WEKACE, Cerita saya di Sorong Papua Barar Daya, tetap lanjut nanti. Sekarang cerita pindah ke kota saya sendiri, Pontianak. Ini soal efek tulisan saya yang bisa menaklukan hati Bank Kalbar memberikan sumbangan kepada madrasah tsanawiyah. Sambil menikmati Kopi Senang, khas Sorong, simak narasinya, wak!
Kalian pasti masih ingat tulisan saya beberapa waktu lalu, judulnya, “Madrasah di Ujung Sampah, Cahaya di Tengah Bau Busuk.” Sebuah kisah getir tentang madrasah tsanawiyah di Jalan Kebangkitan Nasional, sekitar 500 meter dari Tempat Pembuangan Akhir di Siantan, Pontianak Utara. Di sana, anak-anak belajar mengaji dengan udara yang bau sampah. Madrasah milik Yayasan Miftahush Sholihin itu lebih mirip kapal pecah dari tempat belajar. Tapi di sanalah, anak-anak kecil belajar tentang arti bersyukur, iman tak butuh AC, dan semangat tak perlu ruangan mewah.
Tulisan itu viral. Seperti bara kecil yang tiba-tiba disiram minyak kesadaran. Kementerian Agama Kota Pontianak pun bergerak. Kepala Kanwil Kemenag Kalbar, Muhajirin Yanis, bahkan mengajak saya sendiri untuk datang melihat kondisi nyata di sana. Ketika beliau berdiri di depan kelas yang catnya terkelupas dan atapnya bocor, saya bisa melihat matanya berkaca-kaca. Bukan karena debu, tapi karena nurani yang terguncang.
Hari ini, tunggu dulu, ambil napas, Bank Kalbar turun tangan. Bukan sekadar simpati lewat kata, tapi aksi nyata lewat angka, Rp50 juta rupiah. Uang yang diserahkan langsung kepada Azizah, sekretaris yayasan yang matanya berkaca-kaca seperti hendak menumpahkan rasa syukur ke tanah.
Pihak Bank Kalbar berpesan lembut tapi bermakna, agar bantuan itu digunakan sebaik-baiknya, supaya anak-anak bisa belajar dengan nyaman, tanpa harus menulis di atas meja yang miring atau mendengar suara lalat lebih keras dari suara guru.
Sementara pihak Yayasan Miftahush Sholihin menyampaikan terima kasih dengan kata yang sederhana, tapi menembus jantung rasa, “Alhamdulillah Bank Kalbar telah membantu, semoga menjadi amal yang tidak terputus dan ladang kebaikan. Semoga Bank Kalbar semakin jaya. Amin.”
Dengan harapan yang jujur, mereka menambahkan,
“Harapan kami tidak putus di sini, kalau bisa berlanjut…”
Saya dapat kabar ini dari Fajar Cahyanto, orang pertama yang memberi tahu saya soal madrasah di ujung sampah itu. Saat ia menulis, Bank Kalbar memberikan bantuan Rp50 juta, saya terdiam, lalu bulu kuduk saya berdiri. Saya hanya bisa berucap pelan, “Subhanallah…”
Bukan karena uangnya, tapi karena kata bisa menyalakan aksi, tulisan bisa menggugah hati, dan empati ternyata menular lebih cepat dari virus mana pun.
Beberapa netizen bahkan ikut menyumbang dengan transfer pribadi. Tak ada panggung, tak ada kamera. Hanya niat baik yang diam-diam bekerja. Seolah semesta berbisik lembut dari balik tumpukan sampah, “Lihat, di antara bau busuk itu, Aku tumbuhkan wangi amal.”
Saya sering menulis kisah getir, tapi jarang yang membuat saya semerinding ini. Karena ternyata, di dunia yang sering terasa dingin oleh ego dan sibuk oleh kepentingan, masih banyak hati yang hidup.
Madrasah itu memang belum megah. Tapi percayalah, dari sanalah lahir generasi yang belajar arti perjuangan. Dari kelas reyot itulah muncul cahaya kecil yang suatu hari mungkin menerangi negeri ini.
Kini, setiap kali saya mencium aroma sampah di jalan, saya tak lagi menutup hidung. Saya justru tersenyum, karena saya tahu, bau busuk bisa berubah jadi bau surga, kalau tangan-tangan manusia mau bergerak.
Tulisan bukan sekadar rangkaian huruf, ia adalah denyut hati yang disalurkan lewat kata. Bila ditulis dengan kejujuran, ia bisa menembus ruang, mengguncang nurani, dan menggugah empati yang lama tertidur. Kisah tentang madrasah di ujung sampah itu membuktikan, satu tulisan yang lahir dari kepedihan nyata mampu menggerakkan banyak tangan untuk berbuat baik.
Kadang dunia tak berubah oleh pidato pejabat atau janji besar, tapi oleh selembar tulisan sederhana yang lahir dari hati yang tulus. Itulah kekuatan pena, ia tak bersuara, tapi mampu membuat banyak hati bersuara.
Editor :
Ketua Satupena Kalbar
Tags
NEWS