WEKACE, Saya antara mau menangis atau tertawa. Yang biasa ribut itu kalangan politisi. Rebutan kursi kekuasaan. Nah, yang ini malah ribut soal makam. Pakai hancur-hancurin segala. Mari kita lindas, eh salah, kupas kejadian absurd di negeri penganut agama kelas berat ini sambil seruput kopi, wak!
Kejadiannya di Pasuruan. Kota yang biasanya terkenal karena rawon setan dan angin sepoi-sepoi sawahnya, tiba-tiba jadi panggung teater absurd tingkat internasional. Ente bayangkan, wak! Sebuah makam di Desa Winongan Kidul, tepat di belakang Masjid Jami’ Baitul Atiq Serambi, mendadak jadi trending topic, bukan karena ada arwah yang bikin konten YouTube, tapi karena bangunan makam itu dibongkar warga dengan gaya lebih dramatis dari konser Metallica.
Kronologinya begini. Sebuah bangunan makam baru, yang katanya “premium edition” dengan desain setara rumah minimalis cluster, dibangun di atas area makam lama. Masalahnya, menurut warga, bangunan itu kayak influencer dadakan, muncul tanpa izin, tanpa pemberitahuan, tiba-tiba langsung eksis. Jalan setapak terganggu, akses makam sesepuh ketutup, dan tiba-tiba masyarakat merasa makam leluhurnya diturunkan kasta jadi kontrakan petak.
Warga pun kompak. Mereka masuk ke TPU Serambi kayak pasukan Avengers versi lokal. Genteng dicopot, atap ditarik, pagar dihancurkan, tiang ditumbangkan. Semua properti bangunan itu ambruk kayak harga kripto di malam Jumat. Nilai kerugian? Katanya Rp80 juta. Tapi entah siapa yang sempat menghitung di tengah amarah massa, mungkin ada tukang appraiser khusus makam yang bawa kalkulator Casio sambil nangis.
Tentu ada yang tak terima aksi penghancuran makam itu. Salah satunya, Sayyid Hasan Fahmi (29). Ia mengaku makam keluarganya dirusak. Diduga pelakunya seorang berinisial Cak UD, ditemani “PWI-LS”. Nah, jangan salah, ini bukan Persatuan Wartawan Indonesia, tapi entah akronim apa yang lebih mirip kode cheat game GTA. Yang jelas, nama Cak UD sekarang lebih terkenal daricalon bupati setempat.
Di sisi lain, kaum Baalawi alias habaib juga turun tangan. Mereka bukan hanya marah, tapi kecewa, syok, dan mungkin pengen lempar sandal ke langit. Habib Abubakar bin Hasan Assegaf, sebagai juru bicara kegelengan kepala, bilang, tenang, jangan main hakim sendiri, serahkan pada aparat. Bahasa halusnya, “Bro, jangan bikin sinetron tambah panjang. Biar Kapolres yang jadi sutradara.”
Kapolres pun maju, kayak tokoh superhero terakhir. Beliau janji akan mengusut tuntas kasus ini. Bahkan, katanya, bukan hanya pelaku di lapangan, tapi juga “otak di balik perusakan makam” akan diseret. Cuma masalahnya, setiap kali ada kata “otak”, masyarakat terlanjur curiga apakah bini otak manusia, otak mafia tanah, atau otak-otak Palembang.
Sementara itu, di dunia filsafat makam, kasus ini jadi bahan renungan serius. Manusia sibuk bikin bangunan makam semewah istana, padahal isinya hanya tulang-belulang yang sudah bosan dengan dunia. Filosofinya jelas, di atas tanah, orang rebutan sertifikat rumah, di bawah tanah, orang rebutan sertifikat liang lahat. Bedanya tipis, sama-sama bikin ribut keluarga.
Kisah ini juga memberi pelajaran, kalau rumah bisa digusur Satpol PP, ternyata makam pun bisa kena gusur warga. Ada yang bilang ini konflik antara “arwah senior” dan “arwah baru yang sok pamer properti”. Kalau saja arwah bisa update status, mungkin mereka sudah bikin demo dengan spanduk astral bertuliskan, “Hargai sesepuh, jangan parkir bangunan di atas kepala kami.”
Begitulah, Pasuruan kini punya drama yang bikin warga warung kopi geleng-geleng kepala. Di satu sisi ada yang nangis karena makam keluarga dirusak, di sisi lain ada yang merasa sedang membela kehormatan ulama. Polisi pusing, tokoh agama pusing, netizen tambah pusing. Hanya tukang batu nisan yang mungkin senyum tipis, karena bisnis mereka sedang naik daun.
Moral cerita? Hidup boleh absurd, tapi jangan sampai makam ikut-ikutan absurd. Karena pada akhirnya, semua kita bakal masuk tanah. Bedanya hanya, ada yang masuk dengan tenang, ada yang masuk sambil trending.
Foto Ai, hanya ilustrasi.
Penulis :
Ketua Satupena Kalbar
Tags
PERISTIWA