'); Bahlil Ngotot, SPBU Swasta Tak Mau, Ada Apa Sebenarnya dengan Etanol?
WEKACE UPDATE
Loading...

Bahlil Ngotot, SPBU Swasta Tak Mau, Ada Apa Sebenarnya dengan Etanol?

WEKACE, Ente tahu ndak “ape bende” etanol itu? Saya yakin banyak belum tahu. Gara-gara etanol itu, Bahlil seperti berperang dengan SPBU swasta. Kali ini kita bahas soal bende ini sambil seruput kopi tanpa gula, wak!

Di negeri ini muncul satu cairan bening yang tiba-tiba bikin geger, etanol. Ia bukan selebritas, bukan caleg, bukan juga janji kampanye. Ia cuma hasil fermentasi singkong dan tebu, tapi sukses bikin menteri berkoar, SPBU swasta berulah, dan netizen bingung, “Ini etanol siapa yang mulai?”

Bahlil Lahadalia tampil paling depan. Dengan gaya khasnya yang blak-blakan dan penuh logika jalanan, ia ngotot bahwa etanol itu baik. Katanya, “Campur dikit aja ke bensin, emisi turun, petani senang, bumi lega.”

Tapi SPBU swasta kayak Shell, BP-AKR, dan Vivo langsung pasang tameng. Mereka menolak beli base fuel Pertamina karena mengandung etanol 3,5%. Tiga koma lima persen, wak! Lebih kecil dari kadar kopi sachet yang diseduh dua kali. Tapi mereka bilang, “No! Itu mencemari kemurnian bensin kami yang suci dan tak bercela.”

Lucu, ya. Dunia udah santai banget sama etanol. Brasil udah pakai E27, Amerika pakai E15, India santai dengan E20, bahkan ada mobil di sana yang hidup murni pakai E100, etanol tanpa bensin sama sekali. Tapi di Indonesia? Baru E3,5 aja, udah kayak mau kiamat energi. SPBU swasta langsung panik seolah Pertamina sedang jual bensin rasa tuak.

Padahal kalau mau jujur, secara ilmiah etanol itu bukan setan. Ia malah ningkatin angka oktan, bikin pembakaran lebih bersih, nurunin emisi karbon, dan menambah oksigen biar pembakaran sempurna. Tapi ya, dia memang agak manja. Energinya sedikit lebih rendah, jadi mobil bisa sedikit lebih boros. Tapi toh teknologi bisa mengatasinya. Masalahnya, negeri ini sering lebih percaya pada “kata mekanik bengkel” ketimbang riset laboratorium.

Bahlil sendiri tak mau kalah. Ia menyebut Amerika dan Brasil sebagai bukti bahwa etanol bukan sekadar eksperimen tropis. Ia bahkan ingin mewajibkan E10 secara nasional. Tapi ya, kebijakan di Indonesia itu seperti sinetron prime time, awalnya heroik, ending-nya sering tak terduga. Kadang penjahatnya justru yang tanda tangan kontrak.


Namun di balik keributan ini, ada pertanyaan besar, kenapa SPBU swasta takut sama etanol?
Apakah benar mereka khawatir kualitas turun, atau karena ada yang lebih dalam, soal rantai pasok, harga, dan margin? Karena kalau cuma urusan teknis, 3,5% itu kecil banget. Tapi kalau urusan gengsi bisnis, ya jelas, etanol dianggap “cairan rakyat” yang terlalu rendah untuk pom bensin berlogo internasional.

Etanol sendiri tak marah. Ia cuma diam, bening, tapi penuh makna. Ia tahu dirinya lahir dari tanah, dari keringat petani, dari fermentasi kesabaran. Ia bukan sekadar campuran, tapi simbol perlawanan terhadap ketergantungan fosil. Ia ingin berkata, “Hei manusia, kalian mabuk bensin impor, tapi melupakan singkong di halaman sendiri.”

Ketika SPBU swasta menolak etanol, itu bukan sekadar urusan campuran bahan bakar. Itu pertarungan ego antara bensin suci dan singkong rendahan. Antara bisnis besar dan petani kecil. Antara status dan substansi.
Etanol datang membawa pesan sederhana, perubahan itu tak selalu wangi, tapi ia menyelamatkan. Mungkin nanti, saat kita isi BBM dan mencium aroma fermentasi singkong, jangan jijik dulu, wak. Itu bukan bensin basi. Itu filsafat energi nusantara yang sedang berbisik, “Yang menolak perubahan, biasanya takut kehilangan margin.”

Foto Ai, hanya ilustrasi.

Editor :
Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar

Redaksi

Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak