WEKACE, Ternyata kita selama ini kena tipu. Katanya mata air pegunungan, nyatanya air sumur bor. Katanya perusahaan air minum, nyatanya tak bisa diminum. Sambil menunggu pesawat delay terbang ke Balikpapan di Bandara Supadio Pontianak, kita lindas, eh salah, kupas soal penipuan secara halus ini. Kopi tanpa gula, jangan lupa, wak!
Di negeri ini, rakyat bukan lagi haus air. Mereka haus kejelasan. Tiap tetes yang diminum membawa rasa ganjil antara pasrah dan sadar bahwa mereka sedang ditipu dengan cara paling elegan, pakai embun, kabut, dan iklan berwajah gunung.
Lihatlah Aqua, sang legenda kesegaran nasional. Dalam iklan, airnya turun dari pegunungan hijau, menetes di antara lumut dan kabut spiritual, seolah semesta sendiri menuangkannya langsung ke botol plastik biru. Tapi ketika Dedi Mulyadi datang ke pabriknya di Subang, yang ditemukan bukan malaikat penjaga mata air, melainkan sumur bor industrial dengan pipa baja yang bergema seperti genderang perang.
“Bukan sumur bor biasa, Pak,” kata perwakilan Aqua dengan suara diplomatis, “ini akuifer dalam.”
Kata yang terdengar keren. Padahal artinya cuma air tanah yang diambil dengan teknologi tinggi, bukan dari mata air yang menetes lembut seperti di iklan.
Airnya masih “alami,” tapi dengan gaya korporasi, disedot, dikontrol, dibungkus, dan dijual dengan label spiritual, dari pegunungan yang terlindungi alam.
Lucunya, rakyat tahu itu tipu-tipu halus. Tapi mereka tidak marah, hanya mengangguk sambil berkata, “Yah, yang penting segar.”
Begitulah cara bangsa ini menelan kebenaran, dalam suhu dingin dan label biru.
Le Minerale ikut-ikutan dengan slow motion tetesan air yang lebih dramatis dari sinetron akhir Ramadan. Cleo dan Ades malah lebih jujur, airnya bukan dari gunung, tapi dari sistem reverse osmosis, air biasa yang disiksa sampai kehilangan semua mineralnya, lalu diberi mineral buatan supaya tetap terlihat berjiwa.
Sementara Nestlé Pure Life? Rasanya seperti air yang baru keluar dari karantina spiritual.
Tapi puncak satire tetap milik PDAM, Perusahaan Daerah Air Minum. Nama yang suci, tapi fungsi yang ambigu. Airnya tidak bikin mati, tapi juga tidak membuat yakin hidup. Aromanya seperti masa kecil di kamar mandi, dengan sedikit sentuhan klorin.
Rakyat tahu, PDAM bukan Perusahaan Air Minum, tapi Perusahaan Air Mandi. Namun tetap mereka bayar tagihan setiap bulan, karena begitulah cinta tanpa logika, sadar tak bisa diminum, tapi enggan berpaling.
Ironinya, rakyat membeli air galon isi ulang seharga Rp 8.000 per 19 liter, sementara tarif PDAM cuma Rp 0,006 per liter. Artinya, rakyat rela membayar 70.000 kali lebih mahal hanya agar tidak keracunan negaranya sendiri.
Ironi ini begitu dalam, mungkin lebih dalam dari akuifer yang dibor Aqua.
Namun tak ada kemarahan. Hanya ketenangan aneh, semacam spiritualitas absurd, “Saya tahu air ini dari sumur bor, tapi rasanya tetap segar.”
“Saya tahu PDAM cuma buat mandi, tapi saya tetap langganan.”
Begitulah bangsa ini menciptakan harmoni antara tipu daya dan kepasrahan. Kita tidak marah karena sudah terbiasa. Kita tidak menuntut karena sudah hafal rasanya.
Saat hujan turun, kita tak lagi menengadah dengan syukur, tapi dengan curiga lembut, “Ini hujan alami, atau ada izin edar BPOM-nya?”
Karena di negeri sadar tapi pasrah ini, bahkan setetes air pun sudah ikut jadi bagian dari sistem kepercayaan nasional.
Pesan moralnya, manusia modern sering kali tidak haus karena kekurangan air, tetapi karena kehilangan kejujuran dalam setiap tetes yang diminumnya. Kita hidup di zaman di mana kemasan lebih dipercaya daripada sumbernya, di mana kesegaran dijual lewat narasi, bukan realitas. Ironinya, meski sadar sedang ditipu, kita tetap memilih meneguk kebohongan itu dengan wajah tenang, seolah kepasrahan adalah bentuk kebijaksanaan.
Kepasrahan bukan selalu tanda damai, kadang ia adalah bentuk kelelahan kolektif karena terlalu sering dikhianati oleh sistem. Saat rakyat rela membayar mahal hanya untuk air yang seharusnya hak dasar, kita sedang menyaksikan absurditas paling jernih dari peradaban, manusia yang tahu kebenaran, tapi memilih menunduk, meneguknya, dan berkata pelan “yang penting tidak haus.”
Foto Ai, hanya ilustrasi
Penulis :
Ketua Satupena Kalbar
Tags
VIRAL