WEKACE, Pendukung garis keras Jokowi ini bisa dikatakan orang terkebal di negeri ini. Kejagung yang dibiayai APBN 18,4 triliun sampai sekarang belum mampu menangkap manusia ini. Kali ini, lembaga yang baru nyerahkan uang sitaan hasil korupsi 13,2 triliun ke Menkeu Purbaya, kembali mengeluarkan alasan, belum bisa menangkapnya. Mari kita lindas, eh salah, kupas seribu alasan pasukan ST Burhanuddin ini sambil seruput kopi tanpa gula, wak!
Sudah berapa kali Kejagung bicara soal Silfester Matutina? Entahlah, mungkin sudah setara jumlah episode sinetron Ikatan Cinta. Tapi bedanya, kalau sinetron ada ending, yang ini nggak bakal tamat-tamat. Hari ini, Kejagung lagi-lagi muncul dengan alasan baru, “kami masih mencari keberadaannya.” Padahal, kata pengacaranya, Silfester ada di Jakarta. Di Jakarta, bos! Bukan di planet Mars, bukan juga di gua Himalaya tempat Batman bertapa.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Anang Supriatna, dengan nada penuh wibawa menyatakan, “Tim eksekutor sedang berusaha mencari yang bersangkutan.” Ah, kalimat ini sudah pantas jadi kutipan motivasi di kalender dinding. “Berusahalah, meski enam tahun tak ketemu juga.”
Silfester ini memang bukan orang biasa. Divonis bersalah tahun 2019 karena menyebarkan fitnah terhadap Jusuf Kalla, putusannya sudah inkrah, tapi eksekusinya belum juga dilakukan. Artinya, dia bukan cuma kebal hukum, dia sudah naik level jadi legenda hukum. Koruptor triliunan aja bisa diborgol sambil difoto ramai-ramai. Tapi, si pengacara yang mau duel dengan Rocky Gerung itu, entah kenapa, bisa bebas wara-wiri seperti angin.
Kejagung katanya punya ribuan jaksa, jaringan intel, dan anggaran triliunan rupiah. Tapi buat nemuin satu orang yang katanya “ada di Jakarta”, mereka malah kayak main petak umpet nasional. Mungkin Silfester ini ninja, bisa smoke bomb tiap ada jaksa lewat. Atau jangan-jangan dia punya jubah invisibility cloak pinjaman dari Harry Potter?
Lucunya, pengacaranya, Lechumanan, bilang kasus ini sudah kedaluwarsa. So, karena waktunya lewat, hukum otomatis batal. Wah, ini keren. Ternyata hukum di Indonesia bisa basi kayak roti. Tinggal tunggu tanggal kedaluwarsa, selesai urusan. Kalau begitu, mungkin nanti para napi korupsi bisa bilang, “Pak jaksa, saya kabur dulu lima tahun ya, nanti balik pas hukum saya udah expired.” Suek benar dah..!
Tapi Kejagung menegaskan, “Upaya hukum PK tidak menunda eksekusi.” Lah, kalau gitu kenapa belum dieksekusi juga? Oh, katanya belum bisa, karena “lokasinya belum diketahui secara definitif.” Definif apanya? Jakarta itu luas sih, tapi masa se-luas-luasnya ibu kota, satupun jaksa nggak bisa nemuin satu orang yang doyan bikin konferensi pers?
Yang lebih lucu lagi, Silfester belum juga ditetapkan sebagai DPO. Alasannya, “penetapan DPO diserahkan ke Kejari Jakarta Selatan.” Selalu ada alasan untuk ngeles. Hukum kita ini kayak main bola oper-operan. Kejagung lempar ke Kejari, Kejari lempar ke Polri, Polri nunggu sinyal dari langit. Sementara Silfester santai ngopi sambil ngetik status, “Negeri ini adil kok, asal kamu tahu jalannya.”
Kejagung bilang mereka “sudah mengambil langkah-langkah hukum.” Tapi entah langkahnya ke mana. Jangan-jangan langkah itu ke ruang rapat, terus ke ruang makan, lalu ke ruang tunggu waktu.
Padahal publik cuma mau lihat satu hal sederhana, keadilan dijalankan. Sayangnya, di negeri ini, hukum punya dua gigi. Satu tajam untuk rakyat kecil yang jualan tanpa izin, satu lagi tumpul untuk tokoh yang punya teman-teman besar.
Kalau Silfester masih belum juga ditangkap, jangan-jangan nanti Kejagung bakal bikin konferensi pers baru, “Tim masih mencari dengan penuh dedikasi dan cinta. Tapi, kami belum bisa menemukan karena Silfester sedang tidak ingin ditemukan.”
Hukum pun tersenyum malu, sambil meneguk kopi pahit dari gelas retak, pahit, tapi sudah biasa.
Foto Ai, hanya ilustrasi.
Editor :
Ketua Satupena Kalbar
Tags
SOSOK