WEKACE, Asli rasa tak sabar menunggu laga Timnas vs Arab Saudi. Berdebar-debar, karena inilah impian tampil di Piala Dunia. Cuma, sedikit kesal. Banyak prediksi memenangkan tuan rumah. Tapi, tenang, bola itu bulat. Siapkan kopi dan pisang goreng, malam ini kita begadang menyaksikan pasukan Patrick Kluivert beraksi.
Para pengamat bola kini seperti dukun statistik di padang pasir, haus data tapi kering empati. Dengan keyakinan setebal pasir Jeddah, mereka menabur angka kemenangan Arab Saudi seperti menabur kurma diskon Ramadhan. Ada yang bilang 2-0, ada yang lebih dermawan kasih 1-1, seolah hasil imbang itu sudah bisa ditukar dengan gelar pahlawan nasional. Media pun kompak, dari Radar Jogja sampai Bola.com, dari Kompas.com sampai Progres.id, semua menyanyikan lagu yang sama, Arab Saudi menang, Indonesia bertahan. Lengkap dengan nada minor pesimistis dan harmoni statistik yang dingin, seperti opera gurun yang disutradarai Google Analytics.
Tapi di balik angka dan tabel itu, ada kisah yang tak bisa diukur pakai Excel. Jay Idzes cs bukan turis sepak bola yang salah mendarat di Jeddah. Mereka datang bukan bawa koper, tapi bawa dendam sejarah, dendam manis yang dibungkus tekad nasionalisme dan sedikit drama diaspora. Emil Audero absen, betisnya sedang mogok kerja. Tapi Maarten Paes berdiri di bawah mistar seperti bodyguard mimpi seluruh negeri. Calvin Verdonk cedera leher, Ole Romeny baru pulih 95%, tapi semangat mereka membara 200%. Matematika boleh protes, tapi semangat Garuda memang tidak tunduk pada logika kalkulator.
Patrick Kluivert, sang pelatih, tidak sedang main catur di pinggir lapangan. Ia sedang menguji keyakinan, mental lebih tajam dari statistik. Ketenangan lebih menakutkan dari tekanan. Arab Saudi memang punya Salem Al-Dawsari, kaki ajaib pemilik 25 gol yang bisa mengubah arah pertandingan. Tapi Indonesia punya Jay Idzes, Marc Klok, Rafael Struick, nama-nama yang mungkin belum dihafal FIFA, tapi sudah ditulis di hati jutaan pendukung Garuda.
Cuaca Jeddah panas, lembap, dan licin oleh keringat pesimis. Tapi Timnas sudah terbiasa hidup di negeri tropis dengan suhu kritik 40 derajat dan kelembapan ekspektasi 90 persen. Mereka cuma punya dua hari latihan penuh karena 15 pemain diaspora baru mendarat seperti pasukan yang dipanggil lewat WhatsApp darurat. Tapi dua hari cukup untuk menyusun tekad, cukup untuk mengingat, mereka bukan sekadar pemain bola, mereka simbol, simbol perlawanan, simbol kebanggaan, simbol bahwa Indonesia datang bukan untuk berpartisipasi tapi untuk mengganggu narasi.
Di tanah air, suasana sudah seperti lebaran kedua, bedanya, kali ini yang disembelih bukan kambing, tapi rasa kantuk nasional. Dari Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, Jogja, Malang, Solo, Bekasi, Bogor, Pontianak hingga Banjarmasin, semua kota bergetar. Nobar merajalela di kafe, taman kota, dan pusat komunitas. Di Denpasar, Ultras Garuda Bali sudah siap pesta bola di Mum Food, Jalan Mahendradatta, lengkap dengan live music, flare, chant, dan bass drum. Sudah 250 orang mendaftar, kuota bisa 600. Di bioskop CGV Grand Indonesia, Bekasi Trade Center, dan Foodmosphere Banten, nobar eksklusif digelar dengan tiket Rp95.000 dan promo Buy 2 Get 1 Free, karena nonton bola lebih nikmat kalau teriakannya mengguncang AC.
Meski kick-off dini hari, fans tetap gas tanpa kompromi. “Mau main jam berapa pun, tetap dukung,” ujar pentolan Ultras Garuda Bali sambil mengecat wajah merah putih. Nobar bukan sekadar nonton, tapi ritual nasional, doa bersama, syal dibentangkan, dan harapan dititipkan agar Garuda lolos ke Piala Dunia 2026.
Malam ini, ketika bola mulai bergulir dan kamera menyorot wajah-wajah yang tak gentar, ingatlah: banyak prediksi Arab Saudi menang, tapi Garuda tetap kalem. Sebab Garuda tidak terbang untuk menghindari badai, Garuda terbang di tengah badai. Kalau angin mulai ribut, mungkin bukan karena Garuda takut. Mungkin karena badai sedang panik melihat siapa yang datang.
Foto Ai, hanya ilustrasi
Penulis :
Ketua Satupena Kalbar
Tags
SEPAKBOLA