'); Habis Luhut dan Dedi Mulyadi Terbitlah Hasan Nasbi: Purbaya Fokus Substansi, Bukan Ambisi!
WEKACE UPDATE
Loading...

Habis Luhut dan Dedi Mulyadi Terbitlah Hasan Nasbi: Purbaya Fokus Substansi, Bukan Ambisi!

WEKACE, Hasan Nasbi ikut nimbrung komentari, mengkritik, Purbaya Yudhi Sadewa. Pansos istilah anak zaman sekarang. Sebelumnya, Luhut Binsar Panjaitan dan yang paling heboh, Dedi Mulyadi.

Dedi Mulyadi tak hanya sekadar mengomentari, tapi membantah. Membantah bahwa ada dana Pemda Jawa Barat yang diendapkan di Bank.

Sebetulnya, tak hanya Pemda Jawa Barat, tapi banyak Pemda lainnya. Tapi hanya Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang berani tampil membantah.

Istilah mengendapkan dana Pemda itu citra buruk bagi seorang Dedi Mulyadi yang sedang naik daun juga dan terkenal bersih.


Tapi Purbaya membalas lagi bantahan Dedi Mulyadi itu dengan keras. "Jangan nyuruh-nyuruh saya, saya bukan pegawai Pemda, "tegas Purbaya. Begitulah kira-kira.

Luhut Binsar Panjaitan sempat juga dianggap berbalas pantun dengan Purbaya Yudhi Sadewa. Purbaya enggan membayar utang kereta cepat whoosh pakai dana APBN.

Keengganan Purbaya itu dianggap pemerintah sedang lepas tangan oleh Luhut, padahal bukan. Tak mau bayar pakai APBN, bukan berarti lepas tangan. Melainkan diserahkan ke Danantara.

Danantara sudah menerima keuntungan dari BUMN. Luhut juga tak bermaksud utang kereta cepat itu harus dibayar pakai APBN, tapi seolah-olah dibuat begitu.

Purbaya dianggap anak buah yang sedang melawan bosnya, padahal bukan. Proyek Whoosh itu sensitif bagi Luhut, yang belakangan justru dikatakannya sudah busuk saat diterimanya.

Dedi Mulyadi dan Luhut Binsar Panjaitan hanya dua nama pejabat saja yang mencuat kepermukaan imbas dari apa yang dilakukan Purbaya Yudhi Sadewa. Pejabat lainnya, apalagi yang berada di bawah Kementerian Keuangan, mungkin banyak lagi.

Sidak-sidak yang dilakukannya membuat para pejabat ketar-ketir. Orang sampai lupa bahwa dia bukanlah penegak hukum, tapi Menteri Keuangan. Menteri Keuangan biasanya tak seperti itu. Banyak diam, duduk di kantor mewah.

Anggaran MBG, termasuk Kementerian lainnya, kalau tak terserap, akan diambil dan alihkan ke yang lain. Prinsip Purbaya sederhana, uang tak boleh banyak parkir dan harus beredar di tengah masyarakat.

Sempat dirumorkan sedang dikucilkan pejabat lain, padahal bukan. Tapi mungkin iya, terutama yang terkena imbas dari apa yang dilakukannya.

Bahkan, pendukung Jokowi sewot juga dengan apa yang dikatakan Purbaya. Bahwa era SBY lebih baik daripada era Jokowi.

Jokowi kerja keras ekonomi tumbuh cuma 5%, sementara SBY tidur saja ekonomi tumbuh 6%. Padahal sempat pula diklaim sebagai orangnya Jokowi.

Purbaya bisa menjelaskan situasi ekonomi yang biasa rumit dan berbelit, dengan bahasa yang sederhana dan dipahami siapa saja.

Wajar saja publik merasa menemukan "hero baru" karena beda sekali dengan pejabat kebanyakan.

Ada ungkapan bahwa uang itu seperti darah yang mengalir dalam tubuh kita. Artinya, tak ada bagian dari tumbuh kita ini yang tak dialiri oleh darah.

Maka Menteri Keuangan itu sebetulnya Menteri Segala Urusan. Sebab, segala urusan dalam Kementerian itu pasti membutuhkan uang. Artinya, segala urusan dalam Kementerian itu adalah urusan Menteri Keuangan.

Jadi keliru kalau ada yang mengatakan Menteri Keuangan Purbaya sedang merecoki urusan pejabat lain dan mengganggu program pemerintahan.

Justru ia sedang melakukan tugasnya. Yang merasa terganggu dengan apa yang dilakukannya mungkin karena sudah terbiasa bermain-main dengan uang.

Menteri Keuangan Purbaya sedang menunjukkan ke publik bahwa pejabat kita tak hanya hobi korupsi, tapi juga hobi mengendapkan uang negara. Dan itu tak hanya terjadi di Kementerian dan lembaga, tapi juga di Pemda-pemda.

Bisa jadi awal dari korupsi itu adalah pengendapan uang ini. Uang yang notabene adalah uang rakyat, tapi endapan karena berharap bunga. Sementara uang yang beredar nyaris sedikit, karena diendapkan dalam jangka waktu tertentu.

Itulah yang tak diinginkan Purbaya dan itulah yang dinilai mengganggu pertumbuhan, serta itu pulalah yang agaknya ditentang oleh pejabat lainnya.

Di tengah itu pula, Hasan Nasbi, mantan Kepala PCO, yang saat ini jadi Komisaris di Pertamina, ikut nimbrung pula mengomentari, bahkan mengkritik Purbaya Yudhi Sadewa.

Berbeda dengan Luhut dan Dedi Mulyadi, Hasan menyoroti gaya komunikasi Purbaya imbas dari perdebatan dengan Luhut, Dedi Mulyadi, dan yang lainnya. Bukan dari substansi kebijakan yang diambilnya.

Bagi Hasan Nasbi gaya komunikasi Purbaya bisa melemahkan soliditas pemerintahan dan dipakai oleh para pengkritik pemerintah.

Bisa saja Purbaya "bakutikam" dengan pejabat lainnya, tapi jangan di depan publik. Sampaikan secara  tertutup. Begitulah kira-kira menurut Hasan Nasbi.

Bukan Purbaya namanya kalau tidak membalas kritik yang tak substansial. Luhut dan Dedi Mulyadi saja dibalasnya dengan sangat tegas. Apalagi Hasan Nasbi yang dianggap orang gagal dalam pemerintahan.

Macam gaya komunikasinya saja yang baik saat menjabat. "Stabilitas pemerintah amat baik di mata masyarakat, kecuali di mata orang itu ya, "kata Purbaya, tembak dua belas pas.

Entah apa pula yang mendorong Hasan Nasbi tiba-tiba saja mengkritik gaya komunikasi Purbaya, sementara gaya komunikasinya sendiri tak bagus saat menjadi pejabat?

Lagian, dia saat ini jadi Komisaris Pertamina, bukan pengamat lepas seperti dulu. Apakah karena Purbaya juga mengkritik Pertamina, sehingga dia juga tersinggung seperti halnya Luhut dan Dedi Mulyadi?

Purbaya tegas sekali mengatakan bahwa ia tak punya ambisi politik apa-apa. Ia tak punya target-target politik tertentu. Ia mengerjakan apa yang harus dikerjakan dan diperintahkan Presiden.

Yang target politiknya terganggu dengan apa yang dilakukannya, itu bukan persoalannya. Dedi Mulyadi yang membantah dan menentangnya, dibalas dengan sangat tegas.

Artinya, ia juga tak ciut dengan pejabat yang sedang populer sekalipun. Apalagi mantan pejabat seperti Hasan Nasbi yang gagal dan sudah merasa di atas Purbaya pula.

Orang ceplas-ceplos bukti ketulusan dan tak ada yang disembunyikan. Tapi bisa juga orang yang memang punya agenda tertentu. Semoga saja Purbaya bukan orang yang kedua, tapi yang pertama. Ia tulus ingin memperbaiki Indonesia ke arah yang lebih baik.

Penulis :
Erizal

Redaksi

Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak