'); Lencana Palsu: Ketika Ambisi Mengalahkan Cinta Sejati
WEKACE UPDATE
Loading...

Lencana Palsu: Ketika Ambisi Mengalahkan Cinta Sejati



WEKACE, Langit Jakarta menjadi saksi bisu persiapan pernikahan mewah yang tinggal menghitung hari. Reza, seorang arsitek sukses dengan masa depan cerah, telah menyiapkan segalanya untuk menyambut Karina, tunangannya, ke dalam kehidupan yang sempurna. Namun, di tengah gemerlap persiapan, sebuah retakan tipis mulai muncul, mengusik ketenangan hatinya. Karina, yang seharusnya diselimuti antusiasme menjelang hari bahagia, tiba-tiba menunjukkan perubahan sikap, menyimpan jarak emosional yang terasa dingin dan nyata.

Bab 1: Hitungan Mundur Menjelang Bahagia

Langit Jakarta pagi itu masih terselimut kabut tipis ketika Reza menatap layar komputernya dengan mata yang mulai perih. Tujuh hari lagi. Hanya tujuh hari sebelum dia resmi menjadi suami dari Karina, wanita yang telah mengisi tiga tahun terakhir hidupnya dengan warna-warni harapan.

Sebagai arsitek muda yang tengah naik daun, Reza telah mempersiapkan segalanya dengan sempurna. Gedung pernikahan mewah di pusat kota sudah terbayar lunas, souvenir dari kayu premium telah dikemas rapi, bahkan desain interior rumah baru mereka sudah hampir rampung—tinggal menunggu untuk diisi dengan kehangatan keluarga kecil mereka.

"Za, ini rincian terakhir dari pihak katering. Mau dicek sekali lagi?" suara Nindi, asistennya, terdengar melalui interkom.

"Taruh saja di meja, Nin. Aku percaya padamu. Aku mau segera pulang, Karina pasti sudah menunggu," jawab Reza sambil merapikan dokumen-dokumen di mejanya.

Namun, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Dua minggu terakhir, Karina berubah. Wanita yang biasanya antusias membahas setiap detail pernikahan kini lebih sering membalas pesannya dengan emoji singkat atau bahkan tidak membalas sama sekali. Jarak emosional yang tipis namun terasa nyata mulai terbentang di antara mereka.

Bab 2: Kemunculan Sang Mayor

Perubahan drastis itu bermula dua hari lalu, saat makan malam keluarga besar di sebuah restoran fine dining di Jakarta Selatan. Malam itu seharusnya menjadi malam penuh kehangatan, di mana kedua keluarga semakin akrab menjelang pernikahan.

Namun, suasana berubah ketika pintu restoran terbuka dan masuklah seorang pria paruh baya dengan aura yang berbeda. Rambut di pelipis sudah mulai memutih, namun postur tubuhnya masih tegap. Yang paling mencolok adalah seragam dinas kepolisian yang dikenakannya—bersih, rapi, dengan lencana yang berkilauan di bawah lampu restoran.

"Selamat malam, Bapak-Ibu. Maaf terlambat, ada urusan mendadak," sapa pria itu dengan suara berat dan penuh wibawa.

Paman jauh Karina memperkenalkannya sebagai Mayor Haris Darmawan, seorang perwira polisi yang memiliki koneksi luas dan posisi terhormat. Sejak saat itu, perhatian Karina sepenuhnya teralih.

Haris mulai bercerita tentang pengalamannya di kepolisian, koneksi-koneksi pentingnya, rumah dinas yang luas, dan kehormatan yang melekat pada profesinya. Mata Karina berbinar—bukan pada Haris sebagai manusia, melainkan pada status yang dia wakili.

"Za, dengar deh, keren banget kan ceritanya? Hidupnya terjamin, statusnya jelas, dihormati semua orang," bisik Karina dengan nada kagum yang tidak pernah dia tunjukkan saat membicarakan pencapaian Reza.

Reza mencoba menggenggam tangan Karina di bawah meja, namun tangan itu ditarik lembut. Hatinya mencelos, namun dia berusaha berpikir positif. Mungkin Karina hanya terpesona sesaat.

Bab 3: Retakan yang Melebar

Hari-hari berikutnya, retakan itu semakin melebar. Karina membatalkan janji fitting gaun pengantin dengan alasan sakit kepala. Dia menolak menemani Reza bertemu pastor untuk konseling pranikah, beralasan ada urusan mendadak dengan ibunya. Ponselnya selalu dalam genggaman, disembunyikan setiap kali Reza mendekat.

Di kantor, Nindi—asisten yang sudah seperti adik sendiri bagi Reza—masuk dengan wajah cemas.

