'); Baru Kali Ini Uang Sitaan Korupsi Diserahkan Langsung ke Menkeu Disaksikan Prabowo
WEKACE UPDATE
Loading...

Baru Kali Ini Uang Sitaan Korupsi Diserahkan Langsung ke Menkeu Disaksikan Prabowo

WEKACE, Aparat hukum sering memamerkan uang hasil sitaan ke publik. Uang ditumpuk bak gunung di atas meja. Publik sering bertanya, setelah dipamerkan dikemanakan uang itu? Jangan-jangan…muncul kecurigaan. Hari ini semua terjawab. Uang triliunan segunung diserahkan Kejagung kepada Menkeu Purbawa disaksikan Prabowo. Keren ni, wak. Simak narasinya sambil seruput kopi tanpa gula. 

Hari ini, Gedung Kejagung berubah jadi panggung drama paling absurd dalam sejarah keuangan republik. Bukan sinetron, bukan konser amal, tapi momen langka. Ada Rp13,2 triliun uang sitaan korupsi benar-benar diserahkan langsung ke Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. Ini bagian paling epik, disaksikan langsung Presiden Prabowo Subianto.


Uang segunung itu disusun seperti tumpukan Lego raksasa versi rupiah, menjulang dua setengah meter, berkilau di bawah lampu lobi Kejaksaan. Orang-orang berdiri terpana, setengah kagum, setengah bingung. “Itu uang beneran, kan?” tanya seorang wartawan yang tampak ingin mencubitnya.

Jaksa Agung ST Burhanuddin maju ke depan dengan gaya bak pesulap yang baru menuntaskan trik terakhirnya. “Inilah hasil sitaan korupsi ekspor CPO dari tiga korporasi besar,” katanya penuh kharisma. Di belakangnya, Menkeu Purbaya sudah siap dengan wajah serius, seperti penjaga brankas negara yang akhirnya mendapat kunci surga fiskal.

Di tengah-tengah semua itu, berdirilah Prabowo Subianto, Presiden dengan aura campuran antara jenderal, filsuf, dan politikus gaek. Ia menatap uang itu lama, mungkin sedang menghitung berapa banyak sapi yang bisa dibeli, atau berapa ribu sekolah bisa direnovasi. Lalu, dengan suara yang dalam dan penuh gravitas, ia berkata,

“Rp13 triliun ini bisa memperbaiki 8.000 sekolah.”

Penonton tepuk tangan. Kamera berkilat. Beberapa pejabat bahkan terlihat menahan air mata, entah karena haru, atau karena menyadari mereka belum pernah melihat uang segitu banyak sekaligus tanpa rasa bersalah.

Tapi inilah yang membuat momen itu jadi luar biasa. Baru kali ini uang sitaan korupsi benar-benar diserahkan langsung ke Menkeu. Biasanya, setelah banyak tanda tanya netizen.  Biasanya juga, uang hasil sitaan itu cuma jadi latar belakang foto, sebuah pameran moral sesaat sebelum menguap ke dimensi akuntansi. Tapi kali ini beda. Ada Prabowo. Kehadiran Prabowo membuat segalanya terasa seperti adegan akhir film dokumenter bertajuk “Republik Bertobat: Episode Triliunan Kembali.”

Uang itu berasal dari tiga raksasa sawit, yakni Wilmar Group, Musim Mas Group, dan Permata Hijau Group. Total kerugian negara Rp17 triliun, tapi yang baru diserahkan Rp13,2 triliun. Sisanya? Masih dalam fase “pencarian spiritual.” Seorang jaksa bahkan berkata, “Sisanya Rp4 triliun sedang ditagih.” Rakyat pun tersenyum kecut, karena di negeri ini, uang kadang lebih sulit dicari dari keadilan.

Namun untuk hari itu, semua tampak mulia. Prabowo, Menkeu, Jaksa Agung, dan para pejabat tinggi berdiri di tengah lautan uang seperti ksatria ekonomi yang baru memenangkan perang melawan dosa fiskal. Para fotografer berlomba mencari angle terbaik, tumpukan uang itu menjadi simbol bahwa keadilan, meski lambat, akhirnya punya bentuk fisik, dan tinggi dua meter setengah.

Rakyat yang menonton siaran langsungnya di TV mungkin bersorak kecil sambil menyeruput kopi, “Akhirnya uang itu balik!” Sebagian lain menambahkan, “Semoga kali ini beneran masuk kas negara, bukan kas yang lain.”

Tapi apapun tafsirnya, momen ini monumental. Uang yang dulunya lahir dari dosa akhirnya menjalani ritual penyucian publik. Diserahkan ke negara, disaksikan rakyat, dan dibaptis langsung oleh Presiden.

Filsafat uang sitaan pun menemukan bab baru. Uang yang dulu menyesatkan kini bisa jadi simbol kebangkitan moral bangsa. Atau minimal, jadi tontonan nasional yang bikin rakyat percaya, meski sebentar, bahwa hukum dan keadilan masih bisa bersalaman tanpa saling curiga.

Foto Ai, hanya ilustrasi

Editor :

Redaksi

Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak