'); Oseng oseng Kembang Kates
WEKACE UPDATE
Loading...

Oseng oseng Kembang Kates

Mak War! Aku cariin ternyata di sini!” teriak seorang perempuan. Wajahnya familiar, tapi aku tak tahu namanya.

Memang aku begitu. Sering kenal wajah, tapi lupa nama. Apalagi kalau jarang ketemu. Kecuali yang kesannya membekas, baru terekam di hati.


“Aman…” bisikku lega. Kukira beliau akan mulai ceramah.

“Iya, ada apa, Mak?” tanya Ibu.

“Ada yang mau dibahas. Tapi jangan di sini, kita ke rumah Mak War aja,” jawab temannya.

Ibu mengangguk. “Oke, mari.”

Alhamdulillah, akhirnya beliau pergi juga. Kalau enggak, entah berapa lama telingaku harus menahan sindiran.

Aku masuk rumah. Pintu kubiarkan terbuka. Tak ada kipas angin di rumah ini, hanya mengandalkan hembusan udara luar.

Kulipat tikar, lalu mulai menyapu. Debunya tebal. Telapak kaki saja sudah gatal rasanya. Walau lantainya bukan keramik, kalau bersih tetap nyaman.

Kupakai masker karena debunya beterbangan. Sambil menyapu, aku menggerutu, “Kapan ya bisa punya pembantu sendiri?”

Hidupku kini jauh dari angan masa gadis dulu. Sekarang pahit, seperti oseng kembang pepaya. Tapi aku percaya, semoga suatu hari rasa ini akan berubah jadi manis yang sebenarnya.

♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡

Rumah sudah bersih. Telur ceplok satu-satunya sudah kumasak. Rencananya makan berdua dengan Mas Ardi. Hemat-hematan.

Kubuat sambal bawang pakai cabai dari belakang rumah. Minyaknya pun jelantah. Tapi rasanya tetap nikmat kalau perut lapar.

Satu cabai merah kubuka bijinya, lalu kusebar ke tanah. Siapa tahu tumbuh lagi.

Sore hari. Aku sudah mandi, lalu pakai daster obral tiga puluh ribuan. Itu pun beli dari sisa uang belanja. Mas Ardi tidak selalu kasih uang setiap hari.

♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡

Di teras, aku duduk main hape. Hape lama pemberian orang tuaku dulu. Setelah nikah, belum pernah Mas Ardi membelikan hape.

Kubuka sosmed. Ingin tahu kabar Ratna dan calon suaminya. Kucari namanya, lalu muncul.

Postingan Ratna penuh persiapan nikah. Berkali-kali live. Entah berbagi bahagia atau pamer karena dinikahi polisi.

Dia menandai nama calon suaminya. Benar, seorang polisi. Sepertinya kaya juga.

Aku iri. Dulu Ratna cuma kutu buku berkacamata tebal. Sekarang modis dan percaya diri. Saat antar undangan saja sudah tampak berkelas.

Kalau ada reuni SMA, aku pasti tak datang. Malu. Teman-teman naik mobil, aku? Diantar motor butut Mas Ardi. Membayangkannya saja sesak.

“Assalamualaikum,” suara menyadarkanku.

“Waalaikum salam,” jawabku. Itu Mas Ardi. Meski kecewa, tetap kucium punggung tangannya.

“Kerja apa hari ini?” tanyaku, melihatnya lusuh.

“Bantu Mang Totok di pasar, jadi kuli,” jawabnya.

Aku menelan ludah. “Ya Allah… kalau teman SMA tahu…”

Dia mengeluarkan uang. “Upah dari Mang Totok.”

Kutampung dan kuhitung. “Tujuh puluh lima ribu,” ucapku lirih.

“Iya,” sahutnya.

“Mandilah. Telur ceplok sudah siap. Tapi cuma satu, kita makan bareng.”

Dia angguk. “Tolong bikinin teh, ya. Badanku lemes.”

“Gula habis. Aku ke warung dulu,” balasku.

♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡

“Tadi Ibu ke sini,” ucapku setelah makan sore. Telur dibagi dua.

“Ngapain?”

“Biasalah, cek dapur sambil nyindir,” jawabku.

“Jangan dipikirin,” sahutnya.

Aku hanya angkat piring, lalu kutumpuk di ember kecil. Besok pagi baru dicuci.

Mas Ardi duduk menikmati teh. Aku ikut duduk.

“Mas, kamu tuh ganteng. Coba jadi selebgram,” ucapku.

“Selebgram?” ulangnya.

“Iya. Dari pada jadi kuli yang nggak tiap hari ada kerjaan.”

Dia usap wajah. “Sudahlah. Jalanin aja takdir.”

Dia pergi membawa gelas. Aku hanya terdiam.

“Dia ini memang nggak niat ubah nasib,” batinku kesal.

♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡

Malam makin gelap. Rumah sepi. TV tak ada. Kuota pun habis karena lihat live-nya Ratna tadi. Sekarang cuma bisa buka efbe mode hemat.

Mas Ardi sudah tidur. Kelelahan, mungkin. Cari uang segitu saja sudah ngos-ngosan. Aku pijat pelipis. Banyak yang kupikirkan.

Tiba-tiba…

“Nik!”

Suara itu melengking. Aku menoleh ke pintu. Benar saja—Ibu Mertua. Mata melotot, tangan di pinggang. Rautnya tampak murka.

Aku bingung. Ada apa lagi?

Wah… kayaknya Ibu memang betul-betul kurang sajen. 

Penulis : 

Redaksi

Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak