'); Mengenal Paul Biya, Presiden Tertua di Dunia, Usia 92 Tahun
WEKACE UPDATE
Loading...

Mengenal Paul Biya, Presiden Tertua di Dunia, Usia 92 Tahun

WEKACE, Kamerun kembali memecahkan rekor dunia. Bukan dalam olahraga, bukan pula teknologi, tapi dalam hal keteguhan hati seorang manusia bernama Paul Barthélemy Biya’a bi Mvondo. Lahir pada 13 Februari 1933 di Mvomeka’a, French Cameroon, pria ini baru saja terpilih lagi sebagai Presiden Kamerun untuk masa jabatan ke-8 di usia 92 tahun. Ya, sembilan puluh dua. Di usia ketika banyak orang sudah bingung membedakan antara remote TV dan HP, Biya masih sibuk menandatangani dekret kenegaraan.

“Kalau di kita, pasti ramai nanya, orang itu apa sih amalannya? Kok kuat sekali.” 
“Dugaan saya, pasti suka ngopi tanpa gula, tu..” Ups, dan mari kita lanjutkan ceritanya, wak!


Ketua Dewan Konstitusional dengan suara bulat, dan mungkin tanpa keringat, mengumumkan hasil pemilu, “Dengan ini dinyatakan sebagai Presiden terpilih, kandidat Biya Paul.” Kalimat itu terdengar seperti pengumuman tahunan, seolah sudah disimpan di folder bernama Template Kemenangan Bapak Sejak 1982. Tinggal ganti tanggal, cetak, dan biarkan sejarah berulang seperti kaset yang macet di lagu yang sama.

Paul Biya bukan presiden biasa. Ia adalah presiden vintage, langka, dan tahan banting. Pernah menjabat sebagai Perdana Menteri sejak 30 Juni 1975 sebelum naik ke kursi presiden pada 6 November 1982. Sejak itu, tujuh paus sudah berganti, dua ratu Inggris sudah wafat, beberapa generasi rakyat Kamerun sudah tumbuh dari kaset ke Spotify, tapi Biya masih di sana, duduk tenang, mungkin sudah menyatu dengan kursinya.

Pendidikannya pun elit. Alumni National School of Administration dan Institute of Political Studies di Paris. Dua lembaga yang melahirkan birokrat cerdas, tapi hanya satu yang berhasil melahirkan presiden yang tak pernah pensiun. Sekarang ia menjadi pemimpin tertua dan terlama di Afrika, mungkin juga di dunia, kecuali ditemukan kura-kura yang diam-diam menjalankan republik bawah laut.

Dalam pemilu 12 Oktober 2025, Biya meraih 53,66% suara, mengalahkan Issa Tchiroma Bakary yang dapat 35,2%. Pemilu diwarnai protes, gas air mata, dan bentrokan. Namun hasilnya tetap, Biya menang. Di Kamerun, demokrasi bukan sistem politik, tapi genre film, dan filmnya selalu berjudul Biya Returns.

Dalam urusan cinta, Biya juga punya kisah panjang. Istri pertamanya, Jeanne-Irène Ndoumin, wafat tahun 1992. Dua tahun kemudian, ia menikahi Chantal Vigouroux, wanita dengan rambut ikonik yang bisa menyaingi gaya arsitektur modern. Mereka punya tiga anak, Franck, Brenda, dan satu lagi yang mungkin sedang disiapkan sebagai Presiden masa depan versi keluarga edition.

Sementara Biya menulis ulang sejarah panjangnya, dunia di luar sana tak kalah absurd. Raisa dan Hamish Daud, pasangan paling lembut di semesta hiburan, resmi berpisah pada 26 Oktober 2025. Dunia menunduk haru, netizen berduka, dan Biya mungkin ikut mendoakan, sambil berbisik, “Cinta manusia bisa retak, tapi cintaku pada kekuasaan tak pernah goyah.”

Masih di tanggal yang sama, Presiden Donald Trump bergoyang di Malaysia. Ia menari bersama penari tradisional di Bandara Internasional Kuala Lumpur. Ia membuktikan, diplomasi global kini bisa diselesaikan dengan pinggul dan irama. Dunia benar-benar gila, Raisa berpisah, Trump menari, dan Biya masih jadi presiden.

Dalam filsafat tua, Plato berkata pemimpin ideal adalah mereka yang mencintai kebajikan. Tapi Biya tampaknya mencintai kursinya. Selama 43 tahun, ia membuktikan, usia bukan alasan berhenti berkuasa, hanya angka tambahan di piagam penghargaan.

So, bila suatu hari ente merasa hidupmu jalan di tempat, ingatlah Paul Biya. Ia pria yang memimpin sejak dunia masih hitam putih dan kini masih aktif di era reels dan AI. Dunia boleh berubah, cinta boleh gagal, Trump boleh bergoyang, tapi Biya tetap presiden. Abadi. Teguh. Entah kenapa… tetap lucu.

Foto Ai hanya ilustrasi

Penulis : 
Ketua Satupena Kalbar

Redaksi

Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak