'); Budi Arie Pastikan Ijazah Jokowi Asli
WEKACE UPDATE
Loading...

Budi Arie Pastikan Ijazah Jokowi Asli

WEKACE, Selama ini, Projo hanya menyodorkan anak buahnya melawan geng Roy Suryo cs dalam drama tak berkesudahan, ijazah Jokowi. Kali ini, pentolan Projo, Budi Arie yang turun tangan. Sambil menikmati Kopi Senang khas Kota Sorong di Hotel Vega Prime, kita kupas aksi menteri yang baru saja dipecat Prabowo ini. 

Biasanya publik dijejali oleh Roy Suryo, Rismon, dan Tifa dengan narasi tegas tapi getir, “99,9 persen ijazah Jokowi palsu.” Mereka datang dengan laboratorium mini, kalkulator kebenaran, mikroskop digital, dan buku setebal dosa intelektual bangsa. Mereka berdiri di podium publik seperti Galileo, berteriak, bumi ijazah Jokowi itu datar, eh, maksudnya, palsu. Namun kali ini, alam semesta berputar arah. Sebuah bab baru terbuka dalam kisah yang epik dari perjalanan saya ke Papua Barat Daya. 

Budi Arie Setiadi, sang mantan menteri datang ke Solo membawa satu misi, melihat, menyentuh, dan mungkin kalau sempat, mencium ijazah Jokowi. Ia tidak membawa buku, tidak mengutip ilmuwan, tidak pakai spektrometer cahaya ultraviolet. Ia hanya membawa dua alat paling ampuh dalam sejarah peradaban manusia, mata dan keyakinan.

“Sudah kami lihat, asli, benar-benar ijazah asli milik Pak Jokowi,” katanya dengan nada seperti seorang arkeolog yang baru menemukan fosil perahu Nabi Nuh.
Pernyataan itu bukan hasil riset. Itu hasil pengalaman spiritual tingkat tinggi, semacam “hidayah akademik” yang turun setelah melihat selembar kertas bergaris segel.

Di sinilah drama filsafat kebenaran dimulai. Selama ini publik terjebak antara dua kutub. Kaum saintifik yang percaya data dan kaum mistik yang percaya rasa. Lalu Budi Arie muncul di tengah, sebagai nabi baru dalam iman administrasi negara. Ia membuktikan, kebenaran tak perlu serumit laboratorium. Cukup tatap dokumen itu dalam keheningan, lalu ucapkan dengan yakin, “Asli.”

Di luar rumah Jokowi di Sumber, Banjarsari, para relawan Projo bersorak, sementara netizen di jagat maya langsung terbagi dua. Sebagian percaya, sebagian menertawakan, sebagian lagi sibuk bikin meme. Tapi yang paling filosofis tentu bukan soal ijazahnya, melainkan soal siapa yang menentukan kebenaran. Apakah kebenaran adalah hasil penelitian? Ataukah cukup dengan tatapan penuh cinta seorang relawan?

Menariknya, dalam pertemuan itu, isu ijazah hanya pembuka. Setelah “ritual peneguhan ijazah” selesai, Budi Arie juga bicara soal utang Whoosh, kereta cepat yang katanya lebih cepat menumpuk utang dari penumpang. “Itu karya terbaik Jokowi,” katanya, menegaskan, dalam dunia post-truth, kerugian bisa ditafsir sebagai prestasi, seperti badai yang dianggap aroma parfum politik.

Kalimat itu seolah memberi pesan mendalam, jangan hanya ukur proyek dengan kalkulator, tapi juga dengan hati yang penuh rasa syukur. Kalau kereta cepat rugi, anggap saja investasi menuju surga ekonomi. Kalau ijazah diragukan, anggap saja itu ujian iman kebangsaan.

Namun mari kita kembali ke inti drama, seandainya benar Jokowi sendiri yang memperlihatkan ijazah aslinya ke publik, mungkin semua selesai. Tidak perlu debat, tidak perlu riset, tidak perlu Roy Suryo berselancar di YouTube dengan grafik konspirasi berbentuk segitiga Illuminati. Tapi ya itu tadi, drama ini seperti sinetron tanpa ending, makin diprotes, makin laku.

Pada akhirnya, publik bukan sedang mencari kebenaran, tapi sedang menikmati pertunjukan. Ijazah Jokowi kini bukan sekadar dokumen pendidikan, ia telah menjelma jadi naskah teater paling populer di republik absurd ini. Budi Arie tampil sebagai pemeran baru, tidak membawa ilmu, tapi membawa keyakinan.

Mungkin, di negeri di mana logika sering kalah oleh loyalitas, ucapan “sudah kami lihat, asli” lebih meyakinkan dari seribu tesis doktoral. Karena di sini, kebenaran tidak harus benar, cukup terasa benar, diucapkan dengan mantap, dan disertai senyum politik yang meyakinkan.

Foto Ai, hanya ilustrasi

Editor :

Redaksi

Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak