'); Fenomena Apa Ini? Ayah Memvideokan Anak Dikatakan Biadab
WEKACE UPDATE
Loading...

Fenomena Apa Ini? Ayah Memvideokan Anak Dikatakan Biadab

WEKACE, Kalian pasti sudah nonton video viral itu. Seorang ayah memvideokan anak sendiri dan mengatakannya, anak biadab. Lalu, dibalas anak dengan kata, bego. Fenomena apakah ini? Mari kita lindas, eh salah, kupas fenomena aneh ini sambil seruput kopi tanpa gula, wak!

Malam itu, dunia tiba-tiba menyaksikan tragedi paling purba dalam versi paling modern. Seorang ayah melawan anaknya sendiri, dengan kamera sebagai saksi, dan publik sebagai hakim. Di sebuah rumah (tak dijelaskan alamat pastinya) tak ada lagi doa sebelum tidur, tak ada lagi suara lembut memanggil “Nak” atau “Yah.” Yang ada hanyalah suara amarah yang bergetar di antara dinding lembab. “Ni… anak biadab! Melawan orang tua! Malam-malam keluyuran! Ayahnya dipukulin!” Suara ayah itu serak, bukan karena lelah, tapi karena seluruh harapannya telah terbakar oleh frustrasi. Di tangannya, ponsel merekam segalanya, mengabadikan kejatuhan cinta yang pernah ia bangun sendiri.



Lalu datang suara balasan, nyaring, marah, namun getir. “Lo duluan yang nendang kepala gue! Biar tak mati, bego!” Anak perempuan itu menatap ayahnya dengan mata yang dulu pernah berkilau setiap kali diajak ke taman, kini berubah jadi dua bara kecil yang menyala di tengah reruntuhan hubungan darah. Dunia maya menonton, tapi malam itu sebenarnya semesta pun mungkin menunduk malu. Betapa mudah kasih berubah jadi konten, betapa cepat cinta dikonversi menjadi view.

Si ayah, entah kenapa, tak mematikan kamera. Ia seperti sedang menuntut keadilan dari ruang yang tak mengenalnya. Seolah dengan merekam, ia bisa membuktikan pada dunia bahwa dirinya adalah korban. Tapi bukankah korban sejati tak sempat memegang kamera? Ia tak sadar, setiap detik rekaman itu menelanjangi dirinya sendiri. Di wajahnya ada dendam yang lama tak diurus, mungkin dari tahun-tahun di mana ia merasa gagal jadi ayah, gagal jadi suami, gagal jadi manusia yang utuh. Ia bukan sedang merekam anaknya, ia sedang merekam kegagalannya sendiri, tapi dengan nama file k“anak durhaka.mp4.”

Sementara si anak, dengan napas tercekat dan mata yang berair tapi keras kepala, berdiri bagai benteng kecil yang dipaksa menahan badai. Ia bukan hanya marah, ia sedang bertahan dari sesuatu yang tak bisa dijelaskan oleh psikologi biasa. Cinta yang tumbuh dalam ketakutan, kasih yang berubah jadi jerat. Barangkali, di dalam hatinya, ia masih ingin dipeluk, tapi tangan ayahnya lebih memilih menggenggam ponsel dari dirinya.

Di luar rumah, dunia bersorak. Ada yang memihak ayah, ada yang membela anak. Tapi tak seorang pun bertanya, mengapa keduanya sampai sejauh ini. Di sinilah ironi psikologi modern. Cinta yang tak pernah disembuhkan berubah jadi trauma, dan trauma yang tak pernah disadari berubah jadi tontonan. Kita, para penonton, ikut meneteskan air mata, lalu menggulir layar, mencari drama lain yang lebih segar.

Serba salah, sungguh. Menyalahkan si ayah terasa kejam, tapi membela si anak pun tak membuat lega. Mereka bukan musuh satu sama lain, mereka hanya dua jiwa yang sama-sama kehilangan peta. Kamera merekam luka mereka, dunia menilai tanpa empati, dan algoritma bekerja seperti algojo yang haus darah emosional.

Mungkin inilah akhir zaman kasih. Saat pelukan digantikan unggahan, saat tangisan jadi sound effect, dan saat manusia lebih percaya pada kamera dari nurani. Di antara semua absurditas itu, satu hal terasa pasti, malam itu bukan hanya seorang ayah yang kehilangan anaknya, tapi juga seorang anak yang kehilangan sosok ayah, digantikan oleh lensa dingin yang tak bisa memeluk, tak bisa menyesal, dan tak bisa berhenti merekam.

Cahaya ponsel temaram senja,
Suara ayah pecah di dada,
Anak marah menahan luka,
Kasih pun gugur tanpa suara.

Foto Ai, hanya ilustrasi

Editor :
Rosadi Jamani

Redaksi

Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak