'); Siswa Merokok Ditampar, Kepsek Ini Dilaporkan ke Polisi dan Didemo
WEKACE UPDATE
Loading...

Siswa Merokok Ditampar, Kepsek Ini Dilaporkan ke Polisi dan Didemo

WEKACE, Apa yang terjadi bila guru cuek. "Ah, bukan anak aku, biarkan saja." Ketika guru ingin mendisiplinkan siswa agar jangan merokok, ditampar karena saking bandelnya, apa yang terjadi? Ia dilaporkan ke polisi, lalu didemo siswanya sendiri. Inilah nasib Kepsek di Lebak. Mari kita ungkap peristiwa perih di dunia pendidikan sambil seruput kopi tanpa gula, wak!

Pagi itu, udara di Lebak mestinya wangi dedaunan basah. Tapi yang mengambang bukan embun, melainkan asap rokok dari jari remaja berseragam abu-abu. Di sudut halaman sekolah, di antara sapu lidi dan pot bunga plastik, seorang siswa kelas XII meniupkan kepulan kecil pemberontakan. Asap itu naik pelan, menulis kalimat yang tak tertulis di langit sekolah, “Aku bebas.”

nLalu, seperti petir menyambar dari langit moral yang penat, datanglah kepala sekolah, Dini Fitria, langkahnya cepat, wajahnya tegang, mata yang sudah bosan melihat generasi menari di atas aturan. “Kamu merokok?” tanyanya dengan nada separuh getir, separuh percaya. Sang siswa menjawab dengan senyum tipis, senyum yang lebih tajam dari silet di kantin. Ia nbilang, “Tidak, Bu.” Padahal abu masih menempel di jarinya.

Detik itu, logika dan emosi saling bertarung di dada sang pendidik. Dari peperangan batin itulah, lahir satu tamparan, bukan dari kebencian, tapi dari rasa putus asa yang terlalu lama disimpan. Plaak! Bunyi itu menggetarkan lebih dari sekadar pipi, ia menampar nurani bangsa yang sudah lama beku.

Tapi di zaman sekarang, suara tamparan bisa lebih mematikan dari suara pistol. Dalam hitungan jam, kabar itu menembus WhatsApp wali murid, merayap ke media sosial, dan membuncah jadi badai. Judul-judul berita menari-nari, “Kepsek Tampar Siswa, Dilaporkan ke Polisi!” Sementara di layar ponsel, publik berubah jadi hakim tanpa toga, menulis kutukan dengan jari yang tak pernah tahu apa rasanya menjaga 600 anak yang suka melawan.

Dini Fitria duduk di ruang kerjanya, terdiam di antara map dan laporan kegiatan. Ia bukan sedang menyesali tamparan itu, tapi sedang bertanya pada dirinya sendiri, apakah mendidik anak negeri kini harus tanpa sentuhan, tanpa teguran, tanpa emosi? Ia sudah mengajar dua puluh tahun, tapi baru kali ini sebuah tamparan terasa seperti vonis penjara.

Di sisi lain, sang siswa, ILP menjadi legenda lokal. Pipinya yang memerah mendadak jadi simbol perjuangan remaja modern, melawan otoritas, menuntut keadilan, bahkan jika kesalahan ada di dirinya sendiri. Ia mengaku ditampar dan ditendang, lalu melapor ke polisi bersama ayahnya. Dunia bersimpati. Polisi datang. Media berduyun-duyun. Di depan sekolah, spanduk besar terbentang, “Kami tak mau belajar sebelum kepala sekolah lengser!”

Ironis. 630 siswa mogok sekolah demi membela seorang perokok. Di negeri di mana buku sudah jarang dibuka, perlawanan justru dibangun dari asap rokok dan amarah remaja.

Lalu siapa yang salah? Kepala sekolah yang kehilangan sabar setelah ribuan kali menegur tanpa hasil? Ataukah murid yang merasa pipinya lebih suci dari tanggung jawabnya sebagai pelajar? Atau mungkin kita semua, bangsa yang sibuk membicarakan pendidikan, tapi melupakan maknanya?

Tamparan itu kini berubah jadi simbol zaman. Zaman di mana moral digugat, dan akal sehat dikriminalisasi. Satu tamparan kecil jadi badai besar karena kamera sempat merekam dan internet tak pernah lupa.

Di Lebak, di sebuah sekolah yang kini dijaga wartawan dan polisi, seorang guru berdiri menatap langit sore. Ia tahu, bukan siswa itu yang paling perlu dididik, tapi seluruh masyarakat yang memuja kebebasan, tapi menolak tanggung jawab.

Mungkin, tragedi sejati dari pendidikan kita bukanlah tamparan di pipi murid, tapi tamparan yang lebih halus, pada akal sehat yang sudah lama tertidur di meja guru.

Foto Ai, hanya ilustrasi

Penulis :

Redaksi

Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak