada daerah yang sebetulnya tak sulit, tapi aslinya pemalas. Tak mau berbuat tapi dapat uang. Pencari rente.

Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa lahir dalam kondisi sungsang. Kakinya yang lebih dulu keluar. Menyipak terhadap Republik yang sedang hamil tua.

Ia lahir saat demo yang berakhir rusuh baru saja selesai. Ia sendiri tak sadar, tapi cepat berbenah. Sejarah krisis Republik ini dihafalnya dengan cukup baik. Bukan ia tak berempati terhadap kondisi, melainkan ia terlalu mengerti dengan apa yang sedang terjadi.

Ia seperti terpaksa meminta maaf untuk meredakan situasi, tapi cepat berlari. Ratusan triliun cepat dilemparkannya ke Bank-bank Himbara. Ekonomi harus cepat lepas dari cekikan yang sengaja atau tidak, dibuat sendiri.

Hanya butuh waktu sebulan bagi Menkeu Purbaya untuk mengubah orang yang tadinya menolaknya, kini justru berharap banyak kepada dirinya. Menkeu yang lama, yang begitu melankolis saat digantikan, seolah tak akan pernah tergantikan, kini nyaris tak disebut lagi.

Cukup dengan menempatkan Purbaya sebagai Menkeu, rasa-rasanya semua pejabat yang sudah ditunjuk Presiden Prabowo menjadi sangat tepat. Tak ada pejabat lain yang baru dilantik, yang terus disebut-sebut, kecuali Menkeu Purbaya.

Bahkan Kepala Daerah seperti Dedi Mulyadi kalah populer. Dedi Mulyadi terkejut dana Pemda Jabar ternyata juga mengendap di Bank. Ia cepat mencari tahu dan mengklarifikasi. Menkeu rasa kepala daerah karena ikut-ikutan sidak, itulah Purbaya.

Menkeu Purbaya bukanlah seorang politisi, tapi seorang teknokrat-ekonom. Ia mengaku pernah bekerja di bawah Luhut Binsar Panjaitan, di bawah Jokowi, di bawah SBY, di bawah Hatta Rajasa. Tapi terlihat sekali bahwa ia bukanlah orang dari bosnya itu dalam pengertian yang politis.

Ia hanya patuh Presiden Prabowo. Ia diangkat dan sewaktu-waktu bisa diberhentikan Presiden. Kelihaiannya tidak saja datang dari dalam dirinya, tapi juga datang dari dukungan Presiden.

Bisakah nanti Prabowo merasa tersaingi oleh popularitas Purbaya? Dan apakah Purbaya akan menjadi orang seperti Anies Baswedan atau jadi sosok yang berbeda. Entahlah. Lihat saja nanti.

Memang, tak sekali dua kali Wakil Presiden kita adalah seorang ekonom. Bung Hatta pun adalah seorang ekonom. Dan seorang ekonom bila duduk sebagai Wapres, terlihat klop dan bersenyawa.

Kalau seorang Presiden penginjak gas, maka Wapres yang seorang ekonom adalah penginjak rem. Itulah yang terlihat pada sosok Bung Hatta, JK, dan Boediono. JK malah menjadi Wapres pada dua Presiden, yakni SBY dan Jokowi.

Apakah Menkeu Purbaya akan mau atau diambil Prabowo sebagai Wapres? Sebelum dijawab pun, orang pasti banyak yang mengatakan sangat cocok ketimbang Gibran.

Gibran entah apa yang diinjaknya sehingga tingkat kepuasan terhadap dirinya bisa tembus angka 70% berdasarkan survei terbaru? Itulah politik. Arus di atas dan di bawah kadang tidak sama.

Penulis :
Erizal

Redaksi

Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak