WEKACE, Gimana? Masih semangat dengar cerita para terduga koruptor Riau? Kalau masih semangat, siapkan lagi Koptagul, kita lanjutkan kisah para bedebah, pengkhianat rakyat di penghujung akhir tahun anggaran. 
Pagi itu, 4 November 2025, udara Pekanbaru seolah menahan napas. Burung-burung berhenti berkicau, matahari malu-malu muncul, dan kamera para jurnalis siap menembakkan blitz seperti hujan meteor. Dari kejauhan, sebuah mobil hitam berlogo KPK meluncur perlahan, membawa bukan sekadar tubuh, tapi reputasi yang retak, Abdul Wahid, Gubernur Riau.
Ia keluar dari mobil dengan langkah yang dulu disambut tepuk tangan rakyat. Tapi kali ini, tepuk tangan berubah menjadi klik kamera dan bisik-bisik getir. Wahid tampak sederhana, kaos putih, celana hitam, masker putih, dan tas jinjing kecil. Seolah ingin membuktikan, ia masih bersih. Tapi semua orang tahu, warna putih tak selalu suci. Kadang, itu hanya warna kaos terakhir sebelum seragam oranye dipakaikan.
Ia dibawa ke pesawat menuju Jakarta bersama delapan orang lainnya, total sembilan manusia super berani, yang mungkin mengira proyek infrastruktur bernilai miliaran itu bisa dibungkus dengan amplop dan senyum diplomatik. Dalam dua kloter keberangkatan, mereka diterbangkan bak pejabat negara yang hendak menghadiri konferensi internasional. Bedanya, konferensi ini diselenggarakan oleh KPK, dengan topik utama, Etika yang Tersesat di Tengah Proyek.
Beberapa anggota rombongan masih mengenakan seragam ASN cokelat dibalut sweater putih, tampak tenang seperti menghadiri rapat evaluasi mingguan. Tapi publik tahu, itu bukan rapat biasa. Itu rapat pertanggungjawaban terakhir di dunia fana.
Pesawat mereka mendarat di Bandara Soekarno-Hatta. Tidak ada karpet merah, hanya tatapan sinis dan kamera televisi nasional yang haus sensasi. Dari sana, mereka langsung digiring ke Gedung Merah Putih KPK, istana baru bagi mereka yang gagal menjaga integritas.
KPK, lewat juru bicaranya Budi Prasetyo, masih menahan detail kasus. Katanya, konstruksi perkara akan diungkap dalam konferensi pers. Tapi rakyat tak perlu menunggu. Sejarah sudah berbicara. Abdul Wahid adalah gubernur keempat Riau yang ditangkap KPK sejak era reformasi. Bayangkan, wak! Empat gubernur. Riau seakan bukan provinsi, tapi serial drama korupsi paling panjang dalam sejarah republik. Tiap musimnya berganti aktor, tapi naskahnya tetap sama, proyek, suap, penangkapan.
Wahid baru menjabat sembilan bulan, tapi kecepatan kariernya menyaingi roket. Dalam waktu kurang dari setahun, ia berhasil menembus orbit kemewahan dan jatuh ke kawah KPK. Mungkin inilah makna “percepatan pembangunan” yang ia janjikan saat kampanye, membangun kasus korupsi tercepat se-Riau.
Uang hasil OTT telah disita. Jumlahnya belum diumumkan, tapi cukup untuk membuat rakyat bertanya-tanya, berapa banyak jembatan yang tak selesai karena keserakahan segelintir orang? Berapa kilometer jalan yang tak diaspal karena ambisi segenggam pejabat?
Kita puji dulu, seperti tradisi negeri ini, “Selamat, Pak Gubernur, Anda luar biasa!” Dari sekian banyak pejabat yang menunggu giliran, ente berhasil tampil di panggung utama KPK dengan timing yang nyaris sinematik. Sampeyan adalah simbol konsistensi, membuktikan bahwa janji anti-korupsi hanyalah tagline kampanye yang sudah kehilangan rasa.
Lihatlah, rakyat tersenyum getir di depan televisi. Mereka sudah hafal adegannya,  penangkapan, penyesalan, air mata di sidang, lalu janji tobat yang terdengar seperti iklan deterjen.
Tapi inilah Indonesia.  Negeri yang tak pernah lelah memberi kesempatan, bahkan pada yang berkali-kali mempermalukannya.
Mungkin suatu hari, Riau akan benar-benar membangun. Tapi bukan gedung, bukan jalan. Yang dibangun adalah rasa malu.
Sebab bagi koruptor, tak ada infrastruktur yang lebih kokoh dari kerak dosa yang mereka tumpuk sendiri.
Foto Ai hanya ilustrasi
0Komentar