WEKACE, Negeri ini memang luar biasa, wak. Tiap kali kita kira udah gila, dia tambah sinting. Datanglah kisah Sandra Dewi, sang putri sinetron yang terseret dalam opera sabun hukum paling mewah di jagat selebritas. Bukan karena main film, tapi karena jaksa menemukan 88 tas mewah, rumah bertingkat bak museum parfum, dan deposito miliaran rupiah hasil “cinta suci” dari suaminya, Harvey Moeis, sang raja timah yang lebih berkilau dari nikel Elon Musk. Simak narasinya sambil seruput kopi Senang khas Sorong, tanpa gula!
Kata jaksa, uang itu ngalir deras dari Harvey ke rekening Sandra, sebagian lagi numpang dulu di rekening asisten, Ratih Purnamasari, yang ATM-nya dikasih balik ke majikannya. Total hampir Rp 894 juta mengalir di situ, belum termasuk transfer lain miliaran rupiah. Tapi ketika jaksa bertanya, Sandra menjawab dengan wajah teduh seolah baru selesai berdoa, “Saya tidak tahu, Pak.” Hukum kita, yang lembut seperti spons basah, menjawab, “Oke Bu, semoga sehat selalu.”
Hukum di negeri ini memang punya cara mencintai yang unik. Ia keras pada maling sandal, tapi lembut pada pemilik Hermes. Kalau rakyat kecil salah kirim uang 500 ribu, bisa dijemput polisi. Tapi kalau artis punya tas 88 biji dari uang negara? Ah, itu cuma gift of love, bukan gratifikasi, katanya.
Sandra bahkan sempat menggugat penyitaan asetnya. Katanya, itu hasil kerja kerasnya sebagai influencer, hasil endorse dan peluh suci di dunia maya. Mungkin benar. Karena memang, mengetik “#blessed” di caption Instagram itu pekerjaan berat, apalagi sambil membawa 88 tas ke lokasi syuting. Tapi akhirnya gugatan itu dicabut juga, tanggal 28 Oktober 2025, bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda. Sebuah sumpah baru lahir, sumpah untuk pasrah.
Kini aset disita, tapi namanya tetap harum. Tasnya jadi milik negara, tapi senyumnya masih punya publik. Ia tidak tersangka, karena katanya “tidak tahu.” Mungkin benar, di negeri ini, pura-pura tidak tahu adalah seni bela diri tertinggi.
Direk bayangkan, wak! Kalau hukum itu orang, mungkin dia sekarang lagi berdiri di depan kaca, nyisir poni, sambil berkata, “Aku gak buta kok, cuma selektif aja.” Kalau tas-tas Sandra bisa bicara, mungkin mereka sudah berteriak, “Kami korban cinta yang salah transfer!”
Publik pun terbagi dua. Ada yang marah, ada yang kagum. Sebagian iri karena tidak pernah disita tasnya, sebagian lain sedih karena sadar, di Indonesia, keadilan itu kayak diskon, cuma berlaku buat yang punya merek tertentu.
Tapi lucunya, berita ini malah trending bukan karena korupsinya, tapi karena koleksi tasnya. Netizen sibuk debat, “Hermesnya warna apa, sih?” Padahal negara lagi kehilangan triliunan. Kita semua mendadak jadi fashion analyst di tengah kubangan uang kotor.
Begitulah, kang. Kisah ini menutup babnya dengan tenang. Harvey di penjara, Sandra di rumah, Ratih entah di mana, dan hukum… masih menulis caption baru di Instagram, “Hidup itu indah, asal rekeningnya bukan atas nama asisten.”
Di negeri ini, dosa bisa disemir jadi gaya hidup, kejahatan bisa dilapisi glitter, dan keadilan?
Ah, dia lagi rebahan di butik, nyobain tas nomor 89.
Kisah viral ini seharusnya menjadi cermin betapa glamor sering kali hanyalah lapisan tipis yang menutupi kisah getir di baliknya. Di dunia yang terobsesi pada kemewahan, citra, dan kehidupan sempurna di media sosial, publik terkadang lupa, kejujuran dan tanggung jawab jauh lebih bernilai dari tas Hermes atau saldo miliaran. Kasus ini mengingatkan, kekayaan bukan tolok ukur kemuliaan, dan nama baik tak bisa dibeli dengan rekening atas nama siapa pun. Masyarakat pun diajak untuk tidak mudah menelan citra “sempurna” yang dipoles kamera dan pencitraan, sebab di balik senyum bisa saja tersimpan badai.
Lebih dalam lagi, pesan moral yang tersisa adalah pentingnya menegakkan keadilan tanpa pandang bulu. Hukum semestinya bukan alat kosmetik yang hanya menghias kepala kecil tapi menutup mata pada kepala besar. Jika seseorang benar-benar bersih, biarlah hukum membuktikannya dengan terang. Tapi, bila ada noda yang disembunyikan di balik kemewahan, jangan biarkan kilau emas menutupi bau karat. Keadilan yang selektif hanyalah sandiwara murahan, dan rakyat sudah muak menonton drama yang sama berulang kali dengan aktor yang berganti tapi naskahnya tak pernah berubah.
Foto Ai hanya ilustrasi
Penulis : 11
Ketua Satupena Kalbar
Tags
SOSOK