WEKACE, Ketika saya menulis soal Menkeu Purbaya, selalu ada pertanyaan netizen, "Menteri Keuangan yang dulu kemana aja?" Saya tak tahu, why? Sambil seruput kopi tanpa gula, kita ungkap, wak!
Hari ini negeri sedang bersemangat. Hari Sumpah Pemuda. Semua orang bicara tentang semangat juang, cita-cita, dan kebangkitan. Di tengah gegap gempita itu, dunia maya tiba-tiba juga bersumpah, bukan untuk bersatu, tapi untuk memuji Purbaya Yudhi Sadewa, Menteri Keuangan baru yang entah kenapa lebih populer dari perang Pakistan vs Afghanistan yang meletus lagi.
Pace bayangkan, baru beberapa minggu duduk di kursi bendahara negara, Purbaya sudah jadi selebritas fiskal. Setiap ucapannya dianggap mukjizat makroekonomi. Mau bicara inflasi? Langsung trending. Mau senyum di rapat? Dibilang tanda stabilitas fiskal. Mau pakai batik biru? Netizen bilang, “Itu warna defisit rendah!” Ajaib betul. Padahal belum juga sebulan, tapi udah disembah kayak pahlawan ekonomi versi Marvel.
Rakyat pun bertanya, dengan nada geli tapi jujur, “Lah, Menteri Keuangan yang dulu ngapaian aja?”
Sri Mulyani, sang legenda, yang dulu disebut Iron Lady, kini seperti jadi nama kenangan di seminar pajak. Dulu ia dielu-elukan karena disiplin anggaran, sekarang malah dianggap kayak masa lalu yang terlalu kaku. Padahal semua pondasi yang dinikmati Purbaya sekarang, itu hasil kerja bertahun-tahun Sri Mulyani juga. Tapi begitulah negeri ini, cepat kagum, lebih cepat lupa.
Kalau Sri Mulyani dulu bicara serius soal kredibilitas fiskal, publik mengantuk. Tapi begitu Purbaya bilang, “Ekonomi itu kayak cinta, harus berani rugi untuk untung,” langsung ramai! “Wah, dalam banget bang! Ekonomi rasa puisi!” Sri Mulyani menulis laporan keuangan, Purbaya menulis status motivasi. Sri Mulyani disiplin, Purbaya menyenangkan. Dunia maya pun lebih memilih yang bisa bikin senyum sambil buka TikTok.
Lucunya, apa pun yang Purbaya lakukan, selalu dianggap hebat. TKD dipotong ratusan miliar? “Wajar, agar daerah pro rakyat.” Subsidi dikurangi? “Keren, efisiensi banget!” Rupiah goyang? “Tanda pasar sedang jatuh cinta.” Bahkan kalau defisit meningkat, netizen siap membela, “Santai, itu strategi jangka panjang, Kang Purbaya pasti tahu apa yang dia lakukan.”
Sementara Sri Mulyani cuma bisa jadi legenda di ruang diskusi IMF. Mungkin kalau dia baca komentar netizen sekarang, bisa geleng kepala sambil berkata dalam hati, “Jadi selama ini aku ngapaian aja?” Tapi jangan salah, di balik senyum Purbaya yang memukau itu, berdiri pondasi keras yang dulu dibangun Sri Mulyani dengan keringat dan serangan kritik bertahun-tahun.
Di antara semua kehebohan ini, ada satu hal menarik, Persib Bandung menang 2–0 atas Persis Solo malam tadi, padahal cuma main dengan 10 pemain. Luar biasa! Rakyat Bandung bersorak, netizen bilang, “Mental juara, kang!” Entah kenapa, semangat itu mirip banget sama Purbaya sekarang. Ia datang ke lapangan ekonomi dengan pemain kurang, tantangan global, geopolitik, utang, inflasi, tapi bisa bikin publik merasa kita sedang menang 2–0 di babak pertama.
Begitulah suasana negeri di Hari Sumpah Pemuda ini. Pemuda bersumpah bersatu, Purbaya bersumpah berani, dan rakyat bersumpah percaya, meski belum tahu defisit tahun depan berapa. Tapi tak apa, yang penting semangat tetap hidup.
Sri Mulyani dulu membangun disiplin, Purbaya kini membangun euforia. Yang satu membuat sistem, yang satu membuat senyum. Di tengah gegap gempita perayaan ini, rakyat cuma ingin percaya, negeri ini sedang menuju masa depan yang cera, meski mungkin, seperti Persib tadi malam, kita masih main dengan sepuluh pemain saja.
Yang penting, tetap semangat, tetap optimis, dan kalau bisa… tetap viral.
Persib menang dua kosong gemilang,
Hari Sumpah Pemuda semangat berkobar,
Purbaya dielu-elukan bak pahlawan gemilang,
Sri Mulyani termenung, “Lah, aku dulu ke mana kabar?”
Foto Ai hanya ilustrasi
Penulis :
Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
Tags
OASE