WEKACE, Rasa tak sabar menunggu laga Timnas vs Arab Saudi. Karena, inilah impian Garuda untuk bisa tampil di Piala Dunia. Di tengah gegap-gempita Pildun, tiba-tiba muncul kekhawatiran besar. Duel maut itu dipimpin wasit “kejam” dari Kuwait. Jangankan kita, orang Saudi juga tak senang wasit ini. Mari kita lindas, eh salah, kupas pengadil lapangan ini sambil seruput kopi tanpa gula, wak!
Laga panas Timnas Indonesia vs Arab Saudi di Kualifikasi Piala Dunia 2026 bakal dipimpin oleh sosok misterius dari Kuwait bernama Ahmad Al-Ali. Namanya terdengar tenang, tapi statistiknya bikin jantung suporter berdetak seperti drum marching band. Wasit ini sudah mengoleksi 188 kartu kuning, 9 kartu merah, dan 14 penalti dalam 56 pertandingan internasional. Kalau sepak bola itu film, maka Al-Ali adalah sutradara genre horor.
PSSI tentu tak tinggal diam. Mereka langsung melayangkan surat resmi ke AFC, isinya kurang lebih, “Tolong, cari wasit yang bukan tetangga lawan kami.” Logis, karena menunjuk wasit Kuwait untuk laga melawan Arab Saudi itu seperti menunjuk abang ojek sebelah rumah jadi hakim lomba balap karung di RT lawan, bau konflik kepentingannya terasa bahkan sebelum peluit ditiup. Tapi, seperti biasa, AFC punya kecepatan respons seperti siput puasa. Hingga dua hari sebelum laga, tak ada jawaban. Mungkin mereka sedang menunggu wahyu atau sedang sibuk menentukan warna rompi panitia.
Ironinya, bukan cuma Indonesia yang resah. Fans Arab Saudi juga protes! Mereka menyebut Al-Ali sebagai “wasit terburuk di Asia.” Dua kelompok yang biasanya berdebat di kolom komentar kini bersatu dalam doa yang sama. Semoga sang wasit tidak berubah jadi dewa kartu. Jika ini bukan momen langka, entah apa lagi.
Pelatih Timnas Patrick Kluivert pun ikut terheran. Dengan wajah khasnya yang selalu seperti sedang berpikir antara mengganti formasi atau mengganti planet, ia berkata keputusan itu “mengejutkan.” Media Arab langsung menulisnya sebagai komentar “kontroversial.” Padahal mungkin Kluivert cuma ingin bilang, “Serius nih, AFC?” Tapi di Asia, kalimat netral bisa jadi headline internasional.
Sementara itu, sorotan juga mengarah pada Maarten Paes, kiper utama yang baru sembuh dari cedera hamstring. Ia sempat absen delapan laga bersama FC Dallas. Banyak yang ragu apakah Paes siap menghadapi badai serangan Arab Saudi dan badai peluit Al-Ali sekaligus. Tapi Kluivert menegaskan, “Paes baik-baik saja.” Ya, semoga baik-baik saja sampai peluit akhir, bukan sampai kartu kuning pertama.
Namun, di balik segala drama itu, ada kisah yang bikin dada bergetar, semangat diaspora Indonesia di Arab Saudi. Komunitas Garuda Saudi jadi pahlawan logistik. Mereka mengelola distribusi 1.000 tiket resmi yang langsung ludes, mengurus validasi ID, visa, hingga sistem pembayaran melalui WeBook. Tak ada calo, tak ada tipu-tipu. Di negeri orang, para TKI dan WNI bersatu bukan untuk demo, tapi untuk meneriakkan “Garuda di Dadaku” di tengah stadion Raja Abdullah.
Rasanya absurd, tapi justru di situlah kekuatan kita. Wasit bisa bias, lawan bisa ganas, tapi semangat Indonesia tidak bisa dimatikan oleh 9 kartu merah sekalipun. Sebab dalam filsafat bola ala Nusantara, kemenangan tidak selalu soal skor, kadang soal keberanian melawan ketidakadilan dengan senyum dan lagu kebangsaan yang diteriakkan dari tribun gurun pasir.
So, apa pun yang terjadi di lapangan, satu hal pasti, ketika peluit Al-Ali berbunyi, kita semua sudah siap. Kalau perlu, biarlah wasit mengeluarkan 14 penalti, asal satu saja untuk kita, dan selebihnya biar Tuhan yang menentukan, karena Ia tahu, Garuda tidak pernah takut bahkan kepada wasit paling kejam di Asia.
"Wasit dari negeri tetangga Arab Saudi, kita jadi curiga ni, Bang."
"Benar, wak. Coba kalau wasitnya dari Malaysia, tenang juga rasanya." Ups.
Foto Ai, hanya ilustrasi.
Penulis :
Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
Tags
SEPAKBOLA