WEKACE, Saya yakin mata ente terbelalak begitu melihat segunung tumpukan uang di ruang tamu. Begitu juga Prabowo. Ia seperti ingin berkata “Wow..!” Padahal, ia sudah sangat tajir melintir. Sepertinya ia baru kali itu melihat gunungan uang triliunan. Simak narasinya sambil seruput kopi tanpa gula, wak!
Presiden Prabowo Subianto melangkah masuk. Langkahnya berat, tapi mantap, seperti jenderal yang baru saja menemukan medan perang jenis baru, perang melawan rasa takjub. Di belakangnya, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin berjalan dengan wajah tegas. Sementara Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin mengikuti, ekspresi antara bangga dan bingung. Kamera YouTube Sekretariat Presiden bergetar pelan, seolah lensa pun tak siap merekam kejadian seabsurd ini.
Saat pandangannya pertama kali menyapu tumpukan uang itu, Prabowo berhenti. Nafasnya tertahan sepersekian detik. “Astaga…” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar. Gunungan uang di depannya menjulang, sepinggang sang presiden di bagian depan, dan lebih tinggi dari kepala di bagian tengah. Lampu ruangan memantulkan warna merah dari uang-uang itu, membuat seluruh lobi tampak seperti altar persembahan zaman modern. Uang, sebagai dewa yang baru saja diserahkan kembali ke tangan negara.
Ia maju beberapa langkah. Tangannya terulur, menyentuh plastik bening yang membungkus satu tumpuk uang. Ia menepuk-nepuknya ringan, seperti memastikan bahwa semua ini bukan hasil CGI. Tatapannya tajam, tapi matanya sedikit bergetar. Ada senyum yang tertahan di ujung bibirnya, senyum yang mencampur antara kagum, geli, dan sedih.
“Sebesar Rp 13 miliar…” ucapnya, lalu berhenti. Ia tertawa kecil, menggeleng pelan. “Eh, triliun. Sori, sori.”
Ruang lobi pecah oleh tawa sopan. Tapi di balik tawa itu, ada suasana magis. Semua yang hadir tahu, mereka sedang menyaksikan gunung uang hasil korupsi, Rp 13.255.244.538.149, yang seolah bernapas di tengah ruangan.
Burhanuddin menjelaskan dengan nada resmi tapi penuh gaya, “Yang di sini hanya sekitar Rp 2,4 miliar, Pak Presiden. Kalau dibawa semua 13 triliun, tempat ini roboh.” Segitu saja udah seperti gunung, apalagi dibawa semua, gedung Kejagung bisa tertimbun.
Prabowo tersenyum lagi, kali ini lebih lebar. “Enggak kita bayangkan, ya, uang,” katanya sambil mengangkat tangannya perlahan ke arah gunungan itu, gerakan yang entah kenapa terasa seperti sedang memberkati tumpukan dosa yang telah bertobat.
Ia duduk, tapi matanya tak berhenti menatap. Ada sinar dramatis dari lampu langit-langit yang jatuh tepat di wajahnya. Prabowo terlihat seperti tokoh film perang yang baru saja memenangkan pertempuran terakhirnya, tapi di depan bukan musuh bersenjata, melainkan uang yang dulu menyesatkan banyak orang.
Di sampingnya, Menkeu Purbaya dan Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto ikut memandang, seolah menghitung kemungkinan apa yang bisa dibangun dengan uang sebanyak itu, 8.000 sekolah, 600 kampung nelayan, atau mungkin satu generasi baru yang lebih jujur.
Ruang lobi bergetar oleh bisik kagum. AC bekerja keras, keringat pejabat menetes pelan, tapi semua mata tetap terpaku pada benteng uang itu, simbol dosa dan harapan dalam satu wujud fisik.
Ketika acara berakhir, Prabowo berdiri perlahan. Ia menatap gunungan uang itu sekali lagi, menepuk pundak Burhanuddin, dan berkata lirih tapi tegas, “Kerja bagus. Tapi jangan sampai negara ini harus bikin pameran kayak gini lagi.”
Saat ia melangkah keluar, cahaya lampu menyinari punggungnya. Dramatis. Epik. Seolah sejarah sendiri sedang menahan napas, menunggu apakah gunung uang itu benar-benar menjadi titik tobat, atau sekadar episode baru dalam sinetron panjang bernama Republik Indonesia.
"Bang, bisa ndak minta segepok saja ke Pak Prabowo uang itu."
"Ente jangan ngawur, wak. Itu uang negara, bukan uang jin dimakan setan." Ups
Foto Ai, hanya ilustrasi
Editor :
Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
Tags
NEWS