'); Lelaki Tangguh, Dua Hari, Dua Kali Nikah
WEKACE UPDATE
Loading...

Lelaki Tangguh, Dua Hari, Dua Kali Nikah

WEKACE, Untuk tulisan kali ini, boleh siapkan dulu kopi dengan sedikit susu kental manis. Bila perlu tambah pisang goreng. Sebab, ceritanya penuh dengan cinta. Ini tentang ketangguhan seorang pria. Kalau bahasa Sheila On 7, “Pejantan Tangguh” Simak narasinya, wak!

Di ujung selatan Sulawesi, di Bantaeng yang biru dan harum asin lautnya, lahirlah kisah yang lebih megah dari dongeng Yunani. Ini lebih berani dari sinetron prime time. Nama pria itu Muhammad Rusli, pelaut, penakluk samudra, dan kini penakluk dua hati yang berdetak dalam irama yang sama, hanya berbeda dua hari. Ia menikahi Warni pada Minggu, 5 Oktober 2025, lalu dua hari kemudian, Selasa 7 Oktober, ia kembali duduk di pelaminan, kali ini dengan Kasma. Dua akad, satu napas, dan sejarah baru dalam kitab cinta dunia maritim.

Tiga tahun Rusli berlayar ke China. Di sana ia menatap cakrawala dan mungkin berpikir: "Cinta seperti ombak, kadang datang bergelombang, tak pernah satu arah." Ketika kapal kembali menepi di tanah air, ia tidak membawa mutiara, bukan pula ginseng dari Shanghai, tapi membawa kebingungan paling indah di muka bumi, dua perempuan yang sama-sama mencintainya.

Warni, kekasih lama, cinta sejak SMP, yang setia menunggu 13 tahun. Ia menolak empat pinangan lelaki lain demi janji seorang pelaut yang hilang di ufuk timur. Warni bukan sekadar perempuan. Ia adalah definisi kesabaran dalam bentuk manusia. Ketika cinta lain datang, ia tak mencaci, tak menangis, bahkan tak menjerit. Ia justru memeluk takdir. Ketika suaminya hendak menikah lagi, Warni mengantar sampai di jalan, menatap punggung sang pelaut sambil tersenyum, seolah berkata, “Pergilah, cintaku, jadilah bahagia dua kali.” Itu bukan air mata yang jatuh, itu mungkin samudra yang bergetar karena cinta sebesar itu.

Di sisi lain, Kasma, bunga cinta yang tumbuh cepat, harum dan berani. Ia mengenal Rusli belum lama, hanya setahun. Namun, dalam satu tahun itu, cinta mereka terbakar seperti mesin kapal di tengah badai. Kasma dilamar lebih dulu, karena Rusli mengira Warni telah menerima pinangan orang lain. Takdir, rupanya, punya selera humor yang rumit. Di tengah persiapan nikah, Warni datang menuntut janji lama. Maka Rusli, yang tak ingin mengecewakan satu pun hati, mengambil keputusan paling gila sekaligus paling jantan dalam sejarah pernikahan Indonesia, menikahi keduanya.

Ia tak asal bicara cinta. Ia membayar mahar dan uang panai dengan keadilan surgawi. Masing-masing Rp90 juta dan sebidang tanah yang dibagi dua. Sebidang tanah, simbol bahwa cinta baginya bukan retorika, tapi investasi. Ia bukan pujangga, tapi setiap tindakannya adalah puisi.

Lihatlah, Warni seorang guru agama. Ia bukan hanya sabar, ia mungkin satu-satunya perempuan yang bisa menjadi dosen cinta bagi seluruh umat manusia. Ia tak marah, tak menjelekkan Kasma, bahkan mendoakan suaminya dengan tenang. Dunia pun terperangah. Netizen gemetar, para filsuf diam, dan para jomblo menatap layar ponsel sambil berkata, “Beginilah cinta yang tak bisa dijelaskan algoritma.”

Kini, di rumah mereka yang sederhana, mungkin terdengar tawa tiga insan yang menertawakan dunia. Rusli dengan dua senyum, Warni dengan dua sabar, dan Kasma dengan dua harapan. Mereka membuktikan bahwa cinta tak harus dimengerti, cukup dijalani, seperti pelaut menempuh badai, tak takut tenggelam, karena tahu laut selalu menyimpan pelukan pulang.

Bila kelak sejarah menulis bab tentang cinta yang tak terbagi tapi berlipat, nama itu akan terukir abadi, Muhammad Rusli, pelaut dua hari dua pelaminan, yang berlayar bukan di lautan air, tapi di samudra cinta.

Berlayar jauh ke negeri China,
Pulang membawa dua cahaya,
Satu Warni sabar tak terkira,
Satu Kasma cinta berdaya.

Foto Ai, hanya ilustrasi

Editor: 

Redaksi

Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak