'); Warung Warisan Mertua
WEKACE UPDATE
Loading...

Warung Warisan Mertua

WEKACE, Saat warung masih reot, aku yang disuruh mengelolanya. Tapi setelah warung soto Lamongan itu sukses berkat kerja kerasku dan menjadi langganan para penjabat, warungnya malah diberikan kepada ipar. 

Enak saja, dipikir aku akan ting gal diam. Aku akan keluar dan membuka warung sendiri. Lihat saja siapa yang lebih sukses nantinya…

Aku menggeleng pelan. Baru saja Ibu mertua menunjuk mereka sebagai penerus warung ini, tapi dua perempuan itu sudah mulai berulah.

Dari balik pintu dapur yang panas dan pengap, kulihat Rina—adik iparku yang selalu tampil girly—sedang mengibaskan rambutnya sambil menenteng kipas angin portable yang diarahkan ke wajah. Ia beberapa kali tampak mengerutkan dahi, lalu memprotes ini-itu.

Wajar, dapur ini memang panas. Hanya ada satu kipas angin kecil di langit-langit, dan itupun sudah hampir tak terasa. Namanya juga dapur, tempat semua kompor menyala dan wajan bergantian digunakan.

Di sudut lain, Mbak Rani—kakak iparku dengan lipstik merah menyala—berdiri berkacak pinggang. Entah sedang ngomel apa, tapi dari gesturnya, sepertinya dia tengah mengomentari racikan bumbu yang digunakan hari ini.

Tak lama, Bu Ani—karyawan dapur senior yang sudah seperti kakak sendiri bagiku—melangkah cepat menghampiri begitu melihat kedatanganku. Matanya sempat melirik taja m ke arah Mbak Rani yang terus mengomel.

Mbak Rahma…” panggilnya dengan suara setengah berbisik, seraya mendekat.

“Aduh, itu lho Mbak Rani sama Mbak Rina… dari tadi rewel terus. Kita kupas bumbu diprotes, hidupin kipas angin juga diprotes. Katanya boros listrik segala.”

Aku mengelus da da, berusaha menahan napas panjang.

“Sekarang yang ngatur warung ini mereka ya, Mbak? Bukan Mbak Rahma lagi?” lanjutnya kesal. “Kalau iya, waduh… saya sih ndak yakin bisa betah. Dari gayanya aja udah kelihatan pel itnya. Duh.”

Aku menarik napas panjang. “Iya, Bu. Ibu mertua sudah mempercayakan warung ini untuk mereka kelola. Jadi, nantinya ya… merekalah bosnya.”

Bu Ani tampak terkejut. Matanya membola. “Lho… bukannya warung ini tadinya mau dikasihkan ke Mbak Rahma? Kok malah jadi ke mereka? Waduh, Mbak… saya kan tahu betul perjuangan Mbak Rahma dari awal. Mbak itu yang bikin warung ini ramai, lho. Ga ji aja dulu kalah gede sama kami. Masa setelah besar gini malah dikasih ke mereka?”

Aku mengangkat bahu, mencoba terlihat ikhlas meski da da terasa sesak. “Begitulah, Bu. Aku cuma menantu. Nggak mungkin mereka rela warung sebesar ini jadi milikku. Jadi ya… aku cuma kerja di sini sekarang.”

Bu Ani menggeleng pelan, wajahnya terlihat prihatin. Dia memang saksi hidupku. Dari masa-masa susah, sampai saat aku mencari pinjaman sana-sini demi menyelamatkan warung ini dari bang krut, semua dia tahu.

Terutama saat masa pandemi Corona kemarin. Di daerahku diterapkan lockdown ketat, semua orang dilarang keluar ru mah. Saat itulah, keteguhan hatiku benar-benar diuji.

Aku harus berjuang keras mencari dana agar para karyawan yang membantuku tetap bisa menerima penghasilan. Aku tak tega melihat mereka kehilangan harapan di tengah kekacauan dan ujian berat yang melanda Negara ini. Meski dalam kondisi sulit, aku tetap berusaha menggaji mereka sebisaku.

Syukurlah, aku berhasil melewati masa sulit itu. Warung ini pun perlahan bangkit dan berjaya kembali seperti semula.

Sebenarnya, sangat berat bagiku untuk melepaskan semuanya. Warung ini bukan sekadar tempat usaha—ia adalah bagian dari hidupku. Sudah seperti nyawaku sendiri. Namun, apa daya… keputusan bukan di tanganku. Keputusan tetap berada di tangan yang sah, yaitu ibu mertua.

Yang aku yakini, Allah sedang menyiapkan sesuatu yang lebih baik untukku. Apa pun yang hilang dari genggaman, pasti akan diganti dengan yang lebih indah di waktu yang tepat. Aku harus percaya itu. Aku harus tetap husnuzan, karena Allah tak pernah tidur.

“Pokoknya ya Mbak,” ujarnya dengan nada penuh keyakinan, “kalau nanti Mbak Rahma buka warung sendiri, aku ikut. Teman-teman yang lain juga pasti mau.”

Aku tersenyum haru. Bu Ani bukan keluargaku, tapi dukungannya lebih hangat daripada orang-orang yang selama ini kuanggap saudara.

“Terima kasih, Bu. Doakan aku segera dapat modal, ya?”

“Amin, Mbak. Mbak Rahma itu orang baik, pasti dibantu Allah. Yang sabar, ya?”

Aku mengangguk, menah an air mata yang nyaris tumpah. L uka semalam masih basah. Mimpi tujuh tahun yang kubangun dari nol, kini seolah musnah begitu saja.

Tiba-tiba terdengar suara keras mem otong suasana haru kami.

“Eh Rahma! Bu Ani! Ngapain masih ngobrol aja di situ? Ayo kerja, ini bukan waktunya curhat!” bentak Mbak Rani dari seberang dapur.

Aku dan Bu Ani saling pandang, lalu mengangguk.

“Ayo, Bu. Masalah bumbu nanti saya yang urus,” ujarku pelan.

Bu Ani mengikuti langkahku menuju arah dua kakak beradik yang kini memegang kendali. Tapi dalam hatiku, aku tahu… waktuku di sini tidak akan lama lagi.

Lanjut?....

Penulis :

Redaksi

Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak