WEKACE, Jakarta - Pemerintah Inggris telah menerbitkan peta terbaru yang mengakui kemerdekaan Palestina, menandai perubahan signifikan dalam sikap negara-negara Barat terhadap konflik Israel-Palestina yang berlangsung puluhan tahun.
Data historis menunjukkan transformasi dramatis wilayah Palestina dari masa ke masa. Pada periode 1897-1917, seluruh wilayah Palestina masih sepenuhnya dikuasai penduduk asli Palestina. Organisasi Zionis Dunia yang didirikan tahun 1897 di Basel kemudian mendorong Deklarasi Balfour yang menyetujui pembentukan rumah nasional Yahudi di Palestina.
Perubahan signifikan terjadi pada 1946 ketika 10 persen wilayah telah dibeli pemukim Yahudi, sementara 90 persen sisanya masih dikuasai warga Palestina. Situasi memburuk setelah Sidang Umum PBB 1947 yang memprakarsai pemisahan Palestina menjadi dua negara.
Perang Arab-Israel 1948-1949 mengakibatkan Palestina terbagi menjadi tiga wilayah dengan 77 persen dikuasai Israel. Kondisi semakin memburuk pasca Perang Enam Hari 1967 antara Israel melawan Mesir, Yordania, dan Suriah, di mana Israel merebut Gaza, Sinai, Tepi Barat, dan Dataran Tinggi Golan.
Hingga kini, wilayah Tepi Barat masih dikuasai Palestina setelah Israel meninggalkan Gaza dan empat permukiman di utara Tepi Barat pada 2012.
Gelombang Pengakuan Dipandang Positif Namun Butuh Tindakan
Pengamat politik internasional Faisal menilai gelombang pengakuan negara-negara Barat terhadap Palestina sebagai perkembangan positif, meski lebih mencerminkan sikap simpati ketimbang komitmen serius.
"Rakyat Palestina, terutama di Jalur Gaza, sudah kebanjiran simpati sejak genosida dimulai awal Oktober 2023. Bangsa Palestina butuh keadilan, bukan sekadar simpati," ujar Faisal.
Menurutnya, pengakuan dari Inggris, Kanada, Australia, dan negara Barat lainnya harus ditindaklanjuti dengan sanksi politik, ekonomi, dan militer terhadap Israel agar bermakna.
"Pengakuan ini tidak mengubah keadaan lapangan. Tindakan konkret yang dibutuhkan adalah menghentikan genosida dan memberikan sanksi kepada Israel," tambahnya.
Faisal bahkan menyarankan negara-negara Barat memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel sebagai tekanan yang lebih efektif dibanding sekadar memberikan pengakuan kepada Palestina.
Momentum Dukungan Masyarakat Dunia Menguat
Analis politik Mardani melihat perubahan sikap negara-negara yang selama ini mendukung Israel di forum internasional seperti Inter-Parliamentary Union (IPU) sebagai perkembangan menggembirakan.
"Negara-negara seperti Inggris, Prancis, Spanyol, Australia, dan Kanada yang mayoritas selalu dukung Israel sekarang mulai berbalik," katanya.
Mardani menekankan dukungan masyarakat dunia kepada Palestina terus menguat, terlihat dari demonstrasi massal di berbagai negara, termasuk di Madrid dengan lebih dari 100.000 peserta dan aksi mogok makan berkelanjutan dokter-dokter di Swiss.
"Sentimen publik ini sangat kuat. Di Eropa, setiap minggu ada demonstrasi pro-Palestina. Jika terus berlanjut, tidak akan ada yang tahan menghadapi gelombang rakyat yang menginginkan kejahatan Israel dihukum," ungkapnya.
Indonesia Berpeluang Mainkan Peran Strategis
Mardani optimis Presiden Prabowo Subianto dapat memanfaatkan momentum Sidang Umum PBB di New York untuk memperjuangkan kemerdekaan Palestina. Indonesia mendapat urutan ketiga berbicara setelah Brasil dan Amerika Serikat.
"Ini momen paling berharga bagi Pak Prabowo, Indonesia, dan perjuangan kemerdekaan Palestina. Mudah-mudahan beliau bisa menyampaikan pidato seperti Bung Karno dulu untuk membangun dunia baru," harapnya.
Tekanan Politik Domestik Pengaruhi Kebijakan Luar Negeri
Pengamat Agung menganalisis perubahan sikap negara-negara Barat juga didorong faktor politik domestik. Survei YouGov terbaru menunjukkan 44 persen masyarakat Inggris mendukung pengakuan kemerdekaan Palestina, sementara hanya 18 persen yang menolak.
Di Spanyol dan Denmark, survei serupa menunjukkan hanya 6-12 persen masyarakat yang menyetujui tindakan Israel, sisanya menganggap bermasalah.
"Para politisi sangat mendengar dinamika domestik ini. Ketika sidang PBB berlangsung, seluruh dunia akan melihat posisi masing-masing negara," jelas Agung.
Meski demikian, Agung memperingatkan ekspektasi berlebihan untuk segera menghentikan genosida. "Ini langkah kecil yang harus dilakukan untuk memposisikan diri dalam konteks dunia hari ini. Pertanyaannya adalah apa yang akan dilakukan setelah pengakuan ini untuk menghentikan kekerasan Israel," pungkasnya.
Konflik Israel-Palestina terus mempertaruhkan kredibilitas PBB dalam membuktikan efektivitas resolusi dan keputusan organisasi dunia tersebut.
Editor : Zumardi
