WEKACE, Ketika aparat hukum mau memburu Reza Chalid, saya hanya bisa senyam-senyum. Kopi tanpa gula semakin terasa nikmat. Apalagi ada pisang gorengnya. Mari kita investigasi perburuan “Gasoline Godfather” ini.
Indonesia tampaknya sedang latihan jadi negara detektif dunia. Lengkap dengan jargon, tim khusus, dan konferensi pers berseri, tapi tanpa hasil nyata. Kali ini targetnya, Reza Chalid, sang “raja minyak” yang licinnya mengalahkan belut disabun. Katanya sudah DPO internasional, tapi sampai November 2025, satu helai rambutnya pun belum bisa dipegang. Padahal, rumahnya sudah disita, kolam renangnya disegel, bahkan pagar rumahnya mungkin sudah dijadikan barang bukti. Orangnya? Masih bebas, seperti gajah di pelupuk mata yang pura-pura tak kelihatan.
Kejaksaan Agung tampak gagah. Mikrofon baris rapi, jas disetrika, kamera menyorot, lalu keluar pernyataan pamungkas, “Kami sedang menunggu red notice dari Interpol di Lyon, Prancis.” Ah, Lyon lagi, Lyon lagi! Setiap kali ada buronan lolos, Lyon selalu jadi alasan klasik. Mungkin pegawai Interpol di sana bingung, “Surat dari Indonesia ini maksudnya apa? Kenapa lampirannya foto rumah mewah, bukan orangnya?”
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Anang Supriatna, bahkan bilang dengan nada serius banget, “Dari Interpol di Lyon belum ada informasi apakah sudah approve atau belum.”
Terjemahan bebasnya, udah dikirim, tapi belum dibales, mungkin nyangkut di spam folder.
Di saat aparat kita sibuk menunggu email dari Prancis, netizen Indonesia malah sibuk mengolok-olok. Komentar paling viral berbunyi, “Kejaksaan gaya-gayaan mau nangkap Reza Chalid, nangkap Silfester Matutina aja tak mampu. Padahal, orangnya di Jakarta. Tangkap dulu tuh Silfester!”
Benar juga. Silfester Matutina, yang kasusnya lebih ringan, masih mondar-mandir di ibukota. Mungkin nongkrong di Senayan, update story “Ngopi bukan DPO” sambil nonton berita Kejagung menunggu kabar dari Lyon.
Netizen makin pedas, “Reza di Malaysia aja belum kelar, Silfester di depan mata pun tak tampak. Gajah di pelupuk mata, tikus di pojokan malah disikat!”
Padahal, Kejagung sudah menyita rumah mewah Reza di Kebayoran Baru dan Rancamaya, Bogor. Rumah pertama di atas nama anaknya, Kanesa Ilona Riza. Rumah kedua luasnya 6.500 meter persegi, lengkap dengan kolam renang, taman, dan mungkin ruang rahasia buat sembunyi dari wartawan. Disita semua. Lalu diumumkan ke media: “Kami serius memberantas korupsi!”
Serius, tapi pelakunya masih ngeteh di Malaysia. Ibarat polisi gagal nangkap maling tapi menahan sandal yang tertinggal di TKP.
Reza Chalid ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi dan TPPU dalam pengelolaan minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kerja Sama 2018–2023. Ia diduga mengendalikan PT Orbit Terminal Merak dan PT Navigator Khatulistiwa, dua perusahaan yang kalau dipegang orang biasa mungkin bangkrut, tapi dipegang Reza malah bisa bikin hukum kehilangan arah.
Statusnya kini “buron internasional,” tapi belum resmi karena red notice belum keluar. Jadi ya, buron dalam niat. Sama seperti cinta bertepuk sebelah tangan, ada rasa, tapi tak diakui. Sementara aparat sibuk “koordinasi lintas negara,” Reza konon asyik di Malaysia, mungkin sambil menonton sinetron berjudul “Menunggu Lyon Membalas Email.”
Netizen makin lepas kendali.
“Rumahnya disita, orangnya liburan.”
“Red notice aja ditunggu kayak pengumuman SNBT.”
“Jangan-jangan Reza Chalid sekarang kerja di Interpol, makanya red notice-nya ga pernah turun!”
Lucunya, tiap kali wartawan nanya perkembangan, jawabannya selalu sama, “Masih menunggu kabar dari Lyon.” Seakan-akan Lyon itu pusat semesta hukum. Padahal, jarak Malaysia ke Jakarta cuma sepelemparan batu, asal batunya bukan dari APBN.
Akhirnya, publik pun sadar. Menangkap Reza Chalid di negeri ini bukan perkara hukum, tapi legenda urban. Ia bukan buron, tapi mitos, semacam Bigfoot versi migas. Sementara itu, Kejagung terus beraksi, konferensi pers, penyitaan rumah, dan laporan kemajuan setebal skripsi. Tapi hasilnya nihil.
Begitulah negeri ini, memburu Reza Chalid seperti memburu gajah di pelupuk mata, tak tampak, tapi jejaknya jelas, baunya ada, dan uangnya menguap ke mana-mana.
Foto Ai hanya ilustrasi
Penulis :
Ketua Satupena Kalbar
0Komentar