'); Akhirnya KPK Mengendus Ada Aroma Korupsi di Kereta Cepat Whoosh
WEKACE UPDATE
Loading...

Akhirnya KPK Mengendus Ada Aroma Korupsi di Kereta Cepat Whoosh

WEKACE, Ketika proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung pertama kali diumumkan, rakyat kecil bersorak. “Akhirnya, Indonesia punya kereta cepat!” Tapi mereka tidak tahu, yang cepat hanyalah laju bunganya, bukan perjalanan ke Bandung. Dengan kecepatan 350 km/jam, Whoosh melesat membelah Jawa Barat, tapi juga menembus hati nurani fiskal bangsa. Mari kita lindas, eh salah, ungkap kasus ini lagi sambil seruput kopi tanpa gula, wak!

Awalnya sederhana. Katanya cuma butuh US$5,13 miliar. Angka yang masih bisa ditelan akal sehat dan kopi pagi pejabat. Tapi seiring waktu, biaya itu melompat seperti kangguru, membengkak jadi US$6,33 miliar, lalu ada yang bilang US$7,2 miliar. Bahkan, Rp116 triliun kalau pakai kurs nasionalisme. Katanya bukan pakai APBN, tapi entah kenapa tiap kali bicara “utang”, aroma pajak rakyat langsung mampir di udara.


Kini, KPK akhirnya ikut mencium aromanya. Bukan aroma minyak pelumas rel, tapi aroma yang lebih tajam, dugaan korupsi. Lembaga antirasuah itu mengonfirmasi, sejak awal 2025, mereka sudah mulai penyelidikan kasus proyek Whoosh. Belum ada tersangka, belum ada nama yang diumumkan. Tapi, sinyalnya jelas. Ada yang sedang diselidiki di balik tumpukan besi dan tagihan.

Nama Luhut Binsar Pandjaitan, Ketua Komite Proyek Kereta Cepat, sempat melintas di radar publik. KPK menjawab dengan gaya khas, “Sedang ditelaah.” Artinya, jangan buru-buru, tapi jangan juga tenang-tenang. Sementara itu, Mahfud MD tampil seperti jagoan lama yang siap naik ring, “Saya siap dipanggil,” katanya tegas. Di negeri di mana banyak orang pura-pura lupa kalau pernah tanda tangan proyek, sikap Mahfud ini terdengar seperti deklarasi langka, jujur dan nekat di saat bersamaan.

Namun, sebelum KPK sempat membuka babak baru penyelidikan, dunia Whoosh sudah lebih dulu heboh dengan restrukturisasi utang. Pemerintah Indonesia dan Tiongkok sepakat memperpanjang tenor pembayaran menjadi 60 tahun. Ya, enam puluh tahun, setara dengan tiga generasi presiden, empat kali cicilan mobil, dan lima kali ganti menteri. Kalau dihitung, cicilan Whoosh akan selesai ketika bayi yang lahir hari ini sudah punya cucu yang bisa naik kereta tanpa tahu siapa yang membayarnya dulu.

Menurut Luhut, dengan tenor sepanjang itu, kewajiban tahunan bisa ditekan jadi sekitar Rp2 triliun per tahun. Sementara pemasukan proyek masih sekitar Rp1,5 triliun. Secara logika ekonomi, kita masih rugi, tapi rugi dengan lebih sopan. Tiongkok pun mengangguk bijak, mengatakan proyek ini jangan dilihat dari sisi untung-rugi, tapi manfaat sosial. Sebuah kalimat diplomatis yang biasanya berarti, “Ya sudahlah, yang penting tetap jalan.”

Di tengah semua itu, Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa tampil seperti cameo yang santai tapi tajam. Ketika ditanya soal restrukturisasi utang, ia menegaskan, “Kemenkeu tidak ikut campur.” Alasannya, yang berutang bukan kementeriannya. Biarlah yang tanda tangan yang mengurus. Ia hanya mengamati dari jauh, mungkin sambil menyesap kopi dan berkata pelan, “Semoga lancar cicilannya.” Tapi publik tentu tah, di negeri ini, APBN seperti orang tua yang sabar. Katanya tak mau ikut campur, tapi ujung-ujungnya selalu diminta uang tambahan.

KPK masih di sana, menunggu di tikungan rel, menatap panjang seperti detektif dalam film noir. Mereka mencium aroma, menelaah dokumen, menelusuri aliran dana, sambil rakyat menunggu, siapa yang akan tersandung di rel Whoosh ini? Apakah akan ada babak baru, atau semua berhenti di perlintasan politik?

Satu hal pasti, Indonesia kini punya kereta cepat yang luar biasa. Cepat di lintasan, lambat di pengembalian. Entah mengapa, setiap kali Whoosh lewat dengan suara mendesing, ada gema halus di udara, suara uang rakyat yang ikut meluncur... sampai 60 tahun ke depan.

Kereta melesat di lintasan baja,
Siapa sangka aromanya tajam menyengat,
Rakyat bersorak penuh bahagia,
Ternyata utangnya yang lebih cepat.

Foto Ai hanya ilustrasi

Penulis :
Rosadi Jamani

Redaksi

Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak