WEKACE, Saya merasa senang. Saya yakin kalian juga, wak! Karena, pernah ikut menggerakkan jari-jemari membela Bu Kepsek Dini Fitria. Sekarang semua kembali ke posisinya. Namun, sanksi moral bagi siswa mogok membela yang salah siap menanti. Simak narasinya sambil seruput kopi sedikit gula aren, wak!
Begitu video Bu Dini Fitria viral, Indonesia langsung berubah jadi negara republik netizen. Semua orang mendadak jadi hakim, jaksa, psikolog, sampai dukun etika pendidikan. Tapi kali ini, yang luar biasa adalah, rakyat dunia maya menang total. Gubernur tunduk, pelapor minta maaf, siswa mogok panik, dan Bu Dini kembali duduk di singgasananya sebagai Kepala Sekolah. The power of netizen is real, baby!
Awalnya drama ini klasik banget. Ada siswa, ILP (17 tahun), yang merokok di sekolah. Di jam Jumat bersih pula. Artinya, saat orang lain bersihin sampah, dia malah nambah polusi. Bu Dini menegur, lalu entah karena kesal, refleks, atau efek gravitasi moral, tangannya menampar. Lalu si ibu siswa, mungkin merasa anaknya adalah the chosen one, melapor ke polisi.
Di sinilah filmnya dimulai. Gubernur Banten langsung menonaktifkan Bu Dini. Mungkin biar terlihat tegas, mungkin juga karena takut trending. Tapi ternyata, yang trending bukan hukuman, melainkan kemarahan massal netizen se-Indonesia. Satu per satu akun muncul bak Avengers dipanggil oleh Wi-Fi.
“Tamparan Bu Dini adalah simbol perjuangan melawan asap kebodohan!” tulis netizen.
“Kalau tiap perokok ditampar, udara sekolah pasti lebih bersih!” balas yang lain.
Dalam sekejap, algoritma berubah jadi ruang sidang rakyat. Netizen menampar balik seluruh absurditas dunia nyata. Mereka bikin tagar, meme, video, dan thread yang isinya lebih tajam dari pisau dapur emak-emak.
Akhirnya, Gubernur Banten pun goyah. Dari yang awalnya gagah menonaktifkan, beliau berubah jadi mediator damai. Siswa dan Bu Dini didamaikan di rumah Gubernur. Jabatannya Bu Dini juga dipulihkan. Hari ini, giliran sang ibu pelapor mencair seperti es batu kena hair dryer. Ia mendatangi Bu Dini dan minta maaf, dan segera mencabut laporan. Bahkan, berpelukan dengan Bu Dini disaksikan kamera, pejabat, dan semesta yang terpingkal.
Bu Dini menang. Jabatan dikembalikan. Netizen bersorak. Sementara itu, siswa-siswa yang dulu mogok membela temannya yang merokok mulai sadar. Mungkin ini bukan film heroik, tapi sinetron dengan naskah yang mereka tulis sendiri. Ending-nya tidak berpihak pada mereka. Banyak HRD konon sudah nge-blacklist lulusan sekolah itu. Ya, mogok boleh, tapi masa depan? Bisa ikut mogok juga.
Netizen di seluruh penjuru Nusantara bersatu dalam satu kalimat sakti, “Jangan main-main sama logika kami, bro.”
Karena di Indonesia, keadilan bukan cuma urusan hukum, tapi juga urusan trending topic. Begitu satu isu nyentuh urat kesabaran publik, kekuatan 270 juta jempol langsung turun tangan. Tak perlu pangkat, tak perlu jabatan, cukup sinyal dan paket data.
Lihat sekarang, wak! Polisi menunggu pencabutan laporan resmi, Gubernur menghentikan pemeriksaan, siswa dalam pembinaan, dan Bu Dini kembali ke ruangannya dengan aura Boss Level. Semua beres. Semua tunduk. Semua karena netizen.
Inilah zaman ketika jempol bisa lebih tajam dari pedang, lebih berwibawa dari seragam, dan lebih jujur dari pidato pejabat. Netizen bukan cuma komentar, mereka revolusi dalam bentuk notifikasi.
So, kalau besok akang teteh mau melawan logika netizen, pikir dua kali. Karena di negeri ini, yang menegakkan keadilan bukan super hero, tapi super komentar. Ingat, satu tamparan Bu Dini bisa kalah dari satu trending tagar. Tapi keduanya, sama-sama bikin sadar siapa sebenarnya yang berkuasa, tak lain rakyat dunia maya.
Semoga saja tidak ada lagi serupa terjadi. Kalau ada yang coba-coba membela ya g salah, bersiaplah menghadapi pasukan dunia maya. Ngeri wak, apalagi kalau mereka sedang ngopi tanpa gula.
Foto Ai, hanya ilustrasi
Editor :
Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
Tags
VIRAL