'); Mimpi Pildun Kandas, Harapan Mulai Lepas
WEKACE UPDATE
Loading...

Mimpi Pildun Kandas, Harapan Mulai Lepas

WEKACE, Tulisan ini sebuah jeritan dan kekecewaan hati saya. Para pecinta rezim PSSI saat ini, jangan mampir di sini, deh. Karena, sangat menyakitkan. Skip saja. Bagi yang patah hati gagalnya Timnas ke Pildun, boleh kita sama-sama ngopi tanpa gula, wak.

Bola itu bundar, katanya. Tapi di tangan sepak bola Indonesia, bola itu seperti hati rakyat, dilempar, dipantulkan, lalu dibiarkan pecah di tengah lapangan basah air mata. Malam itu, di layar televisi, jutaan pasang mata menatap tanpa suara. Skor akhir terpampang, Indonesia gagal. Lagi. Tak ada pelukan, tak ada sorak, hanya kesunyian panjang yang bahkan hujan pun malu mengganggunya.

Kita pernah bermimpi, bukan? Tentang Piala Dunia, tentang merah putih di pentas tertinggi, tentang lagu Indonesia Raya berkumandang di stadion luar negeri. Tapi semua itu kini tinggal puing di dada. Diseret oleh angin rumor, ditenggelamkan oleh strategi absurd, dan dikubur hidup-hidup oleh tangan yang seharusnya menjaga.

Erick Thohir, yang dulu datang dengan wibawa pahlawan reformasi sepak bola, kini jadi sosok yang disebut dengan nada getir. Ia dijanjikan sebagai penyelamat, pembasmi mafia bola, pembawa harapan. Tapi yang datang justru Patrick Kluivert, legenda Belanda yang entah siapa yang menelponnya untuk datang. Datar, dingin, seolah tidak tahu, di negeri ini, sepak bola bukan sekadar olahraga, ia adalah urat nadi kebangsaan, alat pemersatu yang bahkan politik gagal menciptakannya.

Hasilnya? Kekalahan demi kekalahan. Irak 1-0, Arab Saudi 3-2. Dua laga yang membuat dada kita sesak. Crossing yang entah mengarah ke siapa, umpan yang seperti dilemparkan ke nasib, dan ekspresi pemain yang campur antara pasrah dan kehilangan arah. 

Tapi yang paling pahit bukan kekalahan. Yang paling menyakitkan, kehilangan harapan yang dulu Shin Tae-yong tanamkan. Pelatih keras kepala asal Korea itu mungkin tak sempurna. Tapi, dia membuat kita percaya, disiplin bisa melawan nasib. Dia mengajari pemain berlari sampai paru-paru menjerit, berjuang sampai peluit terakhir, dan mencintai bendera lebih dari diri sendiri. Ia bukan sekadar pelatih. Dia simbol harapan, simbol kemajuan, simbol bangsa yang bisa bangkit dari keterpurukan.

Kini, setelah ia pergi, Timnas seperti anak hilang. Tak ada arah, tak ada ruh. Patrick Kluivert berdiri di pinggir lapangan dengan wajah tanpa emosi, gestur kaku, seperti sedang menonton laga yang bukan urusannya. Ia bukan pelatih kita, ia hanya pengunjung yang kebetulan tersesat di ruang duka nasional.

Sementara itu, di tribun maya, jutaan rakyat menyalakan lilin digital. Tagar #ErickOut dan #KluivertOut membanjiri dunia maya, lebih deras dari hujan yang mengguyur Senayan. Dari mahasiswa di kos sempit hingga bapak-bapak di warung kopi, semua bersuara dengan satu kalimat yang sama, “Kembalikan Shin Tae-yong.”

Ada yang berdoa, ada yang marah, ada yang hanya diam menatap kosong. Karena di lubuk hati terdalam, kita tahu, masalah ini bukan cuma soal pelatih. Ada bayangan gelap yang selalu muncul setiap kali bola mulai jujur bergulir, mafia bola, kata orang. Entah nyata, entah tidak, tapi baunya tercium dari setiap keputusan aneh, dari setiap penalti yang tak masuk akal, dari setiap pemain yang tiba-tiba dibekukan. Rakyat Indonesia, yang sabarnya lebih panjang dari sejarah kolonialisme, mulai kehilangan kepercayaan.

Kita sudah terlalu sering dikhianati. Terlalu sering dipaksa berharap pada proyek mimpi yang selalu runtuh di tengah jalan. Tapi tetap saja, setiap kali Timnas bermain, jutaan hati ini kembali bergetar, seolah cinta ini tak bisa mati walau disakiti berkali-kali.

Malam itu, setelah peluit panjang berbunyi, seseorang menulis di media sosial, “Bola itu bundar, tapi nasib kita dipipihkan oleh tangan-tangan tak terlihat.” Ribuan yang lain menimpali, “Kalau saja STY masih di sini, kita tidak akan sekacau ini.”

Bagi bangsa lain, kekalahan adalah statistik. Tapi bagi kita, ia adalah tragedi nasional. Sebuah patah hati kolektif yang mengalir di udara, menembus setiap ruang tamu, setiap kedai kopi, setiap hati yang pernah percaya.

Di tengah kesunyian yang menyesakkan itu, hanya satu doa yang berulang-ulang bergema dari hati rakyat yang kecewa, “STY, pulanglah. Kami sudah kehilangan arah.”

Foto Ai, hanya ilustrasi

Penulis : 11
Rosadi Jamani

Redaksi

Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak