WEKACE, Makin ke sini, Purbaya Yudhi Sadewa tampak seperti satu-satunya menteri yang masih punya urat logika aktif. Setelah berbalas pantun dengan Luhut Binsar Panjaitan, KDM, dan DPR RI, kini giliran Hasan Nasbi. Tak ayal, Purbaya yang semakin banyak dicintai rakyat, justru semakin banyak dapat simpati. Simak narasinya sambil seruput kopi Senang asal Sorong sedikit gula aren, wak!
Hasan Nasbi pernah bernazar. Jika Anies Baswedan berhasil mendapatkan tiket sebagai calon presiden untuk Pemilu 2024, ia akan membelikan mobil Alphard kepada Sunny Tanuwidjaja. Tapi, udahlah, jangan diingat. Sekarang beliau menuding Purbaya terlalu cerewet di depan publik. Hasan, eks Kepala PCO, alias bekas juru komunikasi yang hobi menata kalimat tapi lupa menata nalar, minta Purbaya berhenti menyentil pejabat lain demi menjaga “soliditas pemerintah”.
Soliditas. Kata sakti yang sering dipakai untuk menutupi keretakan, seperti plester pada dinding yang nyaris roboh. Hasan tampak sangat mencintai kata itu, mungkin karena ia sudah lama tidak melihat kejujuran yang solid. Lewat kanal YouTube pribadinya, ia berkhutbah, “Kalau mau baku tikam, lakukan di ruang tertutup. Jangan di depan publik.”
Padahal Purbaya bukan baku tikam, ia baku data! Ia bicara bukan karena ingin trending, tapi karena disuruh Presiden Prabowo Subianto sendiri untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat. “Saya ini kepanjangan tangan dari bapak presiden. Jangan anggap saya koboi,” kata Purbaya, dengan tenang tapi tajam, seperti kalkulator yang sadar diri.
Namun bagi Hasan, bicara terbuka itu dosa komunikasi. Ia ingin semua pejabat berdebat di ruang tertutup, entah di ruang rapat ber-AC atau di gua tersembunyi tempat kebenaran dikubur hidup-hidup. Menurut Hasan, kritik di depan publik bisa “melemahkan citra pemerintah”. Betul, mungkin ia benar... jika citra itu palsu. Tapi kalau citra yang dimaksud adalah kredibilitas, maka justru kritik itulah yang membuatnya hidup.
Purbaya tidak sedang menyerang siapa pun. Ia hanya menyalakan lampu di jalan gelap yang selama ini diaspal oleh kata-kata manis dan laporan kinerja tanpa nyawa. Tapi, entah kenapa, lampu itu dianggap terlalu terang oleh mereka yang lebih nyaman hidup dalam bayangan “soliditas”.
Mari jujur, publik tidak peduli apakah pejabat berdebat di ruang terbuka atau tertutup. Yang penting, debatnya masuk akal. Lagi pula, kalau semua perdebatan dikunci dalam ruangan, lalu pemerintah tampil ke rakyat dengan wajah seragam dan senyum kloningan, itu bukan kekompakan, itu koreografi kebohongan.
Hasan menutup pernyataannya dengan nada guru bimbingan politik, “Soliditas pemerintah itu penting sekali. Konsolidasi kekuasaan itu penting sekali.” Tentu penting, Pak Hasan. Tapi kekuasaan yang terlalu terkonsolidasi tanpa koreksi bisa berubah jadi sarkasme kolektif. Bukankah sejarah sudah mengajarkan, diam demi kompak itu hanya membuat kapal tenggelam lebih rapi?
Purbaya, di sisi lain, tahu betul, rakyat bukan lagi penonton pasif. Mereka sudah pandai menghitung, tahu mana anggaran yang jalan, mana yang jalan-jalan. Maka ketika Purbaya bicara, data ikut bergemuruh, angka-angka menari seperti pasukan statistik yang lelah dibohongi. Ia tidak sedang bikin drama. Ia sedang memperbaiki dialog antara negara dan logika.
Sementara Hasan sibuk mengatur volume mikrofon opini, Purbaya justru sedang menulis ulang simfoni kepercayaan publik. Dan anehnya, justru Hasan yang terdengar fals.
Kalau ada yang pantas dijuluki koboi, itu bukan Purbaya, tapi Hasan, koboi pikiran yang menembak siapa saja yang berani bicara terang. Sedangkan Purbaya, ia tetap melangkah di tengah badai komentar, membawa satu keyakinan sederhana, kejujuran tidak pernah melemahkan pemerintah. Yang melemahkannya adalah mereka yang takut mendengar kebenaran.
Foto Ai hanya ilustrasi
Penulis :
Ketua Satupena Kalbar