"Za, maaf ya... aku nggak sengaja dengar Karina menelepon ke kantor beberapa kali. Dia menanyakan apakah kamu ada di kantor dan sedang sibuk. Tadi aku dengar dia bilang, 'Iya, Mayor. Reza sedang sibuk di kantor. Dia tidak akan curiga.'"

Kata-kata itu bagaikan palu godam yang menghantam ulu hati Reza. Kecurigaan yang samar kini berubah menjadi keyakinan yang menyakitkan.

Malam itu, Reza pulang ke apartemen dengan hati berat. Dia menemukan Karina berdandan cantik di depan cermin, mengenakan gaun yang biasanya dia pakai untuk acara penting.

"Mau ke mana, sayang?" tanya Reza, berusaha tenang.

"Aku... ada janji dengan teman lama. Reuni mendadak. Kamu nggak perlu ikut," jawab Karina, menghindari tatapan Reza.

"Reuni mendadak? Dua hari sebelum pernikahan kita? Dengan siapa?"

Karina membeku. "Apa maksudmu?"

"Aku tahu segalanya, Karina. Aku tahu kamu sibuk mengagumi lencana emasnya sementara aku sibuk membangun fondasi untuk masa depan kita."

Bab 4: Pengakuan yang Menghancurkan

Karina berbalik, wajahnya memerah—bukan karena malu, melainkan karena amarah.

"Kamu tidak mengerti, Za! Aku sudah lelah dengan ketidakpastian. Kamu mungkin sukses, tapi kamu hanya seorang pengusaha, penyedia jasa di mata masyarakat. Haris... dia adalah kekuatan. Dia adalah kehormatan. Aku tidak perlu membayar untuk dihormati!"

Reza merasakan dadanya sesak. "Jadi kehormatanmu semurah itu? Harus dibeli dengan seragam orang lain?"

Karina meraih tasnya. "Aku harus pergi. Kita bicara besok. Jangan buat drama, Reza."

"Drama sudah dimulai, Karina. Dan kamu adalah pemeran utamanya. Pergilah, temui kehormatanmu itu. Dan pikirkan baik-baik, apakah label itu sepadan dengan tiga tahun hidup yang kamu buang begitu saja?"

Karina pergi, meninggalkan Reza berdiri sendirian di tengah apartemen yang dipenuhi puing-puing persiapan pernikahan. Kotak-kotak souvenir, daftar tamu yang dicoret-coret, dan moodboard pelaminan kini terasa seperti reruntuhan mimpi yang hancur.

Bab 5: Pembatalan di Ambang Altar

Keesokan paginya, Karina pulang dengan wajah keras dan tekad yang sudah bulat.

"Aku tidak akan berlama-lama, Reza. Keputusanku sudah bulat," katanya dingin.

Reza duduk tenang di sofa, di hadapannya tersusun tiga benda: cincin tunangan Karina, kunci mobil pemberian Reza, dan amplop berisi uang muka katering.

"Keputusan apa yang perlu aku dengar dari mulutmu sendiri?" tanya Reza pelan.

"Haris memberiku kepastian yang tidak bisa kamu berikan. Gaji negara, rumah dinas, pensiun terjamin, dan yang paling penting—kehormatan. Ketika aku bersamanya, aku tidak perlu menjelaskan siapa diriku. Lencana emasnya sudah berbicara."

Reza tertawa pahit. "Kamu pikir kehormatan itu adalah label yang ditempelkan di seragam? Kehormatan adalah integritas, menjaga janji, menjadi manusia. Kamu telah kehilangan kehormatanmu sendiri saat memilih status di atas kesetiaan."

Karina melemparkan cincin itu kembali ke meja. "Aku membatalkan pernikahan kita. Batalkan semuanya. Aku akan mengganti semua biaya yang kamu keluarkan."

"Ambil saja uangnya, Karina. Anggap itu harga dirimu yang tersisa. Tapi jangan pernah berpikir kamu bisa membeli kembali kehormatan dengan uang."

Karina keluar tanpa menoleh lagi. Pintu tertutup dengan klik yang mematikan—menandakan akhir dari segalanya.

Bab 6: Kebangkitan dari Reruntuhan

Minggu pertama setelah pembatalan adalah neraka yang dingin. Reza menghabiskan hari-harinya tidur di sofa kantor, bersembunyi di balik tumpukan blueprint. Rasa malu sosial lebih menyakitkan daripada patah hati itu sendiri.

Namun, kehidupan memberinya jalan keluar melalui Dinda—rekan kerja lama yang kini menjadi konsultan lepas. Dinda menawarkan proyek rumah sakit di Cilandak, sebuah pekerjaan yang rumit dan membutuhkan fokus penuh.

"Za, kamu harus ingat—kamu adalah seorang kreator. Kamu tidak membangun dari seragam orang lain. Kamu membangun dari idemu sendiri. Itu jauh lebih permanen daripada lencana apapun," kata Dinda saat pertemuan pertama mereka.

Sejak itu, Dinda menjadi jangkar bagi Reza. Mereka menghabiskan waktu berjam-jam membahas denah dan elevasi, perlahan menggantikan ruang kosong yang ditinggalkan Karina. Dinda tidak pernah memaksa, tidak pernah menuntut. Dia hanya ada—memberikan dukungan, kehangatan, dan yang terpenting, kejujuran.

Bab 7: Kecurigaan yang Terkonfirmasi

Tiga minggu setelah pembatalan, Reza melihat foto di Instagram. Karina sudah bertunangan dengan Mayor Haris. Foto-foto menunjukkan kemewahan yang mencolok—cincin berlian besar, pesta mewah, dan Haris yang selalu tampil dengan seragam kebanggaannya.

Namun, ada komentar aneh yang sempat muncul sebelum dihapus: "Mayor Haris terlihat makin muda ya. Bukankah tahun lalu beliau masih di Kalimantan?"

Reza mulai mencari informasi. Seorang mayor seharusnya memiliki jejak digital yang jelas. Namun, tentang Haris Darmawan? Hampir tidak ada apa-apa.

Suatu hari, Pak Herman—insinyur senior yang Reza kenal—memberikan informasi mengejutkan.

"Za, aku punya kenalan di Mabes. Aku pernah tanya tentang Mayor Haris Darmawan. Temanku bilang, ada beberapa perwira dengan nama itu, tapi tidak ada yang cocok dengan deskripsi Mayor Haris yang sering muncul di sosial media. Haris yang asli sudah pensiun dan hidup di luar kota. Yang ini... seperti bayangan."

Reza memutuskan untuk menyewa detektif swasta. Hasil penyelidikan tiba tiga hari kemudian, mengkonfirmasi kecurigaan terburuknya:

Haris Darmawan, 55 tahun, tidak terdaftar sebagai perwira di Mabes. Pernah bekerja sebagai petugas keamanan bank, dipecat karena penggelapan. Seragam dan atribut dibeli dari toko perlengkapan militer palsu. Rumah dinas yang dipamerkan adalah rumah sewa.

Mayor Haris adalah polisi gadungan—seorang penipu ulung.

Bab 8: Undangan ke Panggung Sandiwara

Beberapa hari kemudian, Reza menerima telepon dari Karina.

"Reza, aku menelepon untuk mengundangmu ke pernikahan kami. Haris ingin aku mengundang semua yang pernah meragukanku. Kami akan menikah dua minggu lagi di Grand Ballroom Adistana. Aku harap kamu datang dan melihat sendiri betapa indahnya kehormatan ini."

Undangan itu bukan tanda perdamaian—itu adalah deklarasi kemenangan.

"Aku akan datang, Karina. Aku akan melihat apakah kehormatanmu itu benar-benar murni atau hanya coating emas yang mudah luntur," jawab Reza tenang.

Dia memutuskan untuk tidak memberitahu Karina tentang laporan detektif. Biarkan drama ini terungkap dengan sendirinya. Dia akan hadir bukan sebagai mantan kekasih yang patah hati, melainkan sebagai saksi yang telah sembuh.

Bab 9: Hari Akad yang Kacau

Grand Ballroom Adistana hari itu terlihat megah. Dekorasi bunga impor, karpet merah, dan ratusan tamu berbusana rapi memadati ruangan. Reza dan Dinda datang bersama, duduk di barisan belakang.

Karina terlihat seperti putri dalam dongeng—gaun pengantin mewah, mahkota berkilau, riasan sempurna. Haris berdiri gagah di sampingnya dengan seragam yang terlalu bersih, terlalu sempurna.

Upacara akad dimulai. Penghulu membacakan ijab kabul. Suasana hening.

"Saya terima nikahnya dan kawinnya Karina binti—"

GEDEBRAK!

Pintu ballroom terbuka keras. Empat pria berjas masuk dengan langkah cepat—dua di antaranya mengenakan seragam polisi asli yang terlihat usang dan jauh lebih meyakinkan daripada seragam Haris.

Semua mata menoleh. Karina bangkit panik. Haris yang awalnya duduk tegar tiba-tiba pucat pasi.

Seorang Kompol dengan wajah tegas mendekati Haris. "Saudara Herman alias Haris Darmawan?"

Haris tidak menjawab.

"Anda ditangkap atas tuduhan penipuan, pemalsuan identitas, dan penggunaan atribut kepolisian secara ilegal."

Bab 10: Kehormatan yang Runtuh

"TIDAK! Kalian salah! Dia adalah Mayor Haris Darmawan! Calon suamiku!" jerit Karina.

Kompol itu menoleh dingin. "Maaf, Nona. Pria ini adalah penipu kelas kakap. Nama aslinya Herman. Dia bukan mayor. Dia mantan petugas keamanan bank yang dipecat. Kami sudah lama mengincarnya. Berkat laporan anonim, kami tahu dia akan beraksi di sini."

Suasana ricuh. Tamu-tamu mulai berbisik-bisik, sebagian meninggalkan ruangan dengan wajah malu.

Herman mencoba melarikan diri, namun dua polisi meringkusnya. "Karina, jangan dengarkan mereka! Aku akan kembali! Aku mencintaimu!" teriaknya putus asa.

Karina jatuh terduduk di lantai. Gaun pengantinnya yang mewah kini terlihat seperti kostum sandiwara yang gagal. Air matanya mengalir, merusak riasan tebal yang tadinya sempurna.

Reza dan Dinda berdiri, menyaksikan dari kejauhan. Reza tidak merasakan kemenangan—hanya rasa kasihan yang dalam. Karina mendapatkan statusnya, tapi ternyata status itu adalah status seorang penipu.

Bab 11: Penyesalan yang Terlambat

Karina bangkit dengan langkah gontai, mendekati Reza.

"Reza... aku tidak tahu. Aku benar-benar tidak tahu. Dia bilang dia terhormat. Dia bilang dia akan memberiku kehidupan yang tidak bisa kamu berikan..."

"Aku sudah tahu sejak lama, Karina," jawab Reza tenang. "Aku punya laporannya. Tapi aku tidak memberitahumu. Kenapa? Karena kamu memilih untuk dibutakan oleh kilau label status. Aku harus menghormati pilihanmu itu."

"Kenapa kamu membiarkanku melakukan kesalahan ini?!"

"Kehormatan adalah pilihan, Karina. Itu bukan hadiah dari seragam orang lain. Aku tidak bisa memilih untukmu. Aku hanya bisa memberimu cinta yang tulus dan kepastian yang nyata. Tapi kamu menganggapnya biasa dan tidak terhormat."

Reza melirik Dinda, yang menatapnya dengan penuh cinta.

"Aku telah menemukan kehormatan sejati—kehormatan yang tidak dibeli dengan lencana, melainkan dibangun dengan kejujuran dan ketenangan. Dan aku menemukannya dalam kesederhanaan."

Reza menggenggam tangan Dinda. "Ayo, sayang. Kita pergi. Kita punya kehidupan yang harus dibangun."

Mereka melangkah keluar, meninggalkan tangisan Karina yang memilukan di belakang mereka.

Epilog: Kehormatan Sejati

Satu tahun kemudian, di sebuah kapel kecil yang dikelilingi taman bunga sederhana, Reza dan Dinda mengucap janji suci. Tidak ada grand ballroom mewah, tidak ada ratusan tamu penting—hanya keluarga terdekat dan teman sejati.

Dinda mengenakan gaun putih sederhana, matanya memancarkan kebahagiaan yang murni. Reza dalam setelan pas di tubuhnya terlihat tenang dan damai.

"Kamu terlihat seperti Nyonya Arsitek yang paling bahagia," bisik Reza.

Dinda tertawa. "Aku tidak peduli nyonya apa aku. Yang aku tahu, aku adalah nyonya dari hati yang tulus. Dan itu lebih bernilai daripada pangkat mayor manapun."

Reza mencium keningnya. Dia telah kehilangan cincin tunangan yang mahal, tapi dia mendapatkan mahkota ketulusan. Dia telah ditinggalkan di ambang altar, tapi dia menemukan jalan menuju kebahagiaan sejati.

Di suatu tempat yang jauh, Karina mencoba membangun hidupnya dari awal, jauh dari aib sosial. Dia belajar dengan cara yang paling pahit bahwa kehormatan sejati tidak pernah datang dari label atau seragam—melainkan dari integritas, ketulusan, dan komitmen yang dijaga dengan sepenuh hati.

Reza dan Dinda berjalan beriringan di bawah taburan bunga mawar, matahari terbenam mewarnai langit dengan spektrum jingga dan ungu. Mereka telah membuktikan bahwa di balik setiap patah hati, Tuhan selalu menyiapkan kisah yang jauh lebih indah.

Kisah mereka adalah tentang memilih esensi di atas penampilan, memilih ketenangan di atas drama, dan memilih cinta sejati di atas kehormatan yang palsu.


TAMAT

Pesan Moral: Kehormatan sejati tidak pernah datang dari label, pangkat, atau status sosial. Kehormatan tumbuh dari integritas, kejujuran, dan komitmen yang dijaga dengan sepenuh hati. Cinta yang dibangun di atas ketulusan akan selalu lebih kuat daripada hubungan yang didasarkan pada ambisi material.

Redaksi

Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak