'); Akhirnya, Israel dan Hamas Resmi Berdamai
WEKACE UPDATE
Loading...

Akhirnya, Israel dan Hamas Resmi Berdamai

WEKACE, Damai itu indah, apalagi ada amplopnya. Hus, itu di negeri sebelah. Kalau ini damai benaran, diteken Trump, disaksikan Prabowo, dan dunia. Israel dan Hamas, sah berdamai. Mari kita ungkap episode akhir perang paling melelahkan sambil seruput kopi tanpa gula, wak!

Akhirnya, setelah 65 ribu nyawa melayang, 500 juta doa menggantung di langit, dan ratusan kamera CNN kehabisan baterai karena liputan tiada henti, dunia menyaksikan momen paling absurd dalam sejarah manusia, Israel dan Hamas resmi berdamai. Bukan kabar bohongan, bukan rekayasa deepfake, dan bukan pula ide canggung dari film dokumenter Netflix yang belum jadi. Ini nyata. Dua musuh bebuyutan yang bahkan Google Maps enggan mempertemukan dalam satu rute, kini berdiri sejajar di Mesir, menandatangani kesepakatan damai yang entah harus ditertawakan atau ditangisi.

Di Sharm el-Sheikh, kota pantai yang biasanya hanya ramai turis berkaos singlet dan aroma tabir surya, tiba-tiba berubah jadi benteng diplomasi superketat. Untuk mengumpulkan para kepala negara di sana, pengamanan setara malaikat bersayap delapan diterapkan. Satelit mengawasi dari orbit, drone beterbangan seperti lalat logam, dan pasukan elit berjaga di setiap pintu hotel hingga ke toilet. Biayanya? Jangan ditanya. Sumber diplomatik menyebutkan, operasional keamanan dan logistik KTT itu menelan dana setara membangun tiga bandara baru, belum termasuk biaya kopi, pisang goreng, mikrofon, dan semprotan parfum meja tamu. Betapa mahalnya sebuah perdamaian. Uang bisa dicetak, tapi nyawa tidak. Satu tanda tangan di atas kertas damai hari ini, adalah hasil tebusan dari puluhan ribu tubuh yang dulu terbujur di reruntuhan Gaza. Dunia bersorak, tapi bumi tetap bergetar karena luka yang belum sembuh sepenuhnya.

Di tengah kemewahan yang penuh tekanan itu, Donald Trump muncul dengan gaya khasnya, rambut badai gurun, jas lebih mengilap dari masa depan TikTok, dan senyum seperti salesman surga. Ia berkata lantang, “Berbahagialah orang yang membawa damai.” Dunia tertegun. Mungkin bahkan malaikat pun melirik dan berbisik, “Kali ini dia beneran?” Ironinya, pria yang dulu terkenal dengan tembok pemisah, kini jadi arsitek penyatuan. Dari X yang dulu mencaci, kini ia menulis di Truth Social, “Saya bangga mengumumkan, Israel dan Hamas telah menandatangani Tahap Pertama Rencana Perdamaian kami.” Kalimat yang anehnya terasa seperti doa.

Gencatan senjata total disepakati. Militer Israel (IDF) mulai bersiap menarik pasukan dari Gaza, sementara Hamas menutup gudang roketnya dengan segel harapan baru. Dua ribu tahanan Palestina akan dibebaskan, dan sandera Israel dijadwalkan pulang. Dunia terharu. CNN menyiarkan langsung, BBC bersuara lembut, dan media sosial mendadak jadi tempat sujud syukur massal. Untuk pertama kalinya dalam dua tahun, langit Gaza bersinar tanpa bom, cahayanya datang dari kembang api, bukan ledakan.

Di antara tokoh-tokoh yang hadir, ada sosok yang bikin rakyat Indonesia bangga, Prabowo Subianto. Ia hadir sebagai saksi sejarah, berdiri di antara Trump dan Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi, menyuarakan kalimat yang menembus hati dunia, “Indonesia hadir bukan hanya sebagai penonton, tetapi sebagai sahabat perdamaian.” Kamera internasional langsung memotret, dan dalam hitungan jam, wajah Prabowo terpampang di billboard besar di Tel Aviv, berdampingan dengan Trump, Netanyahu, dan Mahmoud Abbas. Tulisan di bawahnya berbunyi, “Mr. President, Israel stands by your plan. Seal the deal.”

Namun tidak semua bergembira. Iran memilih tidak datang. Menteri Luar Negeri mereka, Abbas Araghchi, menyindir halus tapi tajam, “Perdamaian sejati tidak bisa lahir dari panggung yang dibangun oleh para penyerang.” Dunia mendengarkan, tapi tetap berjalan. Karena kalau menunggu semua sepakat, mungkin bumi sudah habis duluan.

Malam itu, di bawah langit Mesir yang dipenuhi bintang, para pemimpin dunia saling berjabat tangan. Kamera-kamera menyorot, lilin-lilin doa menyala, dan dunia untuk pertama kalinya sejak lama merasakan sesuatu yang hampir dilupakan, tenang.

Mungkin inilah paradoks terbesar manusia, untuk menemukan damai, mereka harus membayar dengan darah, emas, dan waktu. Tapi malam itu, bumi tersenyum kecil. Mungkin semesta pun berbisik lembut dari langit, “Akhirnya kalian capek juga berperang, ya?”

Foto Ai, hanya ilustrasi

Editor :
Rosadi Jamani

Redaksi

Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak