'); Survei adalah Kejahatan, Nilai Jelek adalah Hak Asasi
WEKACE UPDATE
Loading...

Survei adalah Kejahatan, Nilai Jelek adalah Hak Asasi

WEKACE, Kalau di rapor nilainya merah, biasanya orang malu. Tapi tidak dengan Natalius Pigai. Ia tampak seperti murid yang dengan gagah berani berdiri di depan kelas, menatap guru, dan berkata, “Yang salah bukan saya, Bu. Sistem pendidikannya yang kolonial.” Begitulah kira-kira semangat yang ia bawa saat menanggapi hasil survei yang menempatkannya di posisi dua terbawah menteri berkinerja buruk.

Pigai, Menteri Hak Asasi Manusia, berdiri tegap di podium dan menatap kamera seperti sedang menantang seluruh fakultas statistik di negeri ini. “Survei itu alat justifikasi kejahatan,” katanya lantang, seolah setiap tabel Excel adalah konspirasi global yang dibiayai lintas negara. Dalam dunia Pigai, lembaga survei bukan lagi sekadar lembaga riset, mereka adalah geng kriminal berseragam intelektual.


Ia bahkan menambahkan dengan tenang, “Survei itu alat payung kejahatan, pelindung kejahatan.” Ini level narasi yang tidak bisa dijangkau logika biasa. Survei, yang selama ini dianggap alat ukur ilmiah, tiba-tiba berubah jadi semacam horcrux kejahatan modern. Mungkin kalau di dunia Harry Potter, Pigai sudah jadi menteri yang memburu lembaga survei seperti pemburu dementor.

Tentu saja, Pigai punya alasan. Ia merasa tak pantas diajar soal HAM oleh siapa pun. “Ndak usah mereka survei. Kok mereka ngajarin saya HAM. Korban HAM, pembela HAM, aktivis HAM, Komnas HAM, Menteri HAM,” ujarnya dengan gaya seperti orang sedang membaca daftar isi autobiografi spiritual. Kalau bisa, mungkin ia tambahkan satu lagi, “dan dosen kehormatan di universitas kehidupan.”

Dalam filsafat Pigai, pengalaman pribadi mengalahkan data. Kalau survei bilang dirinya buruk, berarti surveinya yang salah. Kalau survei bilang bagus, berarti rakyat akhirnya tercerahkan. Ini semacam sistem keyakinan baru, Pigaiisme. Sebuah ajaran yang menolak kebenaran numerik dan menggantinya dengan kepercayaan diri absolut.

Ia juga menyebut, Presiden Prabowo tidak percaya survei. Nah, di titik ini, Pigai seperti menemukan sabda pembenaran. Kalau bosnya tidak percaya survei, maka ketidakpercayaan adalah kebajikan. “Kami kerja aja kerja,” katanya mantap. Ini menarik, sebab di era digital, banyak orang sibuk bekerja untuk memperbaiki citra. Pigai justru bekerja untuk memperbaiki persepsi tentang survei itu sendiri.

Yang paling lucu, Pigai malah bangga karena kementeriannya kini berada di posisi tiga besar dalam mendukung kebijakan Presiden. Hebat! Di luar dapat minus, di dalam dapat piala. Mungkin memang beda sistem penilaian. Kalau lembaga survei pakai logika ilmiah, Kementerian HAM tampaknya pakai logika iman. Percaya saja dulu, hasil belakangan.

Pigai bahkan menutup pernyataannya dengan tawa kecil. “Ini dua lagi nih yang di atas, sebentar lagi out.” Tawa yang tidak bisa dibeli oleh margin of error mana pun. Dalam tawa itu terkandung semangat kebebasan manusia dari belenggu grafik batang.

Mungkin benar kata Pigai, survei hanyalah alat justifikasi kejahatan. Tapi dalam konteks ini, kejahatannya adalah terhadap rasa humor. Karena di tengah dunia yang sibuk memuja data, Pigai datang membawa pesan filosofis, nilai jelek bukan kehinaan, tapi bentuk eksistensi.

Kalau nanti malaikat membuat survei siapa manusia paling percaya diri di republik ini, nama Pigai pasti nomor satu, meski nilainya minus tujuh sembilan. Sebab di dunia Pigai, logika boleh kalah, asal keyakinan tetap utuh.

“Gue demen sama Pak Pigai ini, pedenya itu loh. Jangankan kalah, seri saja tak mau. Sekali-kali boleh diajak ngopi tanpa gula ni Pak Pigai.” Ups..

Foto Ai, hanya ilustrasi

Editor : 

Redaksi

Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak