'); Ketika Ambisi Mengalahkan Cinta: Kisah Bagio dan Citra
WEKACE UPDATE
Loading...

Ketika Ambisi Mengalahkan Cinta: Kisah Bagio dan Citra



WEKACE, Cinta sejati tidak selalu berakhir dengan kebahagiaan. Terkadang, ia harus berhadapan dengan ambisi, hasrat akan pengakuan sosial, dan godaan kehidupan yang lebih mewah. Kisah Bagio dan Citra adalah cerminan dari dilema yang dihadapi banyak pasangan—ketika cinta yang tumbuh dari kesederhanaan harus bersaing dengan daya tarik dunia modern yang gemerlap.

Di sebuah desa yang jauh dari hiruk-pikuk kota, tumbuh cinta antara seorang petani sederhana dan gadis cerdas yang bermimpi meraih kehidupan lebih baik. Bagio, dengan ketulusan hatinya, mendukung setiap langkah Citra menuju impiannya menjadi pegawai negeri sipil. Ia tidak pernah merasa minder atau cemburu dengan ambisi besar kekasihnya. Baginya, kebahagiaan Citra adalah kebahagiaannya juga.

Namun, apa yang terjadi ketika mimpi itu terwujud? Ketika seragam PNS yang rapi menggantikan kebaya sederhana? Ketika kantor megah menggantikan gubuk di tepi sawah? Ketika pujian dari atasan berwibawa menggantikan bisikan cinta di bawah rembulan?

Kisah ini bukan sekadar tentang pengkhianatan, melainkan tentang bagaimana ambisi dan rasa malu bisa menggerogoti fondasi cinta yang paling tulus. Tentang bagaimana seseorang bisa kehilangan jati dirinya dalam mengejar status sosial. Tentang seorang pria yang tetap setia menunggu meski hatinya mulai merasakan ada yang tak beres. Dan tentang seorang wanita yang memilih meninggalkan cinta sejati demi kehidupan yang lebih "pantas" di matanya.

Ini adalah kisah yang mungkin terjadi di mana saja, kapan saja—ketika seseorang harus memilih antara hati dan ambisi, antara ketulusan dan kemewahan, antara cinta yang tulus dan kehidupan yang glamor.

Siapkah Anda menyaksikan perjalanan cinta yang berakhir dengan kepedihan? Kisah tentang penantian yang sia-sia dan pengkhianatan yang terencana?

Mari kita mulai dari awal, dari sebuah desa sederhana tempat cinta itu tumbuh...

Bab 1: Cinta yang Tumbuh di Pematang Sawah

Di sebuah desa yang masih memeluk erat tradisi, di mana suara gemericik air sungai dan kokok ayam jantan menjadi alarm pagi yang paling setia, hiduplah seorang pemuda bernama Bagio. Tubuhnya kokoh, kulitnya legam karena setiap hari berjemur di bawah terik matahari, menggarap petak sawah yang menjadi satu-satunya warisan dari ayahnya.

Bagio bukanlah pria kaya dalam ukuran materi. Namun ia kaya akan ketulusan, memiliki senyum yang hangat, dan cinta yang mendalam pada tanah yang ia pijak. Setiap bulir padi yang ia panen adalah cerminan dari keringat dan harapannya untuk masa depan yang lebih baik.

Bagi para gadis di desa, Bagio adalah sosok yang sederhana namun bisa diandalkan. Pria yang lebih suka berbicara melalui perbuatan daripada sekadar janji-janji manis di bawah bulan purnama. Hidupnya mengalir tenang seperti air sungai yang melintas di desanya—tanpa ambisi berlebihan, namun penuh makna.

Citra adalah gadis yang berbeda. Ia adalah yang paling cerdas dan lugu di seantero desa. Matanya selalu berbinar penuh rasa ingin tahu, mencerminkan pikiran cemerlang yang terus bergejolak. Sejak kecil, ia bermimpi lebih dari sekadar menjadi istri petani seperti ibunya. Ia memimpikan seragam abu-abu yang rapi, meja kerja yang bersih, dan kehidupan di balik dinding kantor yang terhormat.

Ketika Citra memutuskan mendaftar sebagai calon pegawai negeri sipil setelah lulus sekolah, tidak ada satu pun warga desa yang terkejut. Mereka semua tahu—Citra adalah bunga yang terlahir di lumpur, dan cepat atau lambat ia akan mekar di taman yang jauh lebih luas.

Yang mengejutkan adalah, Bagio tidak pernah merasa cemburu dengan ambisi besar kekasihnya. Sebaliknya, ia mendukung penuh setiap langkah Citra. Baginya, kebahagiaan Citra adalah kebahagiaannya juga. Setiap kali melihat Citra membaca buku-buku tebal untuk persiapan ujian, senyumnya selalu mengembang, dipenuhi rasa bangga yang tulus.

Hubungan mereka tumbuh di antara petak sawah dan buku-buku tebal. Bagio tidak bisa membantu Citra belajar karena pendidikannya terbatas, tetapi ia selalu membawa buah-buahan segar atau makanan kesukaan Citra untuk menemaninya belajar. Saat Bagio membajak sawah, Citra akan datang membawakan bekal makan siang, duduk di pematang sawah sambil bercerita tentang materi yang sedang ia pelajari.

Mereka tidak pernah membahas masa depan dengan kata-kata muluk. Bagi mereka, masa depan adalah tentang kebersamaan—tentang Bagio yang menggarap sawah dan Citra yang mewujudkan impiannya. Cinta mereka sederhana, murni, dan tanpa syarat.

Bab 2: Mimpi yang Terwujud

Setelah berbulan-bulan berjuang dan menunggu dengan cemas, hasil tes akhirnya keluar. Citra diterima menjadi pegawai negeri sipil. Seisi desa bersorak gembira, dan Bagio adalah orang pertama yang memeluknya erat.

"Aku tahu kamu pasti bisa," bisik Bagio, suaranya tercekat oleh rasa haru yang mendalam.

Mereka tidak merayakannya dengan pesta besar—cukup dengan makan malam sederhana di rumah Bagio, ditemani rembulan yang bersinar terang dan obrolan tentang masa depan yang sebentar lagi akan berubah. Citra berjanji dengan mata berbinar, tak peduli setinggi apa pun jabatannya kelak, ia akan selalu menjadi gadis lugu dari desa yang mencintai Bagio, petani sederhana yang setia.

Tak lama setelah pengumuman itu, Bagio melamar Citra. Ia datang ke rumah orang tua Citra dengan seserahan sederhana—seekor kambing, karung beras, dan beberapa liter minyak kelapa. Tidak ada mobil mewah, tidak ada perhiasan berkilauan, hanya ketulusan yang terpancar dari matanya yang dipenuhi cinta. Orang tua Citra melihat mata itu dan mereka pun menyetujui lamaran tersebut.

Pernikahan mereka berlangsung sederhana. Tidak ada gedung mewah, tidak ada katering dari kota. Hanya sebuah panggung kecil di halaman rumah Bagio. Seluruh desa datang berbagi kebahagiaan dan menjadi saksi dari janji suci yang terucap di bawah langit senja yang kemerahan.

Bagio memeluk Citra, merasakan kehangatan yang tak terlukiskan. Mereka adalah satu, dan bagi mereka kebahagiaan adalah hal yang paling sederhana di dunia—saling memiliki dengan sepenuh hati.

Kisah cinta mereka menjadi buah bibir di desa. Sebuah dongeng nyata tentang bagaimana cinta sejati tak butuh kemewahan. Bagio mengajari Citra tentang kesabaran, tentang bagaimana menanam benih dan menunggu dengan sabar hingga ia berbuah. Sementara Citra mengajari Bagio tentang harapan, bahwa mimpi tak harus selalu tumbuh di tanah yang subur—ia bisa tumbuh di mana saja asalkan ada tekad dan keyakinan.

Malam-malam yang mereka habiskan di gubuk kecil mereka di tepi sawah menjadi saksi bisu tentang tawa, bisikan, dan janji-janji yang diucapkan dengan suara pelan, hanya disaksikan oleh bintang-bintang. Mereka berdua merasa seolah memiliki segalanya, bahkan tanpa satu pun benda berharga. Kebahagiaan mereka begitu sempurna—tanpa cacat, tanpa keraguan.

Bagio mencium kening Citra setiap pagi sebelum pergi ke sawah. "Semangat kerjanya, istriku," bisiknya lembut.

Citra akan membalasnya dengan senyum manis. "Kamu juga, Mas. Sampai jumpa sore nanti."

Rutinitas sederhana ini adalah hal paling berharga bagi mereka—sebuah rutinitas yang dibangun di atas pondasi cinta dan kepercayaan yang kokoh.

Bab 3: Pelantikan dan Perubahan Awal

Beberapa bulan setelah pernikahan mereka, hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Citra resmi dilantik menjadi pegawai negeri sipil. Bagio menemani istrinya ke kota, mengenakan kemeja batik terbaiknya yang ia beli dari hasil panen terakhir. Ia melihat Citra mengenakan seragam PNS pertamanya—kemeja putih yang bersih, rok hitam yang rapi, dan kerudung yang dililitkan dengan elegan.

Senyumnya mengembang lebar, matanya berkaca-kaca, hatinya dipenuhi rasa haru dan bangga yang tak terlukiskan. Bagi Bagio, melihat Citra berdiri tegak dengan seragam kebanggaan itu adalah mimpi yang terwujud. Ia merasa keberhasilan Citra adalah keberhasilannya juga—sebuah pencapaian yang mereka raih bersama.

Citra ditempatkan di sebuah kantor kecamatan, tidak terlalu jauh dari desa mereka. Setiap pagi ia pergi dengan menaiki angkutan umum, sementara Bagio mengantarkannya ke jalan utama dengan sepeda motor tuanya yang masih setia.

Di kantor, Citra bertemu dengan banyak orang baru—rekan-rekan kerja yang berasal dari latar belakang yang berbeda. Ia belajar banyak hal, mulai dari administrasi, pelayanan masyarakat, hingga cara berkomunikasi dengan para pejabat. Awalnya ia merasa canggung dengan aksen desanya yang kental dan tingkah laku yang sederhana. Tetapi dengan kecerdasannya, ia cepat beradaptasi.

Kehidupan mereka perlahan berubah. Gaji Citra jauh lebih besar dari pendapatan Bagio sebagai petani. Untuk pertama kalinya mereka bisa membeli barang-barang yang selama ini hanya bisa mereka lihat di televisi—televisi layar datar, mesin cuci, bahkan kulkas. Ibu Bagio dan orang tua Citra selalu tersenyum bahagia setiap kali pasangan muda itu membawa pulang barang-barang baru.

"Ini semua berkat Citra, Bu," kata mereka penuh rasa syukur.

Bagio selalu menyahut dengan tulus, "Ini semua berkat kerja keras Citra, Bu. Aku hanya menemani."

Ia tak pernah merasa kalah, tak pernah merasa cemburu. Baginya, mereka adalah satu tim, satu keluarga yang saling bahu-membahu membangun masa depan.

Di malam hari, setelah pulang dari kantor, Citra akan bercerita dengan semangat tentang hari-harinya—tentang betapa rumitnya sistem administrasi, tentang beragamnya karakter orang yang datang ke kantor, dan tentang betapa sibuknya ia dengan pekerjaan barunya. Bagio akan mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali menyela dengan pertanyaan sederhana yang menunjukkan betapa ia peduli.

"Apakah kamu lelah, sayang?" tanyanya suatu malam dengan nada khawatir.

Citra tersenyum. "Tidak, Mas. Ini adalah mimpiku. Aku senang."

Bagio mengusap rambut Citra dengan lembut. "Kalau begitu, aku juga senang."

Bab 4: Jarak yang Tumbuh Perlahan

Waktu berlalu. Tahun demi tahun, Citra semakin mahir dengan pekerjaannya. Ia sering mendapat pujian dari atasan karena kinerja yang baik. Gaji dan tunjangannya pun semakin besar. Mereka bisa membeli tanah yang lebih luas, merenovasi rumah mereka menjadi lebih bagus. Bagio yang awalnya menolak, akhirnya setuju untuk membeli mobil bekas agar Citra tidak terlalu lelah setiap hari menaiki angkutan umum.

Ia senang melihat Citra sukses. Ia melihatnya sebagai tanda bahwa ia juga telah sukses sebagai seorang suami yang mendukung impian istrinya.

Di sisi lain, Citra mulai merasakan dunia yang lebih luas. Rekan-rekan kerjanya berbicara tentang film-film terbaru, tempat-tempat makan yang modern, dan tren mode yang tidak pernah ia kenal sebelumnya. Mereka sering mengajak Citra untuk nongkrong setelah jam kerja. Awalnya Citra selalu menolak—ia selalu ingin pulang cepat untuk bertemu dengan Bagio.

Tetapi lama-kelamaan ia mulai bergabung. Ia mendengarkan cerita-cerita mereka tentang kehidupan di kota, tentang pasangan mereka yang juga memiliki pekerjaan mapan, tentang liburan ke luar negeri. Hatinya mulai merasa gelisah. Ia merasa ada jarak yang tak terlihat antara dirinya dan rekan-rekan kerjanya.

Jarak itu adalah Bagio—suaminya yang sederhana yang setiap hari hanya berkutat dengan cangkul dan lumpur. Ia mulai membandingkan, dan perbandingan itu perlahan-lahan menggerogoti ketulusan di dalam hatinya.

Setelah beberapa tahun mengabdi sebagai PNS, Citra mulai merasa bahwa kehidupannya di desa tidak sejalan dengan status sosialnya saat ini. Ia bekerja di kantor yang megah, mengenakan pakaian rapi, dan bergaul dengan orang-orang berpendidikan tinggi. Sementara Bagio, suaminya, masih seorang petani yang setiap hari berkutat dengan lumpur dan terik matahari.

Citra tidak lagi bangga—ia mulai merasa malu.

Perasaan ini muncul begitu saja, seperti gulma yang tumbuh liar di ladang hati yang dulunya dipenuhi bunga-bunga cinta. Ia mulai menyadari bahwa percakapan teman-teman sekantornya sering berhenti saat ia menyebutkan pekerjaan suaminya. Tatapan yang tadinya kagum kini berubah menjadi tatapan iba, seolah-olah mereka berkata dalam hati, "Sayang sekali, gadis secerdas dan secantik kamu harus menikah dengan petani."

Bab 5: Godaan dari Dunia Baru

Di kantor, Citra mulai menjalin kedekatan dengan atasannya—seorang pria bernama Heru. Usianya sudah kepala empat, berpenampilan rapi dan berwibawa, selalu mengenakan jam tangan mahal yang Bagio bahkan tidak tahu harganya. Pak Heru, yang juga berasal dari kota, sering mengajak Citra makan siang di restoran-restoran mewah.

Ia berbicara tentang investasi, properti, dan perjalanan ke luar negeri. Setiap cerita yang ia dengarkan dari Pak Heru adalah dunia baru yang sangat menarik—dunia yang jauh dari kehidupan sederhana yang ia jalani bersama Bagio.

Pak Heru tidak pernah secara terang-terangan merendahkan Bagio, tetapi ia selalu memuji kecerdasan Citra, mengatakan bahwa Citra terlalu berbakat untuk selamanya hidup di desa. Pujian-pujian itu seperti siraman air dingin yang menyegarkan, mengusir rasa malu yang selama ini menghantui.

Di rumah, Bagio tidak menyadari perubahan ini. Ia masih tulus mencintai Citra, masih bangga dengan keberhasilan istrinya. Ia masih membawa pulang ikan-ikan yang ia dapatkan dari sungai, sayuran segar dari kebunnya, dan bunga-bunga liar yang ia petik di pinggir jalan. Ia masih menyentuh tangan Citra yang halus, membisikkan kata-kata cinta yang sederhana.

Tetapi ia merasakan ada sesuatu yang berbeda. Citra tidak lagi seceria dulu. Tawa-tawanya kini terasa hambar. Senyumnya tidak lagi sampai ke mata.

Saat Bagio bertanya, "Ada apa, sayang?"

Citra selalu menjawab, "Tidak ada, Mas. Aku hanya lelah."

Bagio percaya. Ia percaya semua orang pasti merasa lelah setelah bekerja keras. Ia tidak tahu bahwa ada jarak yang tumbuh di antara mereka—jarak yang tidak terbuat dari ruang fisik, tetapi dari ambisi yang berbeda dan pandangan hidup yang mulai berlawanan.

Suatu sore, saat Citra sedang makan malam bersama Bagio, ia tidak bisa menahan diri untuk membandingkan. Bagio makan dengan lahap, tangannya masih kotor oleh lumpur yang tidak bisa ia hilangkan sepenuhnya meski sudah dicuci berkali-kali. Citra memandangi tangannya sendiri yang bersih dan halus, lalu menatap Bagio.

Pria yang ia cintai dengan sepenuh hati itu kini terlihat begitu asing. Ia merasa malu, dan rasa malu itu menyakitkan. Ia tidak lagi melihat Bagio sebagai suaminya yang sederhana dan tulus, melainkan sebagai bayangan dari masa lalunya yang ingin ia tinggalkan.

Bab 6: Tawaran yang Mengubah Segalanya

Suatu sore setelah jam kerja usai, Pak Heru mengajak Citra untuk berbicara di sebuah kafe modern yang tidak pernah Bagio ketahui keberadaannya. Kafe itu memiliki arsitektur minimalis yang elegan, musik jazz yang mengalun pelan, dan aroma kopi yang menggoda. Mereka duduk di sudut ruangan, membahas hal-hal ringan hingga akhirnya Pak Heru menatap Citra dengan serius.

"Citra," katanya, "saya sudah mengamati kinerja kamu. Kamu terlalu berbakat untuk berada di sini. Kamu seharusnya berada di tempat yang lebih besar, di mana potensi kamu bisa berkembang sepenuhnya."

Citra mendengarkan dengan napas tertahan. Ia merasa akan mendapatkan sesuatu yang besar.

"Saya memiliki kenalan di kantor pusat di kota. Mereka sedang mencari staf dengan kualifikasi seperti kamu. Gaji dan fasilitasnya tentu jauh lebih baik. Ini kesempatan emas, Citra. Kamu bisa pindah dinas ke sana."

Pertanyaan itu seperti godaan yang begitu manis, tetapi juga begitu berbahaya. Citra terdiam. Di satu sisi ia tahu ini adalah kesempatan yang tidak akan datang dua kali—gaji yang jauh lebih tinggi, karier yang lebih menjanjikan, dan kehidupan yang lebih modern. Ia bisa meninggalkan rasa malunya, meninggalkan bayangan Bagio yang selalu mengingatkannya pada masa lalunya yang sederhana.

Tetapi di sisi lain, ia memikirkan Bagio. Ia memikirkan janji yang mereka buat di bawah langit senja pada hari pernikahan mereka. Ia memikirkan ketulusan Bagio, cinta yang tak pernah ia ragukan.

"Saya... saya butuh waktu untuk berpikir, Pak," jawab Citra, suaranya bergetar.

Pak Heru tersenyum lembut. "Tentu saja, Citra. Pikirkan baik-baik. Ini bukan hanya tentang karier, ini tentang masa depan kamu. Dan saya yakin kamu pantas mendapatkan yang terbaik."

Kata-kata itu berulang-ulang dalam benak Citra. Ia pantas mendapatkan yang terbaik. Apakah Bagio adalah yang terbaik untuknya? Ia tidak yakin. Ia tahu Bagio adalah yang terbaik untuk hatinya. Tetapi apakah Bagio adalah yang terbaik untuk ambisinya?

Bab 7: Keputusan yang Menyakitkan

Citra akhirnya membuat keputusan. Ia akan menerima tawaran itu. Ia akan pergi ke kota, membangun karier, mengejar impiannya. Tetapi ia tidak akan meninggalkan Bagio—setidaknya begitulah yang ia katakan pada dirinya sendiri. Ia akan membujuknya, meyakinkannya bahwa ini adalah demi kebaikan mereka berdua.

Seminggu sebelum mutasinya, Citra pulang ke desa dengan hati yang berat. Ia melihat desa yang damai, melihat Bagio yang sedang duduk di beranda rumah, memperbaiki cangkulnya. Pemandangan itu begitu familiar, begitu hangat. Tetapi di mata Citra, pemandangan itu terasa begitu asing.

"Mas, aku ada sesuatu yang harus aku bicarakan," kata Citra, suaranya pelan.

Bagio meletakkan cangkulnya, menatap Citra dengan penuh perhatian. "Ada apa, sayang?"

Citra menarik napas dalam-dalam. "Aku akan pindah dinas ke luar kota, Mas. Mulai minggu depan."

Bagio terdiam. Ia tidak terlihat terkejut, hanya bingung. "Pindah dinas?" tanyanya, mengulang kata-kata Citra.

Citra mengangguk. "Iya, Mas. Ini adalah kesempatan yang tidak bisa aku lewatkan. Gajinya lebih tinggi dan karierku akan lebih cepat berkembang."

Bagio tidak berkata apa-apa. Ia hanya menatap Citra, matanya dipenuhi pertanyaan yang tak terucap.

Citra tidak bisa menahan diri. Ia mulai menangis. "Mas, aku tahu ini berat. Aku tahu kamu pasti sedih. Tapi ini semua demi kita, Mas. Demi masa depan kita. Kita bisa punya rumah yang lebih bagus. Kita bisa membiayai sekolah anak-anak kita kelak di sekolah yang terbaik. Aku melakukan ini semua demi kamu, Mas."

Citra memeluk Bagio, membenamkan wajahnya di dada suaminya yang beraroma keringat dan tanah. Bagio membalas pelukannya, mengusap rambut Citra dengan lembut. Ia tidak berkata apa-apa. Ia hanya mendengarkan.

"Aku akan sering pulang, Mas. Aku akan meneleponmu setiap hari. Kita akan melewati ini semua bersama," bisik Citra, mencoba meyakinkan Bagio dan juga dirinya sendiri.

Bagio mengangguk. Ia melepaskan pelukan Citra, menatapnya dengan senyum yang tulus. "Aku percaya kamu, sayang. Aku tahu kamu tidak akan pernah meninggalkanku. Aku akan mendukungmu, tak peduli sejauh apa pun kamu pergi."

Kata-kata itu terasa seperti belati yang menancap di hati Citra. Bagio begitu tulus, begitu lugu, dan ia di sisi lain telah menyembunyikan begitu banyak hal dari suaminya.

Bab 8: Perpisahan yang Menyisakan Luka

Perpisahan mereka terasa begitu menyakitkan. Bagio mengantarkan Citra ke stasiun bus. Ia memeluknya, mencium keningnya, dan membisikkan kata-kata yang sama seperti yang ia ucapkan di hari pernikahan mereka. "Sampai jumpa lagi, istriku."

Citra tidak bisa menahan tangisnya. Ia memeluk Bagio erat-erat, seolah ia tidak ingin melepaskannya. Tetapi ia harus melepaskan. Ia harus pergi. Ia harus mengejar mimpinya.

Saat bus mulai bergerak, Citra melambaikan tangan dari jendela, matanya dipenuhi air mata. Bagio membalas lambaiannya, senyumnya masih sama tulusnya, penuh harapan.

Citra tidak tahu itu adalah lambaian perpisahan terakhir. Ia tidak tahu bahwa ia tidak akan pernah kembali ke desa itu lagi. Ia tidak tahu bahwa ia sedang memulai sebuah perjalanan menuju dunia yang jauh dari kesederhanaan—dunia yang akan mengubahnya menjadi seseorang yang ia tidak kenal lagi.

Dan ia tidak tahu bahwa Bagio akan menunggunya hari demi hari, minggu demi minggu, tahun demi tahun dengan hati yang penuh cinta, hingga akhirnya ia menyadari bahwa cinta yang ia tunggu telah lama pergi.

Bab 9: Kehidupan Baru di Kota

Kota baru yang Citra pijak terasa asing dan menyesakkan. Gedung-gedung pencakar langit menjulang tinggi, jalanan dipenuhi deru klakson dan orang-orang berlalu-lalang dengan langkah tergesa-gesa. Tidak ada suara ayam jantan di pagi hari, tidak ada aroma tanah basah setelah hujan. Yang ada hanya suara bising dari jalan raya, bau polusi yang pekat, dan wajah-wajah dingin yang tidak memiliki waktu untuk tersenyum.

Citra merasa seolah ia adalah ikan yang dipindahkan dari kolam kecil ke lautan yang luas—terkesima tetapi juga ketakutan. Ia tinggal di sebuah apartemen kecil yang disediakan oleh kantor, letaknya di pusat kota, tidak jauh dari kantornya yang megah.

Pekerjaannya sangat menuntut. Ia harus bekerja lembur hampir setiap malam, menghadiri rapat-rapat penting, dan bertemu dengan banyak pejabat yang memiliki jabatan lebih tinggi. Ia harus belajar bahasa yang baru—bahasa yang digunakan oleh orang-orang kota. Ia harus belajar cara berpakaian yang baru, cara berbicara yang baru.

Ia menyadari, untuk bisa bertahan di dunia ini, ia harus berubah. Ia harus meninggalkan sisi-sisi lugunya, sisi-sisi desanya, dan menjadi wanita karir yang tangguh dan ambisius. Ia tidak lagi bisa menjadi gadis yang sama yang hanya memikirkan Bagio dan sawah. Ia kini harus memikirkan karier, masa depan, dan ambisinya.

Komunikasi dengan Bagio mulai berkurang. Awalnya Citra masih menelepon Bagio setiap malam, bercerita tentang hari-harinya, tentang kesulitan yang ia hadapi, tentang kesepian yang ia rasakan. Bagio akan mendengarkan dengan penuh kesabaran, memberinya semangat, dan mengingatkannya untuk tidak lupa makan.

Tetapi lama-kelamaan, telepon-telepon itu menjadi semakin jarang. Citra selalu memiliki alasan: "Maaf, Mas, aku ada rapat," atau "Maaf, Mas, aku harus lembur."

Bagio mengerti. Ia percaya. Ia tahu Citra bekerja keras demi masa depan mereka. Ia tidak tahu bahwa alasan itu adalah sebuah kebohongan yang manis—sebuah kebohongan yang Citra gunakan untuk melindungi dirinya dari rasa bersalah.

Bab 10: Pengkhianatan yang Terencana

Sementara Citra sibuk dengan kehidupan barunya, Bagio di desa menjalani rutinitas yang sama. Ia masih pergi ke sawah setiap pagi, masih memancing di sungai setiap sore. Tetapi ada sesuatu yang berbeda—ada kekosongan yang ia rasakan. Ia merindukan senyum Citra, merindukan tawa Citra, merindukan obrolan-obrolan mereka di pematang sawah.

Ia menunggu telepon dari Citra setiap malam. Dan ketika telepon itu tidak berdering, hatinya terasa sakit. Ia selalu meyakinkan dirinya sendiri: Citra pasti sibuk. Citra pasti lelah. Tetapi jauh di lubuk hatinya, ia tahu ada sesuatu yang tidak beres.

Selama di kota, Citra selalu ditemani oleh Pak Heru. Pak Heru tidak pernah membiarkan Citra merasa kesepian. Ia mengajak Citra makan malam, menonton film, dan mengunjungi tempat-tempat wisata yang indah. Citra yang selama ini hanya tahu dunia sawah dan desa merasa terpesona. Ia merasa ia telah menemukan pasangannya yang sesungguhnya—seorang pria yang bisa menemaninya, yang bisa mengerti ambisinya, dan yang bisa memberikan kehidupan yang lebih baik.

Suatu malam, setelah makan malam di sebuah restoran mewah, Pak Heru menatap Citra dengan serius.

"Citra," katanya, "sejak pertama kali saya bertemu dengan kamu, saya tahu kamu adalah wanita yang berbeda. Kamu cerdas, ambisius, dan memiliki hati yang baik. Saya tidak tahu harus bagaimana, tetapi saya tidak bisa lagi menyembunyikan perasaan saya. Saya mencintai kamu, Citra. Maukah kamu menikah dengan saya?"

Pertanyaan itu seperti bom yang meledak di benak Citra. Ia terdiam, hatinya berdegup kencang. Ia memikirkan Bagio, memikirkan janji yang mereka buat, memikirkan betapa Bagio sangat mencintainya. Tetapi ia juga memikirkan Pak Heru dengan semua yang bisa ia tawarkan—kehidupan yang mapan, status sosial yang tinggi, dunia yang selama ini ia impikan.

"Saya tahu ini tiba-tiba, Citra, tetapi saya tidak bisa lagi menahannya. Saya akan memberikan kamu waktu, tetapi saya harap kamu akan memberikan saya jawaban yang saya inginkan," kata Pak

Redaksi

Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak