'); Ayah Tersangka Korupsi, Anak Malah Curi Sepatu di Masjid
WEKACE UPDATE
Loading...

Ayah Tersangka Korupsi, Anak Malah Curi Sepatu di Masjid

WEKACE, Saya tidak tahu apakah ada pengaruh, uang hasil korupsi berefek pada mental anak. Sebagai contoh ini, ayah jadi tersangka korupsi, lalu anaknya malah hobi mencuri sepatu di masjid. Simak cerita absurd dari tanah Cirebon ini sambil seruput kopi tanpa gula, wak!

Cirebon panas, tapi yang lebih panas dari cuaca adalah rasa malu satu kota. Bagaimana tidak? Anak mantan wali kota, darah biru pejabat, cucu dari garis keturunan yang biasa pakai parfum impor dan sepatu kulit sapi Australia, tertangkap mencuri sepatu jamaah di masjid. Sepatu, wak! Bukan berlian, bukan duit bansos, bukan tender proyek, tapi sepatu yang mungkin masih bau kaus kaki bekas salat Dzuhur.

Nama pelaku berinisial ASN, warga Kelurahan Drajat. Tapi setelah kejadian ini, drajat-nya langsung turun drastis, mungkin sekarang setara sandal jepit yang putus talinya. Ia ditangkap setelah CCTV Masjid Raya At-Taqwa menyiarkan aksinya dengan kualitas sinematik 4K Ultra HD, sebuah dokumenter yang tak akan tayang di Netflix, tapi akan abadi di grup WhatsApp keluarga besar.

Bayangkan, kang! Seorang anak pejabat yang dulu mungkin disuapi dengan sendok perak kini terekam sedang menunduk di rak sepatu, sibuk memilah ukuran, mungkin sambil berdoa lirih, “Ya Allah, semoga yang ini pas di kaki dan tak terlalu bau.” Seolah dunia sedang menulis lelucon baru, kalau bapaknya korupsi Rp26 miliar, anaknya bertekad ikut jejak, tapi mulai dari bawah, dari alas kaki rakyat.

Rohman, sang satpam masjid, yang sudah hafal setiap jamaah dan sandal mereka, berkata dengan wajah antara heran dan lelah hidup, “Dia sudah sering nongol, tapi kemarin itu paling jelas. Langsung nyomot sepatu.” Bisa jadi Rohman sebenarnya tak marah, hanya bingung. Karena di masjid tempat orang mencari hidayah, ada juga yang justru mencari sepatu limited edition.

Sungguh tragis sekaligus kocak, yang dicuri bukan sandal jepit swalayan, tapi sepatu bermerek mahal. ASN tampaknya punya selera kelas atas, seakan sedang melakukan Fashion Week versi masjid. Ketika ditangkap dan diinterogasi, ia mengaku sebagian sepatu sudah dijual, sisanya disimpan di rumah. Betapa megahnya pemandangan di sana, rak sepatu yang mungkin lebih ramai dari mal diskon 11.11.

Sementara itu, ayahnya, mantan Wali Kota Cirebon Nashrudin Azis, sedang ditahan atas dugaan korupsi Rp26 miliar. Di tengah kabar itu, rakyat berharap anaknya memperbaiki nama keluarga. Tapi ternyata, sang anak malah memperkuat teori genetika dosa. Kalau ayah korupsi proyek, anaknya korupsi sepatu. Kalau ayah mainkan dokumen tender, anaknya mainkan tali sepatu. Sebuah kesinambungan spiritual yang begitu… kocak tapi menyedihkan.

Warga sekitar masjid heboh. Ada yang syok, ada yang ngakak, ada juga yang curiga. “Jangan-jangan sepatu saya juga hilang minggu lalu karena dia!” Saat ASN digiring keluar, jamaah menatapnya seperti menatap makhluk langka, spesies baru bernama Homo Kleptokakis, manusia yang mencuri di rumah Tuhan dengan gaya percaya diri.

Kini, dunia bisa belajar sesuatu dari keluarga ini. Bahwa keburukan bisa diwariskan seperti harta, cuma bedanya tak bisa dijual, hanya bisa mempermalukan. Tidak semua anak pejabat menapaki jalan mulia. Sebagian malah menapaki jalan orang lain, pakai sepatu hasil curian.

Kalau dipikir-pikir, kisah ini terlalu absurd untuk FTV. Ayah di penjara karena korupsi miliaran, anak menyusul karena sepatu Nike. Mungkin nanti cucunya bakal ditangkap karena mencuri tali sepatu, biar lengkap satu paket.

Sungguh, kisah ini membuktikan satu kebenaran universal, kalau otak tak dipakai, sepatu orang lain pun terlihat seperti rezeki.

"Bang, banyak anak pejabat suka flexing, jangan-jangan bapaknya suka korupsi."

"Bisa jadi, wak!" Ups.

Foto Ai, hanya ilustrasi

Penulis :

Redaksi

Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak